Islam, Ramadhan dan Pasar

106 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS terhadap masa depan Islam. Di dalam sebuah hadis Rasul pernah bersabda, al-‘ulama warasat al-anbiya ulama adalah pewaris para nabi. Bagaimana warna dan corak Islam yang mengemuka, sesungguhnya ditentukan oleh para ulama. Wajah Islam biasanya mereka tampilkan lewat ceramah dan khotbah-khotbah bisa juga lewat tulisan-tulisan. Memang terkadang, perilaku umat juga sangat menentukan wajah Islam. Namun harus diingat, bagaimana umat berperilaku, juga berangkat dari penjelasan Islam yang mereka terima. Bukankah para teroris dengan paham Islam yang rigid dan radikal juga dipengaruhi oleh pemikiran “ulamanya” atau “syekhnya.” Dalam konteks Ramadhan, kondisinya menjadi menarik. Kala Ramadhan tiba hak “menafsirkan” Islam sesungguhnya telah dirampas oleh pasar. Bahkan lebih jauh dari itu, wajah Islam selama bulan Ramadhan telah dibajak oleh pasar. Tepatnya para kaum kapitalis. Merekalah sesungguhnya yang paling menentukan bagaimana wajah umat Islam selama bulan Ramadhan ini. Bukan saja umatnya yang dibajak, sebagian ulamanya atau para da’inya juga dibajak oleh kepentingan kaum kapitalis ini. Kita bisa menyebut beberapa contoh. Jika para ulama menyebut bahwa makna Ramadhan adalah al-imsak yang artinya pengendalian diri termasuk dalam hal konsumsi, maka kaum kapitalis mengajarkan, pengendalian diri hanya berlangsung dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Namun setelah berbuka, kesempatan anda untuk mengumbar nafsu konsomtif anda. Jika ulama menjelaskan berbuka puasalah dengan amat sederhana, seteguk air dan sebutir atau dua butir kurma, kaum kapitalis mengajarkan, berbukalah dengan memanjakan selera anda. Tidak perlu ditahan-tahan. Bukankah kesempatan ini hadir hanya satu bulan dalam setahun. Contoh lain adalah, jika para ulama mengajarkan pentingnya meningkatkan kesalehan sosial dengan meningkatkan intensitas dan kualitas infaq dan sadaqah, maka para kapitalis mengajarkan kesalehan pertama yang harus ditunjukkan adalah kesalehan simbolik. Anda tidak akan dipandang saleh jika tidak mengenakan busana muslim dengan mode terbaru. Tidaklah mengherankan jika umat Islam berbondong- bondong selama bulan Ramadhan untuk ramai-ramai membeli busana muslim dengan mode terbaru. Lebih jauh dari itu, jika para ulama mengatakan pakaian muslimah itu harus sederhana, tidak berlebih-lebihan dan yang 107 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS paling penting menutup aurat, maka kaum kapitalis menafsirkan, kesalehan dalam berpakaian akan terlihat dengan jelas jika para wanita memilih pakaiannya hasil rancangan desainer terkenal yang harganya tentu mahal namun trendi. Sampai titik ini, menjadi tidak terelakkan ketika logika industri budaya dunia mode telah bertemu dengan pergeseran kesadaran agama yang ditnasformasikan dalam bentuk eksotisme dan simbolisme dalam kesalehan berpakaian. Meminjam ungkapan Idi Subandiy, saat ini fenomena kerudung jilbab tidak cukup lagi hanya dipahami semata-mata ungkapan takwa. Akan tetapi, bagi sebagian kalangan modern, busana muslimah sendiri tak ubahnya seperti pergantian dalam selera mode berpakaian saja. Tidaklah mengherankan jika banyak artis yang di bulan-bulan lainnya berpakaian sangat seksi namun pada bulan Ramadhan dengan busana muslimahnya tampil seolah menjadi orang yang paling saleh. Beranjak dari fenome ini beberapa pertanyaan yang menarik untuk diajukan, apakah ada kaitan langsung antara fenomena kerundung busana muslimah dengan kesadaran keberagamaan?. Apakah orang yang mengenakan pakaian muslimah identik dengan sosok muslimah yang berakhlak mulia? Jika pertanyaan ini ingin dilanjutkan, siapa