Zakat Dan Kemiskinan

4. Zakat Dan Kemiskinan

  Di atas penulis mengingatkan bahwa sejatinya zakat dapat berperan dalam bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis habis sifat-sifat ketamakan, keserakahan orang-orang kaya. Dalam bidang sosial, zakat dapat berfungsi menghapuskan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Dalam bidang ekonomi, zakat dapat berperan sebagai media untuk pemerataan dan menghindarkan akumulasi (konsentrasi) modal pada tangan segelintir orang yang dapat merusak mekanisme pasar.

  Senada dengan ungkapan di atas, dalam bukunya Perspektif Deklarasi Makkah, Dawam Rahardjo menjelaskan dua konsep doktrin sosial ekonomi Islam. Doktrin pertama dikemukakan dalam bentuk negatif, yaitu larangan riba. Kedua, diungkap dalam bentuk positif, yaitu perintah menunaikan zakat, sadaqah dan infaq. Terkesan kedua konsep ini saling berkaitan dalam arti, zakat bisa berperan dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup ekonomi umat, selama praktek riba dengan segala variasinya benar-benar lenyap dari kehidupan umat. Selama praktek riba masih berjalan, zakat tidak akan berperan apa-apa. 4

  Jika demikian zakat, infaq dan sadaqah (ZIS) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur ajaran mu‘amalah Islam. Isyarat al-Qur’an juga menunjukkan bahwa zakat merupakan sumber utama kas negara (bait al-maal). Lebih jauh dari itu, menarik untuk dicermati bahwa Zakat merupakan soko-guru dari kehidupan ekonomi yang ber- keadilan seperti yang dicanangkan al-Qur’an.

  Adalah menarik untuk dianalisis ternyata dikalangan umat Islam muncul kecenderungan untuk melihat zakat tidak lagi semata-mata kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan hartanya dalam rangka mendapat perkenan (rida) Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap sesama manusia.

  Realitas yang tidak bisa ditolak bahwa secara sosiologis terdapat sekelompok manusia yang hidup serba kekurangan dan pada sisi lain terdapat sekelompok manusia yang hidup serba mewah. Di sini diperlukan

  4 M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam, Bandung: Mizan, 1993, h. 141-188

176 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS pemikiran rasional bagaimana mengangkat derajat kehidupan orang

  miskin menjadi lebih baik. Dengan demikian zakat dipahami sebagai realokasi sumber-sumber ekonomi. Ketika zakat dilihat sebagai satu bentuk realokasi sumber-sumber ekonomi, maka pengelolaan dan peng- gunaannya harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan manfaat konsumtif terlebih lagi manfaat produktif yang maksimal.

  Seperti yang telah penulis sebutkan di muka, mengapa zakat belum juga berfungsi dengan baik sebagai satu upaya pengentasan kemiskinan umat ?. Menjawab persoalan ini penulis mengajukan beberapa faktor penyebab.

  Pertama, Sebagian Umat Islam masih beranggapan bahwa zakat hanyalah urusan teologis semata dengan Allah SWT. Implikasi dari pandangan ini zakat diyakini sebagai urusan privat (pribadi) saja dan tidak boleh dicampuri oleh pemerintah atau lembaga-lembaga zakat. Dalam bentuk pelaksanaannya terlihat zakat seringkali diserahkan langsung kepada orang yang berhak menerimanya.

  Kedua, Belum terumuskannya konsep-konsep pemberdayaan zakat secara baik dan teruji. Jika zakat disebut dapat memberdayakan ekonomi umat atau zakat dapat mengentaskan kemiskinan, operasionalnya bagaimana ?. jika zakat dijadikan sebagai sumber pendapatan Asli Daerah (PAD) rumusan konsepsionalnya seperti apa ?. Akibat belum terumuskannya konsep-konsep pemberdayaan zakat yang teruji, seringkali zakat lebih diretorikakan ketimbang diteorisasikan. Benarlah jika Dawam Rahardjo menyatakan bahwa, di Indonesia zakat lebih banyak dipraktekkan dari pada diteorisasikan ?.

