Nazhir Wakaf Dalam UU No 41 Tahun 2004

8. Nazhir Wakaf Dalam UU No 41 Tahun 2004

  UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf telah mengatur persoalan nazhir dengan sangat rinci. Ini menunjukkan bahwa nazhir memiliki kedudukan yang signifikan di dalam UU tersebut. Di samping itu, ada kesan kuat, eksistensi wakaf dan pemberdayaannya sangat tergantung pada nazhir tersebut. Jika ada harta wakaf yang tidak produktif, atau harta wakaf yang hilang atau yang dialihkan, akar muaranya adalah pada nazhir yang bisa jadi tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

  Di dalam Pasal 1 ayat 4 ditegaskan bahwa nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Di dalam UU tersebut juga diatur bahwa nazhir itu bisa dalam bentuk perorangan, organisasi ataupun badan hukum. Adapun syarat-syarat nazhir (perorangan) adalah warga negara Indonesia, Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani serta tidak terhalang melakukan perbuatan hokum. Jika nazhirnya organisasi syaratnya adalah (1) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nazhir perorangan. (2) organisasi tersebut bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam. Adapun nazhir badan hukum syaratnya adalah, (1) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nazhir perorangan. (2) Badan Hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) organisasi yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam. (Pasal 9-14).

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  Selanjutnya, tugas-tugas nazhir adalah melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Menariknya, UU memberikan hak kepada nazhir hak untuk mendapat imbalan, upah, atau bagian maksimal 10 dari hasil bersih (keuntungan) atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Di samping itu, nazhir juga berhak mendapatkan pembinaan dari menteri yang menangani wakaf dan badan wakaf Indonesia untuk melaksanakan tugasnya secara baik dan benar.

  Satu hal yang perlu diperhatikan, UU tidak memberi kewenangan kepada nazhir untuk melakukan badal atau istibdal sebagaimana yang telah dibahas pada Jum’at lalu. Penukaran harta wakaf sepenuhnya menjadi wewenang menteri Agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Andaipun terjadi perubahan atau penukaran harta wakaf, posisi nazhir adalah memastikan bahwa harta wakaf itu memang tidak dapat lagi dipergunakan, ada kepentingan umum yang berkenaan dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTR) dan didasarkan pertimbangan keperluan agama yang dharuri. Sampai di sini, integritas seorang nazhir menjadi taruhannya.

  Secara implisit UU No 41 Tahun 2004 ingin menegaskan signifikansi keberadaan nazhir. Jika wakaf umat Islam ingin produktif, tidak ada pilihan lain kecuali dengan membentuk nazhir yang profesional. Nazhir yang bukan sebagai status melainkan sebagai profesi yang menuntut kemampuan managerial, integritas moral yang kuat dan visi yang kuat. Di samping itu, rumusan UU tentang nazhir yang sedemikian progresif, sesungguhnya merupakan kritik terhadap nazhir wakaf selama ini.

  Jujur harus diakui, jika sampai saat ini, harta wakaf yang jumlahnya di Indonesia cukup signifikan namun belum berhasil mensejahterakan umat Islam, salah satu faktornya adalah kegagalan nazhir atau ketidak- mampuan nazhir dalam mengelola, memberdayakan, memproduktifkan harta wakaf. Pernyataan ini bukan sekedar asumsi atau opini, namun merupakan sebuah penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Adapun penelitian ini dilakukan oleh CSRC UIN Syarig Hidayatullah pad atahun 2005 di 11 Propinsi yaitu, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,

  224 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Tuti A Najib

  dan Ridwan Al-Makassary, Wakaf, Tuhan dan Agena Kemanusiaan; Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, (Jakarta: FF dan CSRC, 2006).

  Mengenai profesionalitas nazhir, survey memperlihatkan bahwa hanya sedikit nazhir wakaf (16 ) yang benar-benar mengelola wakaf secara penuh (full time). Sebaliknya mayoritas nazhir wakaf (84) mengakui tugasnya sebagai nazhir adalah tugas sampingan. Umumnya mereka memiliki kerja yang lain. Adapun pekerjaan para nazhir adalah sebagai berikut:

  No Profesi Jumlah

  5 Pengurus Masjid

  Karyawan BUMN

  9 Karyawan swasta

  Berangkat dari fenomena di atas, mengharapkan seorang nazhir itu benar-benar professional adalah sebuah utopia (angan angan yang tidak pernah terwujud). Nazhir juga tampaknya belum dipandang sebagai sebuah pekerjaan. Jadi mengelola wakaf masih dipandang sebagai perbuatan sukarela. Penelitian tersebut menunjukkan hanya 8 nazhir yang mendapatkan honor. Selebihnya ada yang mendapatkan honor namun sangat jauh dari cukup. Hanya 18 yang merasa puas dengan gaji sebagai nazhir. Mengapa tingkat kesukarelaan nazhir sangat besar ? Ternyata para nazhir umumnya adalah tokoh agama. Berikut tabel yang menjelaskan kedudukan nazhir di masyarakat.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  No Profesi Jumlah

  1 Tokoh Agama lokal 83

  2 Pejabat Pemerintah 5

  3 Pimpinan Pesantren 5

  4 Pengurus Organisasi 3

  5 Orang Biasa 2

  6 Tokoh Adat 2

  Beberapa data lain yang tidak kalah menariknya adalah ternyata, umumnya yang mengangkat nazhir adalah masyarakat umum. Selebihnya

  27 nazhir diangkat oleh wakif. Nazhir yang berasal dari keluarga sebanyak 11 dan yang bukan keluarga (6 ), pengurus organisasi (12 ) dan pemerintah (9). Di samping itu, pada umumnya nazhir dipilih karena mereka memiliki kemampuan ilmu agama (23 ) dan hanya 16 yang berdasarkan kemampuan manajemen. Masih berkenaan dengan temuan penelitian, ternyata nazhir perseorangan masih dominan di berbagai lembaga wakaf. Adapun persentasenya mencapai angka 66 . Nazir dalam bentuk organisasi sejumlah 16 dan berbentuk badan hokum 18 .

  Setidaknya data-data di atas menunjukkan kepada kita betapa impian untuk mewujudkan nazhir professional menjadi sesuatu yang masih jauh dari harapan. Implikasinya lebih jauh adalah, pemanfaatan harta wakaf kita juga masih jauh panggang dari api. Tegasnya perlu kerja keras untuk melahirkan nazhir professional. Bagaimanapun juga, pember- dayaan wakaf menjadi tidak mungkin sepanjang kita belum berhasil melahirkan nazhir-nazhir yang professional.

  Berangkat dari data-data di atas, pembinaan nazhir sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan. Dengan keberaan UU No 41 tahun 2004, Wakaf telah diposisikan tidak saja sebagai bentuk amaliah umat dengan cara melepaskan hak atas hartanya, melainkan lebih dari itu, wakaf telah ditempatkan sebagai instrument ekonomi Islam yang sangat penting dalam rangka pemberdayaan ekonomi umat. Sejarah perwakafan di sebagian besar negara-negara Islam, cerita sukses mereka semuanya bermula dari kemampuan mengelola harta wakaf secara profesional.

  226 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Wakaf tentu saja tidak bisa lagi di urus dengan cara sambil lalu. Lebih

  parah lagi, jika harta wakaf dibiarkan demikian saja tanpa diproduktifkan.

  Sudah saatnya kita melahirkan nazhir-nazhir yang profesional. Setidaknya dengan menggunakan pendekatan TQM (Total Quality Management), indikator nazhir profesional itu adalah (1) amanah (dapat dipercaya), (2) shiddiq (jujur), (3) Fathanah (cerdas) dan tabligh (transfaran). Selanjutnya, karakter sumber daya nazhir yang amanah adalah (1) terdidik dengan tinggi moralitas, (2) memiliki keterampilan yang unggul dan berdaya saing, (3) memiliki kemampuan dalam melakukan pembagian kerja, (4) dapat melaksanakan kewajiban serta memperoleh hak yang adil dan (5) memiliki standar operasional kerja yang jelas dan terarah. (Djunaidi:2005).

  Dalam konteks Badan Wakaf Indonesia lebih-lebih untuk Sumatera Utara, tugas yang paling mendesak dilakukan adalah pendataan harta wakaf umat Islam di Sumatera Utara. Sudah saatnya kita memiliki data base yang lengkap dan rinci mengenai harta wakaf tersebut. Selanjutnya, pendataan nazhir dan pembinaannya juga harus segera dilakukan. Dari dua langkah inilah, gagasan untuk mengembangkan wakaf produktif dapat dilakukan.

  ‘Ala kulli hal, UU No 41 Tahun 2004 sesungguhnya telah menempatkan nazhir pada posisi yang terhormat. Bahkan keberadaannya dilindungi oleh UU. Oleh sebab itu tugas kita selanjutnya adalah bagaimana menjawab harapan UU tersebut, yaitu terbentuknya nazhir yang kuat dan profesional. Kepada merekalah harapan keberadaan umat Islam masa depan kita pertaruhkan. Semoga.