sesungguhnya yang akan menentukan batasan aurat perempuan, ulama, ustad atau perancang mode? Lebih ironisnya lagi, para ustaz, da’i, penceramah juga telah dibajak pasar. Satu sisi kita patut bersyukur, selama Ramadhan, banyak stasiun televisi menawarkan program-program keislaman, mulai dari ceramah agama sampai acara –acara hiburan lainnya yang bernuansa religius. Namun pertanyaan kritis kita adalah, apakah program yang demikian akan membantu meningkatkan pemahaman, kesadaran dan pengamalan umat dalam beragama? Siapakah yang berhak menentukan, ulama atau tepatnya para da’i, ustaz dan ustazah yang layak ditampilkan di televisi. Apa sesungguhnya yang menjadi ukuran seorang ustaz layak “masuk TV.” Menurut saya jawabannya hanya satu, selera pasar. Tidak terlalu penting, apakah ilmu yang dimiliki ustaz tersebut memungkinkan dirinya tampil menyampaikan pesan Islam secara benar dan tepat atau tidak. Jadi jangan berharap lewat program ramadhan di TV, pemahaman umat terhadap agamanya akan meningkat dan menjadi produktif. Di samping selera pasar, ukuran 108 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS lainnya adalah, ustaz tersebut harus mengikuti “perintah” kaum kapitalis. Bagaimana skenarionya atau contennya harus tetap berada dalam rancangan besar kaum pemilik modal. Contohnya, para ustaz yang tampil di TV harus didamping para artis beken yang tidak saja cantik dan menarik tetapi juga “sedikit genit.” Tidak jelas siapa memanfaatkan siapa. Apakah terlibatnya artis untuk meningkatkan popularitas sang ustad, menaikkan rating, atau malah kaum pemilik modal ingin menjual bahwa artis tersebut sangat cocern pada agama. Tanpa disadari akhirnya kitapun masuk dalam era “Religiotainment.” Istilah lain yang dapat menggambarkan ini adalah “era kesalehan instan,” dan “komersialisasi spiritualitas.” Daftar pembajakan Ramadhan ini tentu dapat diperpanjang. Walaupun harus diakui, ada stasiun TV yang tetap konsisten pada semangat dasar Islam tanpa diintervensi pemilik modal. Sebatas iklan tentu wajar sepanjang tidak berlebih-lebihan. Acara-acara yang diisi Prof. M. Quraish Shihab, Prof. Komaruddin Hidayat dan Ary Ginanjar layak untuk diapresiasi. mereka berhasil memberikan pemahaman Islam yang lebih dinamis, kreatif, damai dan menyejukkan. Mungkin saya terlalu berlebihan. Namun saya tidak bisa menjawab pertanyaan yang kerap diajukan orang-orang yang resah, mengapa Ramadhan tidak membawa perubahan kepada kehidupan keberagamaan yang lebih baik? Saya hanya membaca fenomena di atas dengan mengatakan, kehidupan keberagamaan kita tidak akan berubah menjadi lebih baik jika pemahaman keagamaan kita masih dangkal dan sebatas simbolik. Belum menyentuh perilaku, akhlak apa lagi karakter. Agaknya kaum kapitalis berhasil membentuk umat Islam menjadi saleh secara instan dan simbolik. Lalu pertanyaannya di mana ulama ? mereka tetap ada. Mengamati dan hemat saya juga prihatin dan resah. Namun sayangnya mereka tidak bisa “mengintervensi” pasar. Penafsiran mereka tentang Islam yang benar kalah oleh penafsiran Islam kaum kapitalis. Kaum kapitalis sangat kuat dan itu terjadi karena mereka menguasai media. Ironisnya, sebagian ustaz dan da’i masuk dalam pusaran tafsiran kaum kapitalis tersebut. Jika demikian, pertanyaan Bellah di atas, menjadi sulit untuk dijawab. Hemat saya, muhasabah kita selama Ramadhan ini tidak hanya mengacu pada dosa individu tetapi juga dosa sosial. Yang saya takutkan adalah, ketika Rasul marah karena kita tidak mampu menjaga agama yang telah diwariskannya. Mengapa wajah Islam bisa dibajak kaum 109 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS kapitas. Dan ini tidak pernah terjadi pada era Rasul dan sahabat. Tanya, mengapa ?

