Merancang Manaj emen Qurban

121 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS sekuler dapat diterapkan apa adanya. Ilmu manajemen kontemporer, yang berbasis sekuler, diyakini sebagai bagian dari faktor yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di dunia. Manajemen konvensional telah ditahbis mengabaikan nilai-nilai spiritual dan etika. Dalam hal ini kita memerlukan manajemen berbasis spiritual atau tegasnya manajemen berbasis syari’ah. Manajemen tidak sekedar the art of getting things done throug the others, melainkan Getting God – Will done by the people. Intinya, manajemen syari’ah itu, secara sederhana bagaimana melaksanakan keridhaan Tuhan melalui orang lain. Selanjutnya, proses manajemen Qurban secara sederhana melingkupi perencanaan, pengoganisasian, pengarahan dan pengendalian. Perencanaan adalah usaha untuk menetapkan tujuan organisasi dan memilih cara terbaik untuk mewujudkan tujuan tersebut. Dalam konteks qurban, dipandang perlu untuk menegaskan bahwa qurban memiliki tujuan vertikal dan horizontal. Secara vertikal, qurban bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam bahasa yang berbeda, qurban adalah media untuk mempromosikan ketakwaan seorang hamba dihadapan Allah SWT. Sedangkan secara horizontal, qurban bertujuan untuk membangun solidaritas umat. Qurban merupakan media sederhana untuk berbagi kesyukuran dan kenikmatan dengan orang-orang fakir dan miskin. Selanjutnya, bagaimana caranya agar kedua tujuan tersebut bisa diwujudkan? Jawabnya, qurban harus dikelola secara profesional. Selanjutnya, Pengorganisasian adalah kegiatan mengkoordinir sumber daya, tugas, dan otoritas di antara anggota agar tujuan dapat diperoleh dengan efektif dan efisien. Kita tentu saja dapat membentuk bidang-bidang. Bidang administrasi bertugas untuk melayani pendaftaran peserta qurban. Mereka juga bekerja untuk mendata para fakir miskin yang berhak menerima qurban. Sedapat mungkin tidak ada orang- orang yang fakir dan miskin tertinggal, lebih-lebih jika mereka berada dilingkungan tempat diselenggarakannya pemotongan hewan qurban. Termasuk tugas bidang ini mengumumkan biaya yang diperlukan – setelah berkoordinasi dengan bidang pengadaan hewan qurban. Tidak kalah pentingnya, menetapkan biaya operasional qurban. Sebaiknya, biaya qurban dan biaya operasional qurban tidak dicampur untuk menghindarkan syubhat. Saya kerap menyebutnya, menghindarkan pelaksanaan ibadah qurban yang “abu-abu.” 122 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Bidang pengadaan hewan qurban, harus membuat perencanaan tentang jenis kambing atau lembu yang akan dibeli. Termasuk harga hewan qurban tersebut. Lebih baik lagi jika hewan qurbannya di buat bertingkat. Dari kategori A dengan harga yang paling mahal, B dengan harga yang sedang, sampai D yang mungkin harganya lebih murah. Hal ini penting karena memang tidak ada nishab pada ibadah qurban. Di samping itu, kemampuan setiap orang berbeda-beda. Jika peserta di beri berbagai alternatif, mereka lebih bisa memilih yang sesuai dengan kesanggupan –bahasa hadis kelapangan – yang ada pada mereka. Bidang penyembelihan juga menata kerjanya, mulai menetapkan petugas penyembelih tentu saja yang sudah terlatih, waktu penyembelihan dan perangkat-perangkat yang dibutuhkan untuk itu. Hari dan jamnya perlu ditetapkan dan untuk selanjutnya diberitahukan kepada orang- orang yang berqurban. Hal ini penting agar orang yang berkurban mengetahui jadwal penyembelihan hewan qurbannya. Bukankah menurut hadis Rasul, orang yang berkurban disunnahkan untuk melihat hewan sembelihannya. Dan itu menjadi mungkin, jika panitia telah menata waktu sedemikian rupa tentang jadwal penyembelihannya. Termasuk menjadi tugas bidang penyembelihan untuk mengklasifikasikan anatomi hewan qurban, daging, tulang, kulit dan lain-lain. Gunanya agar bidang distribusi mudah melaksanakan tugasnya. Kemudian bidang distribusi bertugas untuk membagi daging kurban tersebut. Di dalam hadis tidak