Menimbun MEMBANGUN SIKAP POSITIF

53 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS BBM naik ataupun langka, maka mereka bisa menjual dengan harga yang mahal. Mau tidak mau, konsumen akan membelinya karena memang mereka sangat membutuhkan. Pertanyaannya adalah, bagaimana hukum menimbun barang atau lebih spesifiknya lagi BBM dalam perspektif hukum Islam. Artikel ini mencoba akan menjawab persoalan di atas. Penimbunan harta dalam literatur Fikih Mu’amalat disebut dengan ihtikar, yang berasal dari kata hakara. Di dalam kamus arti asal kata ini adalah aqz-zulm zhalim atau aniaya dan isa’ah al-mu’asyarah merusak pergaulan. Dalam ilmu sharaf ketika kata hakara mengambil bentuk ihtakara, yahtakiru, ihtikaran, maka arti kata ini adalah upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu kenaikan atau menunggu melonjaknya harga. Pada saat itulah ia akan melepas barang yang ditimbunnya ke pasar. Para ulama fikih memberikan definisi ihtikar dengan redaksi yang berbeda-beda. Imam Asy-Syaukani menyatakan, ihtikar sebagai penimbunan atau penahanan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali mendefinisikannya dengan, Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan dia akan menjualnya dengan harga yang melonjak pula. Haroen,2007:158. Jika kita menyelami pemikiran-pemikiran yang di dalam kitab-kitab fikih, khususnya yang berkenaan dengan ihtikar, kita akan menemukan ragam pemikiran yang berkembang. Di antara yang diperdebatkan ulama adalah berkaitan dengan jenis barang atau produk yang dilarang untuk menimbunnya. Ada yang membatasi diri pada jenis makanan. Alasannya, makanan termasuk ke dalam makanan pokok. Ada pula ulama yang tidak membatasinya hanya pada makanan, tetapi menyangkut semua produk yang menjadi hajat hidup orang banyak. Kata-kata kunci untuk memahami ihtikar adalah penimbunan, kelangkaan, melonjaknya harga. Motivasi ihtikar adalah meraih keuntungan yang sebesar-besarnya pada saat krisis. Dengan demikian, jika ada orang yang menimbun harta untuk dirinya sendiri maka hal itu tidak terlarang. Namun ada ulama yang lebih jauh melihat persoalan ihtikar. Bagi mereka ihtikar mengakibatkan kerugian, kesusahan atau kemudharatan bagi orang lain. Terlepas apakah barang itu ditimbun untuk keperluan diri sendiri atau untuk bisnis. Intinya, penimbunan menyebabkan kelangkaan dan hal itu menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. 54 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Menurut Adiwarman A Karim, monopoli tidak identik dengan ihtikar. Dalam Islam siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual monopoli atau ada penjual lain. Menyimpan stock barang untuk keperluan persediaanpun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut dengan monopoly’s rent. Kesimpulannya monopoli boleh, sedangkan monopoly’s rent tidak boleh. Adiwarman:2002. Menarik untuk mencermati pemikiran Al-Ghazali yang menyatakan penimbunan barang diharamkan apabila: Pertama, Barang yang ditimbun itu adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh. Sebab orang boleh menimbun persediaan nafkah untuk dirinya dan keluarganya selama setahun penuh seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Kedua, Orang yang menimbun itu sengaja menunggu saat harga barang yang ditimbunnya itu memuncak maximing profit, sehingga ia dapat menjualnya dengan harga tinggi. Ketiga, Penimbunan dilakukan pada saat orang banyak sangat mem- butuhkannya, seperti bahan makanan, pakaian dan kebutuhan pokok lainnya. Tetapi kalau barang yang ditimbun tersebut bukan termasuk kebutuhan pokok dan kurang diperlukan, maka hal ini tidak berdosa karena tidak menimbulkan kemudharatan ihya ‘ulum al-din. Lebih lanjut menurut Karim, yang masuk dalam kategori ihtikar adalah apabila komponen-komponen berikut ini terpenuhi. Pertama, Mengupayakan adakalanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock atau mengenakan entry-barries. Kedua, Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan. Ketiga, Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum komponen 1 dan 2 dilakukan. Agaknya satu hal yang perlu diberi catatan bahwa keburukan yang ditimbulkan oleh monopoli, juga terjadi dalam peraktek ihtikar adalah penguasaannya terhadap harga price maker sehingga dapat mempengaruhi atau menentukan harga pada tingkat sedemikian rupa sehingga memaksimumkan labanya, tanpa memperhatikan keadaan konsumen. Produsen monopolis dapat mengambil keuntungan di atas normal normal profit sehingga merugikan konsumen. 55 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Hemat penulis, semangat inilah yang terdapat dalam peraktek ihtikar sehingga dilarang Rasul. Di dalam hadis Rasul bersabda, siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat. Riwayat Thabrani. Di dalam hadis yang lain Rasul bersabda, siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah. Riwayat Ibn Majah. Masih menurut hadis rasul, “para pedagang yang menimbun barang makanan keperluan pokok manusia selama 40 hari, maka ia terlepas dari hubungan dengan Allah dan Allahpun melepaskan hubungan dengan-nya. Ihtikar bagaimanapun juga akan menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. Di samping itu, ihtikar juga menunjukkan egoisme diri yang tak berbatas, satu sifat yang dibenci oleh Allah Swt. Disebabkan kemudharatan yang ditimbulkan peraktek ihtikar, pemerintah sejatinya harus dapat menutup pintu sadd al-zari’ah bagi terjadinya ihtikar. Jika ihtikar telah terjadi maka pemerintah harus mampu mengurainya dan memberikan hukuman bagi pelakunya. Oleh sebab itu, pesan moral yang kita petik dari hadis adalah, jangan kita menggunakan kekayaan kita untuk menimbulkan kemudharatan orang lain. Tidak pula kita menggunakan kekuatan ekonomi kita untuk mengambil keuntungan tak terbatas pada saat orang lain mengalami kesulitan. Tetap saja yang utama adalah bagaimana kita bersikap moderat, tawassut, sederhana, dan inilah sesungguhnya inti dari ekonomi Islam yang terambil dari kata al-qasd yang maknanya adalah kesederhanaan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