2. Menghempang Budaya Konsurisme Lewat Puasa

Tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar saat ini seperti pasar swalayan, Plaza-plaza dan Mall ternyata membawa pengaruh yang cukup signfikan terhadap perubahan budaya pasar masyarakat kota. Perubahan budaya tersebut dapat kita lihat pada dua hal. Pertama, pasar yang selama ini bersifat alamiah dan menjadi pusat transaksi jual beli bergeser menjadi pusat pembentukan gaya hidup. Mall sebagai model pasar abad 21 telah berkembang menjadi pusat pembentukan gaya hidup. Mall mengkonsentrasikan dan merasionalisasikan waktu dan aktivitas masyarakat, sehingga ia menjadi pusat aktivitas sosial dan akulturasi, tempat pembentukan citra dan eksistensi diri, sumber pengetahuan, informasi, tata nilai dan moral. Yasraf Amir Piliang:1999 Kedua, transaksi jual beli yang semula di dasarkan atas kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan pangan dan sandang bergeser kepada dasar pembentukan citra diri dan status sosial. Dalam budaya yang seperti ini, konsumsi tidak lagi diartikan sebagai lalu lintas kebudayaan benda, akan tetapi menjadi sebuah panggung sosial, yang di dalamnya terjadi perang posisi di antara anggota-anggota masyarakat yang terlibat. Produk-produk yang dikonsumsi dijadikan sebagai medium untuk pembentukan personalitas, gaya hidup, dan citra diri ditengah-tengah komunitas masyarakat lainnya. Kondisi inilah yang terjadi saat ini tidak saja di Barat tetapi juga telah melanda di kota-kota muslim. Akbar S Ahmed melaporkan mall telah tiba di kota-kota muslim dan berkembang dengan pesat bahkan di Saudi Arabia, tanah suci umat Islam. Akibatnya adalah umat Islam saat ini merasa kesulitan untuk merekonsiliasi mall dengan masjid. Masjid yang diharapkan sebagai focus sosial ternyata telah bergeser ke mall. Mall benar-benar telah menjadi fokus sosial dan membuat orang setia untuk mengunjunginya setiap saat. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, juga terkena imbasnya. Tumbuh suburnya pusat-pusat perbelanjaan modern seperti plaza dan mall di kota-kota besar tidak bisa dihindari. 110 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Kita seolah-olah tidak berdaya menolak kehadirannya. Tidak itu saja sadar atau tidak kehadirannya juga ikut membentuk prilaku konsumtif masyarakat kita yang terus berubah. Manusia-manusia postmodern –meminjam istilah Akbar S Ahmed- saat ini ketika membeli sesuatu tidak saja didasarkan pada kebutuhan dasar hidupnya primer atau sekunder melainkan juga didorong oleh keinginannya untuk meningkatkan strata hidupnya dalam struktur sosial masyarakat tertentu. Konsumsi tidak sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau symbol sosial tertentu. Konsumsi mengekspresikan posisi sosial yang tersembunyi di baliknya. Kecenderungan seperti ini oleh para pemikir sosial dan budaya Eropa pada umunya disebut dengan budaya konsumerisme. Yasraf Amir Pilliang:1999. Dalam konteks ini, pola budaya konsumsi masyarakat tidak lagi ditandai oleh logika kebutuhan need melainkan logika hasrat desire. Masyarakat tidak saja akan mengkonsumsi benda-benda tetapi juga membeli simbol, pesan yang dikandung di balik benda tersebut. Ketia ia mengkonsumsi sesuatu sebenarnya ada yang hendak dikomunikasikannya bahwa Ia telah berada pada kelas tertentu dan membedakannya dengan orang lain. Dengan kata lain mengkonsumsi adalah salah satu cara untuk mengeksternalisasikan diri dalam strata tertentu. Ironisnya budaya konsumerisme yang diperankan oleh masyarakat konsumer terjadi pada saat ketimpangan sosial ekonomi masyarakat masih sangat tinggi. Jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin begitu menganga. Dengan demikian kehadiran plaza dan mall hanyalah mempertontonkan kesenjangan sosial dan membuat potret kemiskinan begitu jelas dan transparan. Yang paling mengkhawatirkan adalah, budaya konsumerisme ini menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat yang pada gilirannya mengundang terjadinya kerawanan sosial. Puasa dan Keseimbangan Hidup Kehadiran Bulan Ramadhan di saat budaya konsumerisme menjadi sebuah fonomena kehidupan masyarakat saat ini dipandang sangat