Islam, Ramadhan dan Pasar

1. Islam, Ramadhan dan Pasar

  R Kontemporer- “Persoalan modernisasi yang paling besar dan mendasar

  obert N. Bellah pernah mengatakan -sebagaimana dikutip oleh Idi Subandy Ibrahim dalam karyanya, Budaya Populer Sebagai Komunkasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia

  bagi Islam barangkali bukanlah apakah ia mampu memberi sumbangan bagi modernisasi politik, keluarga atau pribadi, melainkan apakah ia mampu secara efektif memenuhi berbagai kebutuhan relegius kaum Muslim modern sendiri.”

  Bellah yang terkenal lewat karyanya, Beyond Belief tidak sedang menggugat Islam. Sebaliknya ia sedang memberi tantangan yang besar kepada Islam. Alih-alih untuk memikirkan dan merumuskan kontribusi Islam buat peradaban dunia, secara internal apakah Islam telah berperan besar bagi ummatnya dalam menjawab dahaga spiritualnya?. Jika Sayyed Hosein Nasr pernah mengatakan, manusia modern saat ini sedang mengalami kehampaan spiritual, lalu di mana peran Islam! Bukankah sisi spiritual sesuatu yang inheren dan integral di dalam Islam. Lalu mengapa umatnya mengalami kehampaan, kesunyiaan, keterasingan?

  Jika kita menyebut Islam, maknanya bisa bermacam-macam. Bisa mengacu pada ajaran Islam itu sendiri, lembaga keagamaan, cendikiawan dan ulama atau media-media yang memasarkan Islam. Saya cenderung untuk mengatakan bahwa penyebutan Islam dalam konteks artikel ini bermakna para penafsir Islam. Bisa cendikiawan muslim atau secara spesifik para ulama baik yang tergabung di dalam lembaga atau ormas atau ulama independen. Merekalah yang sesungguhnya bertanggungjawab

  106 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS terhadap masa depan Islam. Di dalam sebuah hadis Rasul pernah bersabda,

  al-‘ulama warasat al-anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).

  Bagaimana warna dan corak Islam yang mengemuka, sesungguhnya ditentukan oleh para ulama. Wajah Islam biasanya mereka tampilkan lewat ceramah dan khotbah-khotbah bisa juga lewat tulisan-tulisan. Memang terkadang, perilaku umat juga sangat menentukan wajah Islam. Namun harus diingat, bagaimana umat berperilaku, juga berangkat dari penjelasan Islam yang mereka terima. Bukankah para teroris dengan paham Islam yang rigid dan radikal juga dipengaruhi oleh pemikiran “ulamanya” atau “syekhnya.”

  Dalam konteks Ramadhan, kondisinya menjadi menarik. Kala Ramadhan tiba hak “menafsirkan” Islam sesungguhnya telah dirampas oleh pasar. Bahkan lebih jauh dari itu, wajah Islam selama bulan Ramadhan telah dibajak oleh pasar. Tepatnya para kaum kapitalis. Merekalah sesungguhnya yang paling menentukan bagaimana wajah umat Islam selama bulan Ramadhan ini. Bukan saja umatnya yang dibajak, (sebagian) ulamanya atau para da’inya juga dibajak oleh kepentingan kaum kapitalis ini.

  Kita bisa menyebut beberapa contoh. Jika para ulama menyebut bahwa makna Ramadhan adalah al-imsak yang artinya pengendalian diri termasuk dalam hal konsumsi, maka kaum kapitalis mengajarkan, pengendalian diri hanya berlangsung dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Namun setelah berbuka, kesempatan anda untuk mengumbar nafsu konsomtif anda. Jika ulama menjelaskan berbuka puasalah dengan amat sederhana, seteguk air dan sebutir atau dua butir kurma, kaum kapitalis mengajarkan, berbukalah dengan memanjakan selera anda. Tidak perlu ditahan-tahan. Bukankah kesempatan ini hadir hanya satu bulan dalam setahun.

  Contoh lain adalah, jika para ulama mengajarkan pentingnya meningkatkan kesalehan sosial dengan meningkatkan intensitas dan kualitas infaq dan sadaqah, maka para kapitalis mengajarkan kesalehan pertama yang harus ditunjukkan adalah kesalehan simbolik. Anda tidak akan dipandang saleh jika tidak mengenakan busana muslim dengan mode terbaru. Tidaklah mengherankan jika umat Islam berbondong- bondong selama bulan Ramadhan untuk ramai-ramai membeli busana muslim dengan mode terbaru. Lebih jauh dari itu, jika para ulama mengatakan pakaian muslimah itu harus sederhana, tidak berlebih-lebihan dan yang

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  paling penting menutup aurat, maka kaum kapitalis menafsirkan, kesalehan dalam berpakaian akan terlihat dengan jelas jika para wanita memilih pakaiannya hasil rancangan desainer terkenal yang harganya tentu mahal namun trendi. Sampai titik ini, menjadi tidak terelakkan ketika logika industri budaya dunia mode telah bertemu dengan pergeseran kesadaran agama yang ditnasformasikan dalam bentuk eksotisme dan simbolisme dalam kesalehan berpakaian.

