Zakat dan Pameran Kemiskinan.

186 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Ratusan orang bahkan terkadang sampai ribuan fakir-miskin harus berdesak- desakan menanti zakat dari sang muzakki. Biasanya uang zakat tersebut tidak terlalu besar, paling-paling Rp 20.000,-. Ada juga muzakki yang memberikan bingkisan sembako seperti beras dan gula. Satu persatu mereka berbaris rapi menunggu giliran. Entah karena kurang sabar atau takut kehabisan, pembagian zakat yang semua tertib, berakhir dengan kericuhan. Saya melihat, seorang Ibu terjatuh dan terinjak oleh mustahiq yang sudah hilang kesabarannya. Jeritan sang ibu tak terdengar lagi oleh riuhnya suara orang-orang yang lapar. Beberapa orang jatuh pingsan, terhimpit dan mengalami dehidrasi. Demikianlah, akhirnya pemberian zakatpun memakan korban. Ironisnya, peristiwa di atas terjadi berulang-ulang. Seolah-olah kita tak pernah belajar dari masa lalu. Jika harus ada yang menjadi korban, itu sudah biasa. Kita menyebutnya, “konsekuensi logis kemiskinan”. Tanpa merasa bersalah, kitapun kerap menyalahkan masyarakat. Mengapa mereka tidak sabar ?. Mengapa mereka tidak tertib ?. Tanpa di sadari, kitapun menyalahkan korban. Satu sikap yang lahir dari keangkuhan diri. Melihat feonema di atas, kita pantas bertanya. Apakah model pen- distribusian zakat seperti itu dapat dibenarkan. Jika pertanyaan ini kita lanjutkan, apakah model pembagian zakat tersebut sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Hadis ? Sampai di sini menarik untuk menelusuri makna semantik sadaqah, sebagai konsep utama filantropi Islam. Sadaqah yang wajib disebut zakat. Tidaklah mengherankan jika ayat-ayat tentang zakat, diungkap dengan kata sadaqah. Sebagai contoh, khuz min amwalihim sadaqatan...atau pada surah al-Taubah ayat 60, innama al-sadaqaat li al-fuqara’...Sedangkan sadaqah sunnat disebut dengan infaq. Sadaqah itu sendiri berasal dari kata s-d-q. Semakna dengan siddiq yang artinya benar atau jujur. Nabi disebut siddiq karena selalu berkata benar dan jujur. Tidak saja kata tetapi juga laku yang selalu benar. Dari makna inilah, sadaqah atau zakat yang kita keluarkan tidak saja bersumber dari harta yang benar, diperoleh dengan cara yang benar, didistribusikan dengan cara yang benar dan di terima oleh orang yang benar pula. Sedangkan zakat itu sendiri bermakna al-nama’ tumbuh dan al- tazkiyah penyuciaan. Harta zakat sejatinya bisa menumbuhkan emosi 187 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS positif dan spiritual muzakki. Namun lebih penting dari itu, zakat yang diterima mustahiq hendaknya dapat dikembangkan sehingga pada waktunya ia dapat menjadi muzakki baru. Di dalam kata zakat itu sendiri terkandung makna produktifitas. Tujuan zakat sesungguhnya adalah memberdayakan. Dari ketiadaan menjadi berpunya. Dari mustahaq menjadi muzakki. Agar tujuan mulia ini bisa diwujudkan, zakat haruslah dikelola dengan manajemen modern. Adapun makna lainnya adalah, zakat juga harus membersihkan dan mensucikan muzakki dari sifat-sifat buruk yang mungkin menghiasi dirinya. Katakanlah, sifat kikir, tamak atau rakus. Zakat mendidik kita pandai berbagi. Pada gilirannya akan tumbuh kepekaan dan kepeduliaan sosial. Tidak itu saja, orang yang berzakat sebenarnya juga belajar kehilangan. Ia sadar bahwa dirinya bukanlah pemilik harta melainkan orang yang diberikan amanah untuk mengelola harta. Hemat penulis, pemberian zakat dengan cara massal –sebagaimana dilakukan sebagian orang berpunya- sampai menimbulkan korban, bertentangan dengan tujuan zakat itu sendiri. Setidaknya, ada dua prinsip yang dilanggar jika