ditemukan ketentuan jumlah pembagian tersebut. Rasul hanya menggariskan bahwa daging kurban itu boleh dimakan oleh yang berkurban, disimpan dan disedekahkan. Para ulama memberi ketentuan dengan sepertiga untuk dimakan, sepertiga disedekahkan dan sepertiga disimpan. Tentu ketentuan ini bukan sesuatu yang rigid kaku. Menurut hemat saya, bagiannya fleksibel saja tergantung kesepakatan panitia. Namun yang perlu diperhatikan adalah, untuk pembagian daging buat peserta qurban harus dibangun kesepakatan terlebih dahulu. Saya kerap menyebut, keikhlasan bukan sesuatu yang datang begitu saja, melainkan harus dibentuk dan disuasanakan. Jika sejak awal telah ditetapkan pembagian untuk peserta qurban dan berapa jumlah untuk fakir miskin, maka proses distribusinya akan berjalan baik dan lancar. Tidak akan ada cerita di balik cerita. Inilah yang disebut transparansi. Namun harus dicatat, peserta qurban tidak boleh “bernafsu” dengan 123 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS daging qurbannya. Kendati mereka disunnahkan untuk memakannya, itu tidak lebih turut merasakan daging tersebut. Ada yang menarik untuk diperhatikan. Di dalam fikih di atur tentang kulit. Misalnya, di dalam mazhab Syafi’i dinyatakan, bahwa kulit hewan qurban tidak boleh dijual. Sedangkan menurut mazhab Hanafiah, kulitnya boleh dijual namun harganya atau hasil penjualan tersebut harus dikembalikan atau disedekahkan kepada fakir miskin. Lagi-lagi, jika semuanya di tata dengan menjunjung prinsif akuntabilitas dan transparansi, niscaya keikhlasan semua komponen yang terlibat dalam ibadah qurban akan terjaga dengan baik. Adapun pengarahan adalah bagaimana membuat orang-orang yang telah ditunjuk bekerja untuk mencapai tujuan. Sampai di sini, manajer berperan untuk mengarahkan orang-orang tersebut. Dalam konteks ini, manajer tinggal memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik. Jika ditemukan hambatan di sana sini, manajer bertugas untuk menyelesaikan dengan baik. Sedangkan pengendalian adalah melihat apakah kegiatan organisasi telah berjalan sesuai dengan rencana. Rumusnya sederhana, jika aktivitas berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan, maka tujuan tercapai dengan cara yang efektif dan efisien. Sebaliknya jika kegiatan berjalan di luar perencanaan, biasanya tujuan tidak akan tercapai secara sempurna. Malah sebaliknya yang timbul adalah beragam persoalan. Manajemen Qurban diperlukan agar dalam ibadah qurban tidak ada yang menjadi korban. Disebabkan qurban itu murni ibadah, maka sedapat mungkin, hal-hal yang merusak ibadah perlu dieliminasi atau setidaknya diminimalisir. Beberapa agenda yang perlu dirumuskan ulang adalah: Pertama, distribusi qurban di perumahan-perumahan elit yang biasanya sulit dijumpai fakir miskin, kalaupun ada, seperti pembantu rumah tangga yang tidak menetap di rumah majikannya, jumlahnya sedikit. Adalah tepat, jika distribusi daging kurban difokuskan di daerah- daerah minoritas muslim. Wilayah ini kerap terlupakan. Kedua, kebersihan dan hegenisitas daging tetap perlu dijaga. Oleh sebab itu, kita memerlukan tukang potong yang profesional, bukan saja memahami syari’ah, tetapi juga mengerti tentang kebersihan hewan sembelihan. Ketiga, pelaksanaan ibadah qurban tidak boleh menimbulkan korban baru. Tidak bijaksana, jika panitia inti yang bekerja maksimal tidak mendapatkan upah dari 124 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS kerjanya. Akhirnya, ia harus berkorban untuk orang yang berqurban. Keempat, agar point ketiga dapat dipenuhi, perlu dibedakan biaya qurban dengan biaya operasional. Tegasnya, saya ingin mengatakan, peserta qurban harus memastikan pelaksanaan qurban dari hulu sampai hilir berjalan dengan baik. Tidak ada hal-hal yang dapat merusak keikhlasan kita kepada Allah SWT. 125 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS 125 3 BAGIAN MEWASPADAI BISNIS SYARI’ AH TANPA RUH SYARI’ AT 126 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