  Meminjam ungkapan Idi Subandiy, saat ini fenomena kerudung jilbab tidak cukup lagi hanya dipahami semata-mata ungkapan takwa. Akan tetapi, bagi sebagian kalangan modern, busana muslimah sendiri tak ubahnya seperti pergantian dalam selera mode berpakaian saja. Tidaklah mengherankan jika banyak artis yang di bulan-bulan lainnya berpakaian sangat seksi namun pada bulan Ramadhan dengan busana muslimahnya tampil seolah menjadi orang yang paling saleh.

  Beranjak dari fenome ini beberapa pertanyaan yang menarik untuk diajukan, apakah ada kaitan langsung antara fenomena kerundung busana muslimah dengan kesadaran keberagamaan?. Apakah orang yang mengenakan pakaian muslimah identik dengan sosok muslimah yang berakhlak mulia? Jika pertanyaan ini ingin dilanjutkan, siapa sesungguhnya yang akan menentukan batasan aurat perempuan, ulama, ustad atau perancang mode?

  Lebih ironisnya lagi, para ustaz, da’i, penceramah juga telah dibajak pasar. Satu sisi kita patut bersyukur, selama Ramadhan, banyak stasiun televisi menawarkan program-program keislaman, mulai dari ceramah agama sampai acara –acara hiburan lainnya yang bernuansa religius. Namun pertanyaan kritis kita adalah, apakah program yang demikian akan membantu meningkatkan pemahaman, kesadaran dan pengamalan umat dalam beragama?

  Siapakah yang berhak menentukan, ulama atau tepatnya para da’i, ustaz dan ustazah yang layak ditampilkan di televisi. Apa sesungguhnya yang menjadi ukuran seorang ustaz layak “masuk TV.” Menurut saya jawabannya hanya satu, selera pasar. Tidak terlalu penting, apakah ilmu yang dimiliki ustaz tersebut memungkinkan dirinya tampil menyampaikan pesan Islam secara benar dan tepat atau tidak. Jadi jangan berharap lewat program ramadhan di TV, pemahaman umat terhadap agamanya akan meningkat dan menjadi produktif. Di samping selera pasar, ukuran

  108 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS lainnya adalah, ustaz tersebut harus mengikuti “perintah” kaum kapitalis.

  Bagaimana skenarionya atau contennya harus tetap berada dalam rancangan besar kaum pemilik modal. Contohnya, para ustaz yang tampil di TV harus didamping para artis beken yang tidak saja cantik dan menarik tetapi juga “sedikit genit.” Tidak jelas siapa memanfaatkan siapa. Apakah terlibatnya artis untuk meningkatkan popularitas sang ustad, menaikkan rating, atau malah kaum pemilik modal ingin menjual bahwa artis tersebut sangat cocern pada agama. Tanpa disadari akhirnya kitapun masuk dalam era “Religiotainment.” Istilah lain yang dapat menggambarkan ini adalah “era kesalehan instan,” dan “komersialisasi spiritualitas.”

  Daftar pembajakan Ramadhan ini tentu dapat diperpanjang. Walaupun harus diakui, ada stasiun TV yang tetap konsisten pada semangat dasar Islam tanpa diintervensi pemilik modal. Sebatas iklan tentu wajar sepanjang tidak berlebih-lebihan. Acara-acara yang diisi Prof. M. Quraish Shihab, Prof. Komaruddin Hidayat dan Ary Ginanjar layak untuk diapresiasi. mereka berhasil memberikan pemahaman Islam yang lebih dinamis, kreatif, damai dan menyejukkan.

  Mungkin saya terlalu berlebihan. Namun saya tidak bisa menjawab pertanyaan yang kerap diajukan orang-orang yang resah, mengapa Ramadhan tidak membawa perubahan kepada kehidupan keberagamaan yang lebih baik? Saya hanya membaca fenomena di atas dengan mengatakan, kehidupan keberagamaan kita tidak akan berubah menjadi lebih baik jika pemahaman keagamaan kita masih dangkal dan sebatas simbolik. Belum menyentuh perilaku, akhlak apa lagi karakter. Agaknya kaum kapitalis berhasil membentuk umat Islam menjadi saleh secara instan dan simbolik.

  Lalu pertanyaannya di mana ulama ? mereka tetap ada. Mengamati dan hemat saya juga prihatin dan resah. Namun sayangnya mereka tidak bisa “mengintervensi” pasar. Penafsiran mereka tentang Islam yang benar kalah oleh penafsiran Islam kaum kapitalis. Kaum kapitalis sangat kuat dan itu terjadi karena mereka menguasai media. Ironisnya, sebagian ustaz dan da’i masuk dalam pusaran tafsiran kaum kapitalis tersebut. Jika demikian, pertanyaan Bellah di atas, menjadi sulit untuk dijawab.

  Hemat saya, muhasabah kita selama Ramadhan ini tidak hanya mengacu pada dosa individu tetapi juga dosa sosial. Yang saya takutkan adalah, ketika Rasul marah karena kita tidak mampu menjaga agama yang telah diwariskannya. Mengapa wajah Islam bisa dibajak kaum

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  kapitas. Dan ini tidak pernah terjadi pada era Rasul dan sahabat. Tanya, mengapa ?