Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat

95 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS cara mengidentifisir dan mencapai sesuatu yang disebut sebagai alokasi segenap sumber daya yang secara sosial efisien dan optimal. Intinya, studi ekonomi kesejahteraan memusatkan perhatian pada kemungkinan pemecahan “terbaik” atas alokasi sumber daya manusia. Teori lain menyebutkan bahwa seorang sejahtera secara ekonomi apabila ia mampu menabung saving dari totalitas pendapatannya. Dengan demikian, tidak seluruh pendapatannya digunakan untuk kebutuhan konsumsinya. Kemampuannya untuk saving bukan didasarkan karena ia menekan kebutuhan konsumsinya dengan sangat minimal, tetapi ia mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya secara efisien. Teori lain juga menjelaskan bahwa seseorang sejahtera secara ekonomi apabila ia memiliki waktu luang. Tidak seluruh waktunya digunakan untuk bekerja mencari uang. Waktu yang tersedia dapat dipakainya untuk menikmati kehidupan, menikmati waktu libur bersama keluarga dan sebagainya. Gagasan Al-Qur’an tentang kehidupan sejahtera harus diterjemahkan dalam bentuk-bentuk kehidupan ekonomi yang lebih konkrit. Setidaknya, secara umum ada tiga institusi ekonomi Islam yang jika dilaksanakan dengan serius, akan memberi dampak terhadap peningkatan kesejahteraan umat Islam. Ketiga pilar utama itu adalah, larangan riba, dorongan untuk melaksanakan zakat dan pemberdayaan wakaf. Diskusi tentang riba sudah sering dilakukan. Dalam kajian ekonomi, hampir tidak ada tema yang lebih banyak dibicarakan oleh pakar-pakar ekonomi selain riba. Riba dilarang karena dapat menimbulkan kezaliman terhadap orang lain. Di samping itu, riba sama sekali tidak akan berpengaruh pada pengembangan usaha sektor riil. Sebaliknya, peraktik riba malah menimbulkan bubble economy. Pada saat Allah SWT melarang riba, sesunguhnya Allah SWT telah menyiapkan alternative untuk mengganti sistem ribawi tersebut. Dalam konteks Indonesia, larangan terhadap riba dijawab dengan melahirkan perbankan syari’ah. Namun jawaban ini jika dihadapkan dengan Al- Qur’an, hemat saya adalah jawaban yang melompat. Kalau kita perhatikan ayat-ayat riba, tegas dinyatakan bahwa Al-Qur’an mengenalkan konsep zakat dan jual beli atau sektor ril sebagai anti tesis dari praktik riba. Zakat sejatinya harus menjadi soko guru ekonomi Islam di Indonesia. Keberadaan umat Islam yang mayoritas di Negara ini memastikan bahwa 96 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS zakat tidak bisa dipandang sebelah mata. Informasi yang diberikan BAZNAS menunjukkan potensi zakat Indonesia itu mencapai lebih dari 213,7 T setiap tahunnya jika dihitung dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa. Realisasinya, zakat di Indonesia baru mencapai angka 2,2 T. Hal ini terjadi bukan karena umat Islam Indonesia tidak menunaikan zakat. Masalahnya justru banyak sekali zakat yang tidak tercatat karena muzakkinya langsung memberikannya kepada para mustahaq. Tak terbayangkan jika zakat bisa dikelola dengan baik lewat bermacam- macam program kesejahteraan. Hasilnya, bukan saja kita mampu mengentaskan kemiskinan tetapi juga dapat meningkatkan taraf kehidupan umat Islam Indonesia lebih baik lagi. Persoalan besar yang kita hadapi adalah bagaimana memberdayakan zakat itu sendiri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberdayaan zakat produktif. Zakat yang tidak hanya sebatas digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif mustahiq tetapi dapat digunakan untuk usaha dan peningkatan SDM. Pada giliranya mereka akan menjadi muzakki-muzakki baru. Pilar kedua yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan lembaga perbankan syari’ah dan lembaga keuangan non bank lainnya. Perbankan Syari’ah sesungguhnya memiliki kemampuan yang dahsyat untuk pemberdayaan ekonomi umat. Hal ini sebenarnya built in di dalam prinsip-prinsip ekonomi Islam, seperti tauhid, khalifah, maslahah dan sebagainya. Di dalam perbankan syari’ah peran-peran mediasi bukanlah sekedar retorika seperti umumnya pada perbankan konvensional. Perbankan syari’ah melalui produk mudharabah dan musyarakah dapat memainkan perannya sebagai sahib al-mal bagi orang-orang yang memiliki skill dan keterampilan namun tidak ditopang dengan modal yang cukup. Lewat produk mudharabah, misalnya sector rill akan bergerak. Andalan institusi ekonomi Islam yang ketiga adalah wakaf. Sepuluh tahun belakangan ini diskursus wakaf berkemang sangat pecat. Lebih- lebih setelah dirumuskannya fikih wakaf baru seperti yang tampak pada UU No 41 Tahun 2004. UU tersebut telah menjadikan wakaf yang selama ini tertimbun dalam tumpukan kitab-kitab fikih, kembali menarik untuk dikaji, dikembangkan dan diimplementasikan. Wakaf di samping memiliki nilai ibadah juga memiliki fungsi sosial. Wakaf khususnya wakaf produktif dan wakaf uang, apabila benar- 97 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS benar dilaksanakan dan dikelola dengan baik, akan berdampak pada pemerataan kesejahteraan umat. Tidak saja dalam bidang agama, tetapi juga bidang-bidang lainnya seperti pendidikan, sosial, potik dan tentu saja ekonomi. Diberbagai Negara yang perwakafannya sudah berkembang dengan baik, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Beberapa Negara yang berpengalaman seperti Mesir dan Turki, telah menjadikan wakaf memiliki peran signifikan dalam pembangunan umat. Konsep al-falah seharusnya menjadi basisi axiologis ekonomi Is- lam. Pemberdayaan zakat dan wakaf serta maksimalisasi peran perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah non bank lainnya haruslah diarahkan untuk pencapaian kesejahteraan manusia, lahir dan batin. Sejahtera bukan sebatas apa yang telah dikonsepsikan oleh ekonom konvensional di atas, tetapi juga sejahtera dalam konteks –moral- spiritual. Sebaliknya, jika ketiga pilar di atas dikelola dengan baik, maka kesejahteraan umat hanyalah sebatas mimpi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