BAB I MENEGUHKAN RUH SYARI’AT

DALAM PERBANKAN SYARI’AH

1. Riba, Bisnis tanpa Moralitas

F atwa MUI tentang keharaman bunga bank telah memicu kontroversi dikalangan umat Islam, bahkan sampai hari ini walaupun gaungnya tidak sebesar dulu. Ada dikalangan umat Islam yang beranggapan fatwa MUI tersebut sebagai langkah berani untuk menyatakan kebenaran, namun ada pula yang menganggap fatwa tersebut tergesa-gesa bahkan tidak perlu. Sayangnya kontroversi tersebut tidak membuat persoalan semakin jelas bahkan sebaliknya menjadi kabur. Perdebatan tidak lagi pada masalah substansi ribabunga bank dan implikasi sosial ekonominya, namun sudah merambah pada masalah yang tidak ada hubungannya dengan fatwa. Ironis memang ketika ada orang yang beranggapan bahwa fatwa tersebut sangat politis, bahkan ada pula yang menyatakan bahwa fatwa MUI itu dipicu oleh kepentingan subjektif pengurus MUI yang nota bene banyak yang terlibat di Dewan Syari‘ah Nasional dan Dewan Pengawas Syari‘ah Perbankan Syari‘ah. Pengertian Riba secara bahasa bermakna bertambah, dan tumbuh. Sedangkan menurut istilah, riba yang dalam bahasa Inggris disebut dengan usury berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Kendati para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan riba, namun ada benang merah yang menghubungkannya yaitu, pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli atau hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam. Ulama telah sepakat bahwa riba hukumya haram. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa ayat al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad SAW. Diantaranya 126 127 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS terdapat pada surah al-Baqarah 2; 278, 279 dan ali- Imran 3;130. Sebenarnya dalam agama selain Islam khususnya agama samawi riba telah dilarang. Sampai abad ke-13, ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh gereja dan hukum canon. Akan tetapi, pada akhir abad ke-13, pengaruh geraja ortodoks mulai melemah dan orangpun mulai berkompromi dengan riba. Bacon seorang tokoh saat itu menulis dalam buku, Discource on Usury, “karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima suatu manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan. Menarik untuk dicermati, pengharaman riba dalam al-Qur’an tidaklah berlangsung sekaligus melainkan bertahap. Ini mengisyaratkan betapa riba bagi masyarakat Arab seperti di Thaif, Mekah maupun di Madinah pada waktu itu sebagai kegiatan ekonomi yang telah berurat berakar dalam kehidupan sehari-hari. Thabari mencatat bahwa pada saat jatuh tempo, pemberi utang biasanya memberi dua pilihan: melunasi seluruh pinjaman atau perpanjangan waktu dengan tambahan pembayaran. Seorang yang harus mengembalikan seekor unta betina berumur satu tahun bila meminta perpanjangan waktu pada saat jatuh temponya, harus membayar dengan unta betina dua tahun. Bila ia meminta masa perpanjangan kedua maka unta betina tiga tahun, dan seterusnya. Begitu pula dengan emas atau perak. Untuk melarang praktek riba diperlukan strategi khusus seperti ditempuh al-Qur’an dengan menggunakan strategi pelarangan bertahap. 1 Tahap pertama, al-Qur’an menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan yang mendekatkan diri pada Allah. Ini dinyatakan Allah pada surah ar-rum:39 yang artinya, “Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”. Tahap kedua, Allah melukiskan bahwa riba merupakan aktivitas bisnis yang buruk. Bagi yang melakukannya akan diberi balasan yang pedih. 1 Lihat Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, Lihat Juga Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Peraktik, h. 217-235.