  Ketiga, Belum terbangunnya kepercayaan yang utuh dan solid terhadap lembaga-lembaga zakat yang resmi seperti BAZNAS atau LAZNAS. Akar masalahnya bisa bermuara pada pengelola-pengelola lembaga zakat tersebut yang tidak memiliki akar yang kuat dalam struktur kehidupan umat Islam. Mau tidak mau, syarat yang paling utama untuk menjadi pengelola lembaga zakat adalah siddiq (jujur), amanah (terpercaya) dan Profesional. Dan yang menentukan kreteria ini haruslah ummat Islam itu sendiri bukan ditunjuk oleh pemerintah.

  Ada yang harus diperhatikan secara serius oleh ummat Islam, bagai- manapun pemberian zakat secara manual, langsung kepada mustahaqnya (orang yang berhak menerimanya) tidak akan membawa pengaruh apa-

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  apa kepada pemberdayaan kehidupan ekonominya. Bisa saja kesan sementara si miskin akan terbantu namun masanya hanya sesaat, ketika harta yang diterimanya habis dikonsumsi maka ia akan kembali dalam kesusahan. Umat Islam harus menyadari bahwa, zakat yang diserahkan secara pribadi tidak akan merubah hidup orang lain. Kewajibannya kepada Tuhan telah selesai, namun pelaksanaannya tidak berpengaruh apa-apa. Padahal semestinya zakat harus mampu merubah orang dari mustahaq (penerima zakat) menjadi muzakki (pemberi zakat) dan inilah yang dapat dijadikan ukuran bahwa zakat berhasil memberdayakan ekonomi ummat.

  Memang merubah cara berpikir ini diakui terasa sulit. Umat Islam terbiasa berpikir instans (serba cepat), dan sulit berpikir secara kelembagaan dan prospektif (melihat masa depan yang lebih jauh). Betapapun sulit cara-cara konvensional penyerahan zakat harus dirubah.

  Disadari sepenuhnya, melalui BAZ ini diharapkan agar harta zakat umat Islam bisa terkonsentrasi pada sebuah lembaga resmi, dari lembaga inilah mengalir kebijakan-kebijakan pemberdayaan ekonomi ummat, sehingga zakat bisa disalurkan tidak hanya kepada yang bersifat konsumtif sesaat, tetapi lebih penting dari itu bagaimana zakat bisa memberdayakan pengusaha kecil dengan suntikan-suntikan dana (qard al-hasan), atau yang bersifat peningkatan sumber daya manusia melalui pemberian bea siswa pendidikan dan sebagainya.

  Menurut Didin Hafidhuddin Setidaknya ada beberapa pertimbangan pentingnya penyaluran zakat melalui BAZ atau LAZ menjadi sangat penting. Pertama, menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahiq apabila berhadapan langsung untuk menerima haknya dari muzakki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada di suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar Islam dan semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami. 5

  Sedangkan apabila penyerahan zakat langsung diberikan kepada mustahiqnya, dikhawatirkan terjadi ketidakadilan dalam penerimaan zakat. Bisa saja terjadi sebagian fakir miskin telah mendapatkan haknya

  5 M. Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Pers, 2002, h. 96-97.

  178 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS sedangkan sebagian lain tidak memperolehnya. Tentu saja hal ini bertentangan

  dengan cita keadilan sosial yang dikandung zakat.

Penutup

  Para pengelola BAZ harus menyadari bahwa mereka tidak akan bisa bekerja sendiri. Untuk itu perlu dilakukan kerja sama dengan ber- bagai pihak seperti para ulama, akademisi, praktisi-paraktisi ekonomi dan pihak-pihak yang berhubungan dengan pengelolaan zakat. Pada sisi lain pengelola zakat harus benar-benar jujur dan amanah. Lebih dari itu profesionalisme harus menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

  Penjelasan ini hanya ingin menunjukkan, bahwa nilai-nilai keadilan, persaudaraan, kepeduliaan antar sesama yang dikandung pada perintah zakat harus diikuti dengan pengelolaan zakat yang baik dan profesional. Tanpa upaya seperti ini, cita sosial yang dikandung zakat tidak akan berfungsi dengan baik. Mengentaskan kemiskinan Ummat Islam tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri tetapi harus dikerjakan secara bersama- sama, terencana dan terprogram dengan baik.