3. Etika Konsumsi

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Al-A’raf:31 Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie yang berarti suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, barang maupun jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan. Sedangkan konsumen adalah individu-individu atau kelompok pengguna barang dan jasa. Perlu dibedakan antara konsumen dengan distributor. 56 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Konsumen membeli barang dan digunakan untuk diri sendiri. sedangkan distributor akan membeli barang dan menjualnya kepada orang lain. M.A. Mannan, seorang pakar Ekonomi Islam asal Bangladesh mengatakan dengan gamblang bahwa konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan. Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk tentu tidak mengabaikan persoalan yang amat penting ini. Tidak berlebihan jika dikatakan, sebagaimana seriusnya Al-Qur’an melarang peraktik riba dan mendorong dikembangkannya tradisi zakat, sedemikian pula seriusnya Al-Qur’an menata perilaku konsumsi umat. Tidak saja karena konsumsi berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan rohani, tetapi juga karena konsumsi juga berhubungan dengan keseimbangan alam. Oleh sebab itu, kita akan menemukan banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menata bagaimana sejatinya kita mengembangkan perilaku konsumsi yang sesuai dengan aturan-aturan syari’at. Salah satu ayat yang cukup penting adalah yang terdapat pada surah Al-A’raf ayat 31 yang terjemahannya telah dikutip di atas. Dari sisi asbab al-nuzul, ayat di atas turun terkait dengan kejadian beberapa sahabat Nabi yang bermaksud meniru kelompok al-Hummas yaitu kelompok Quraisy yang menggebu-gebu semangat beragamanya sehingga tidak mau berthawaf kecuali memakai pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan dosa, serta sangat ketat dalam memilih makanan dan kadarnya selama melaksanakan ibadah haji. Jelaslah, ayat tersebut turun sebagai kritik Allah kepada bangsa Quraisy yang berlebih-lebihan dalam beribadah. 2 M. Quraish Shihab dalam menafsirkan surah Al-A’raf ayat 31 menjelaskan bahwa kita diajarkan tentang keharusan memakai pakaian yang indah dan patut serta menutup aurat. Penggunaan pakaian ini ketika memasuki masjid atau di dalam masjid, baik dalam arti khusus maupun masjid dalam pengertian luas, yaitu bumi Allah. Makanlah yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi dan berakibat baik pada tubuh. Minumlah minuman yang kamu sukai tetapi tidak memabukkan dan tidak mengganggu kesehatan. Janganlah berlebih-lebihan karena Allah tidak menyukai orang yang berlebihan. Tegasnya Allah tidak memberikan rahmat dan pahala bagi orang yang berlebihan. Dengan demikian, prinsip utama 2 Azhari Akmal Tariga, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, h. 200-216.