zakat diberikan secara masal atau langsung ke tangan si mustahiq. Adapun yang pertama adalah, makna sadaqah dan zakat itu sendiri. Kedua, melanggar keberadaan amil sebagai institusi yang telah ditetapkan Alquran. Untuk yang pertama, pemberian zakat secara massal tidak mencerminkan cara yang benar sidq. Memberi zakat seperti yang terlihat di media massa alih-alih membawa manfaat, justru menimbulkan mudharat bagi mustahiq. Lebih dari itu, pemberian zakkat massal telah menghilangkan air muka dan harga diri si mustahiq. Inilah yang menurut saya, zakat telah digunakan untuk mempertontonkan kemiskinan. Di samping itu, besar kemungkinan zakat diberikan kepada orang yang tidak tepat benar. Adapun yang kedua, pemberian zakat seperti di atas telah mengeliminasi peran amil. Disebutnya amil di dalam Al-Qur’an seperti pada surah Al- Taubah:60 mengisyaratkan bahwa antara muzakki dan mustahiq ada perantara yang disebut amil. Amil adalah orang yang bertugas mengurusi zakat mulai dari pendataan orang-orang yang wajib zakat, macam- macam zakat yang diwajibkan padanya, besar harta yang wajib dizakatkan dan orang-orang yang berhak menerima zakat. Pendeknya seperti apa yang dijelaskan Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Fikih Zakat, amil memiliki dua tugas penting. Pertama, mengumpulkan zakat. Kedua, 188 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS membagi-bagikannya kepada para mustahik. Berdasarkan tugas yang diemban para amil inilah, mereka dikelompokkan sebagai salah satu asnaf yang berhak menerima zakat. Isyarat Al-Qur’an sesungguhnya adalah, zakat bukanlah sekedar hubungan muzakki dengan mustahiq. Di dalam zakat terkandung tiga pola hubungan yang simetris. Muzakki dengan amil dan amil dengan mustahiq. Bahkan ada kesan kuat, Al-Qur’an sengaja memutus mata rantai antara muzakki dengan mustahiq. Mengapa demikian ? Ada beberapa jawaban yang dikemukakan. Pertama, zakat sesungguhnya bukanlah pemberian yang dilatari kasih sayang. Zakat adalah kewajiban kita kepada Allah. Akad zakat bukan kepada mustahiq melainkan kepada Allah. Oleh sebab itu tidak ada masalah jika zakat ditransfer melalui ATM. Kedua, zakat tidak membutuhkan ucapan terimakasih dari mustahiq. Zakat tidak boleh menimbulkan rasa hutang budi mustahiq kepada muzakki. Mustahiq tidak boleh merasa dibantu oleh muzakki. Lebih dari itu, zakat adalah pemberian atau rejeki dari Allah. Orang yang menerima zakat harus bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan rezeki kepadanya. Adalah lebih baik jika orang yang menerima zakat mendo’akan muzakki. Ketiga, pemberian zakat tidak boleh menghilangkan air muka penerima zakat. Adalah tidak etis jika zakat digunakan untuk pameran kemiskinan. Apa lagi untuk mengeksploitasi kemiskinan itu sendiri demi kepentingan pribadinya. Pemberian zakat seharusnya mem- perhatikan nilai-nilai keadaban yang hidup pada tempat itu. Dari sini jelaslah signifikansi amil dalam pendistribusian zakat. Amil tidak saja mengetahui keberadaan muzakki tetapi juga amil memahami dengan baik posisi mustahiq. Lalu persoalan berikutnya adalah, siapakah yang disebut amil dalam konteks modern saat ini. Jika kita menela’ah secara historis tanpak ada pergeseran amil. Jika pada masa awal amil adalah perorangan atau kumpulan orang-orang yang diberi tugas oleh khalifah atau negara, saat ini amil mengambil bentuk kelembagaan. UU pengelolaan zakat No 38 Tahun 1999 yang telah digantikan dengan UU Pengelolaan Zakat No 23 Tahun 2013 telah menegaskan dua bentuk amil ditinjau dari proses pembentukannya. Amil yang dibentuk oleh “negara” disebut dengan BAZNAS Badan Amil Zakat Nasional dan 189 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS amil yang dibentuk oleh masyarakat disebut dengan LAZ Lembaga Amil Zakat. 