4. Homoeconomic VS Homoislamicus

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim yang sudah balig harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan menukar dan memakan itu, adalah dosa yang besar. Al-Nisa’ ayat 2-6 Kendatipun ayat di atas berbicara dalam konteks pemeliharaan anak yatim baik dari sisi kejiwaannya ataupun hartanya, sebenarnya pesan yang dikandung ayat lebih dari itu. Meminjam istilah Rafiq Yunus, ayat ini memberi tuntunan bagaimana kita dapat membentuk generasi yang cerdas dari sisi ekonomi. Sayangnya, beliau tidak membahas masalah ini panjang lebar. Ia hanya menyatakan bahwa manusia itu melewati empat fase atau priode. Fase pertama adalah janin. Fase kedua menjadi bayi balita- al-tifl. Fase ketiga al-sabiyy al-mumayyiz menjelang baligh. Fase keempat, al-baligh dewasa. Tiga fase yang disebutnya pertama, manusia belum memiliki kemampuan untuk mentasarrufkan harta. Manusia pada era ini belum dapat disebut rasyid smart. Pada fase tersebut, wali, orang tuanya bertanggungjawab dan melakukan tindakan-tindakan 98 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS hukum. Tegasnya, ia ingin mengatakan manusia ekonomi itu adalah cerdas. 9 Konsep al-insani al-iqtisady manusia ekonomi yang cerdas inilah yang perlu dielaborasi lebih lanjut. 10 Pertanyaan mendasar yang dapat kita ajukan adalah, manusia ekonomi seperti apa yang ingin dibentuk oleh ekonomi Islam. Pertanyaan ini penting karena selama ini fokus kita berat sebelah. Artinya, yang kita perjuangkan adalah bagaimana sistem ekonomi syari’ah serta lembaganya dapat tegak di tengah-tengah kehidupan ekonomi umat. Tidak hanya itu, kita juga berjuang bagaimana agar aturan-aturan syari’ah dapat dipositivisasi sehingga memiliki payung hukum yang kuat. Sejauh ini upaya-upaya itu telah berhasil dengan baik kendati masih banyak lobang-lobang yang perlu ditutupi. Kehadiran UU perbankan Syari’ah, UU Wakaf, dan sebagainya adalah contoh kemajuan hukum ekonomi syari’ah. Adapun yang terlupakan untuk tidak mengatakan terabaikan adalah pembangunan manusia ekonomi Islam itu sendiri. Tidak terbayangkan, pada saat kita ingin menerapkan ekonomi Islam secara kaffah, tetapi manusia-manusianya sumber dayanya masih kapitalis atau sosialis. Bisa jadi mereka mengenakan pakaian muslimah, tetapi cara berpikirnya masih kapitalis. Bisa jadi akadnya diawali dengan bismillah, namun qalbunya sepi dari semangat atau ruh jihad al-iqtishad jihad ekonomi. Manusia ekonomi Islam sejatinya bukan hanya mereka yang memiliki skill khusus, seperti kemampuan berbahasa dan berkomunikasi, marketing, akuntansi, perencanaan, tetapi lebih dari itu mereka juga harus menguasai ilmu-ilmu syari’ah dengan baik. Mereka paham tentang fikih ekonomi dan mengerti tentang tafsir ayat-ayat ekonomi. Mereka tidak saja memiliki akhlak yang terpuji tetapi juga memiliki tauhid yang tangguh. Inilah yang disebut dengan homoislamicus. Seorang penulis muda dalam bidang ekonomi Islam, Arif Hoetoro di dalam bukunya yang berjudul, Ekonomi Islam: Pengantar Analisis 9 Rafiq Muhammad Yunus, Al-Ijaz al-Iqtishad li Al-Qur’an Al-Karim, Damasyqus, Dar Al-Qalam, 2005, 10 Lihat kembali penjelasannya lebih luas dalam, Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi AL-Qur’an, h. 50-62.