8 Di dalam pasal 8 UU No 38 tahun 1999, dijelaskan bahwa Badan Amil Zakat mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Tidak kalah menariknya, di dalam pasal 16 dijelaskan bahwa 1 hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama. 2 Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq, dana dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif. Selanjutnya di dalam UU No 23 tahun 2011, keberadaan Badan Amil Zakat Nasional yang disingkat dengan BAZNAS disebut pada Bab II bagian Kesatu pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,12, 13 dan 14. Selanjutnya yang berhubungan dengan BAZNAS Provinsi dan KabupatenKota disebut pada pasal 15 dan 16. Dalam konteks tugas BAZNAS seperti terdapat pada pasal 7 dinyatakan: 1 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi : a. Perencanaan, Pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. c. Pengendalian pengumpulan, pendistribusiaan dan pendayagunaan zakat: dan d. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Bunyi pasal di atas menurut penulis menegaskan bahwa mulai dari perencanaa, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan dan pertanggung- jawaban zakat sepenuhnya dilaksanakan oleh BAZNAS. Dalam konteks distribusi jelas bahwa badan atau lembaga amil zakat dengan kewenangannya diharapkan dapat mendistribusikan harta kepada mustahiq secara merata dan adil. Tujuan ini sulit terwujud jika zakat dikelola secara per- orangan. Yang terjadi adalah satu diantara dua. Harta terkonsentrasi 8 Diskusi yang luas tentang isu ini dapat dilihat pada Nisful Khairi, Hukum Perzakatan di Indonesia, Bandung: Citapustaka, 2012, h. 89-114. 190 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS pada segilintir orang dan adanya mustahiq yang tidak mendapatkan harta karena tidak terpantau bahkan tidak diperdulikan oleh masyarakat. Selanjutnya, pemberian zakat secara massal akan menghilangkan kesem- patan lembaga untuk mengelola zakat secara produktif. Padahal, pengelolaan zakat produktif ini penting untuk menumbuhkembangkan harta zakat. Di atas segelanya, jika pemberian zakat secara massal ini dapat dihindari, maka kita tidak akan lagi menyaksikan pameran kemiskinan di depan mata kita. Sungguh kemiskinan bukan untuk dipertontonkan, melainkan harus dientaskan. Dalam kerangkan pengentasan kemiskinan itulah, kita membutuhkan pengelolaan zakat yang profesional, amanah dan bertanggungjawab. Sampai di sini, kepercayaan masyarakat terhadap badan atau lembaga zakat merupakan hal yang niscaya. Jika sampai hari ini belum sepenuhnya masyarakat menyerahkan zakatnya kepada badan atau lembaga, tanya kenapa ? Jangan-jangan pengelolanya belum mampu meyakinkan masyarakat bahwa badan atau lembaganya adalah amanah dan profesional. Oleh sebab itu, tugas kita ke depan sesungguhnya bukan hanya mendorong umat Islam untuk membayar zakat tetapi lebih dari itu, kita harus mampu meyakinkan ummat bahwa badan atau lembaga yang kita penting adalah amanah. Jika umat percaya, maka pameran kemiskinan akan dapat kita hentikan. 191 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

BAB II SAATNYA MENGEMBANGKAN

WAKAF PRODUKTIF

1. Wakaf Produktif: Fase Baru Ekonomi Islam

D isadari sepenuhnya selama ini wacana dan gerakan ekonomi Islam tertumpu pada dua teori besar yaitu, larangan riba dan perintah membayar zakat termasuklah didalamnya infaq dan sadaqah. Hal ini bisa dimaklumi karena kedua persoalan ini begitu eksplisit disebut oleh al-Qur’an dan hadis. Implementasi dari wacana yang disebut pertama terlihat dari muncul dan berkembangnya perbankan Syari‘ah seperti Bank Mu‘amalat Indonesia BMI dan Bank Syari‘ah Mandiri BSM sebagai bank non ribawi. Berbagai penelitian awal menunjukkan, bahwa bank Syari‘ah dipandang mampu menjadi alternatif sistem perbankan nasional yang sedang mengalami krisis dari berbagai sisi. Namun jika diukur dari tingkat partisipasi umat Islam Indonesia yang jumlahnya mencapai 200 juta jiwa dengan asset yang dimiliki sampai tahun 2001 hanya 1,5 triliun, bank Syari‘ah itu masih dianggap sebagai bank papan bawah. Sedangkan implementasi doktrin kedua, terlihat dari gerakan sadar zakat GSZ yang dicanangkan pemerintah pada 17 Ramadhan beberapa tahun yang lalu, penataan kelembagaan amil zakat dengan memberi peluang pada masyarakat untuk membentuk badan amil tersendiri yang disebut dengan LAZ dan sosialisasi UU No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. 1 Kendati upaya sosialisasi telah dilakukan, zakat dipandang belum berhasil memberikan efek ekonomi yang signifikan. Zakat belum mampu menjadi panacea obat pengentasan kemiskinan 191 1 Saat ini Undang-undang Zakat Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat telah diperbaharui dan diganti dengan UU Pengelolaan Zakar No 23 Tahun 2011. 192 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS bagi kemiskinan yang diderita ummat. Kita masih menunggu hasil yang lebih besar, kendati secara karitatif, zakat mampu menolong fakir miskin namun belum berhasil memberdayakannya sehingga mereka dapat mandiri secara ekonomi. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan implementasi doktrin ekonomi Islam yang telah disebut di atas, keduanya memberi harapan besar bagi kebangkitan ekonomi Islam pada masa mendatang selama sosialisasi dan pengelolaannya benar-benar dilakukan secara propesional. Hal ini bukan berarti gerakan ekonomi Syari‘ah berhenti sampai di sini. Dipandang perlu untuk menggali institusi-institusi ekonomi Islam yang baru, walaupun sebenarnya institusi tersebut telah pernah dipraktekan dalam sejarah peradaban Islam, namun institusi tersebut tidak dikonteks- tualisasikan dengan perkembangan modern sehingga ia terkubur dalam puing-puing perdaban Islam. Institusi ekonomi Islam yang saat ini sedang mendapat perhatian serius adalah wakaf. Setidaknya keinginan menggali dan mengembangkan konsep wakaf ini didasari oleh dua pertimbangan baik yang bersifat ekternal mapun yang bersifat internal. Pertama, adalah satu kenyataan bahwa di negara-negara Islam, wakaf telah dijadikan sebagai salah satu instrument ekonomi Islam yang mampu memberdayakan kehidupan ummat. tentu saja wakaf yang dimaksud di sini adalah wakaf produktif. Sebuah penelitian menunjukkan sampai abad 19 ternyata 75 lahan yang dapat ditanami di daulah khilafah Turki adalah tanah wakaf, 33 lahan di Tunisia, 50 lahan di Al-jazair, 30 lahan di Iran 1930 dan 12, 5 di Mesir 1949 adalah tanah wakaf. Dan tanah-tanah tersebut dimanfaatkan secara produktif apakah dengan menanaminya dengan produk-produk unggulan, mendirikan real estate dan pusat- pusat perbelanjaan. Sehingga harta wakaf tersebut dapat dikembangkan dari bentuk asalnya. 2 Begitu pentingnya wakaf sampai-sampai di Mesir persoalan wakaf ini diurusi oleh seorang menteri wakaf yang disebut dengan wazir al- awqaf wa Syu‘un al-diniyyah menteri wakaf. Di samping itu wakaf 2 Muhammad Syafi’i Antonio, “Bank Syari’ah Sebagai Pengelola Dana Wakaf”, Makalah disampaikan pada Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif, Batam, 07-07 Januari 2002.