Menghempang Budaya Konsurisme Lewat Puasa

2. Menghempang Budaya Konsurisme Lewat Puasa

  Tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar saat ini seperti pasar swalayan, Plaza-plaza dan Mall ternyata membawa pengaruh yang cukup signfikan terhadap perubahan budaya pasar masyarakat kota. Perubahan budaya tersebut dapat kita lihat pada dua hal. Pertama, pasar yang selama ini bersifat alamiah dan menjadi pusat transaksi jual beli bergeser menjadi pusat pembentukan gaya hidup.

  Mall sebagai model pasar abad 21 telah berkembang menjadi pusat pembentukan gaya hidup. Mall mengkonsentrasikan dan merasionalisasikan waktu dan aktivitas masyarakat, sehingga ia menjadi pusat aktivitas sosial dan akulturasi, tempat pembentukan citra dan eksistensi diri, sumber pengetahuan, informasi, tata nilai dan moral. (Yasraf Amir Piliang:1999)

  Kedua, transaksi jual beli yang semula di dasarkan atas kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan pangan dan sandang bergeser kepada dasar pembentukan citra diri dan status sosial. Dalam budaya yang seperti ini, konsumsi tidak lagi diartikan sebagai lalu lintas kebudayaan benda, akan tetapi menjadi sebuah panggung sosial, yang di dalamnya terjadi perang posisi di antara anggota-anggota masyarakat yang terlibat. Produk-produk yang dikonsumsi dijadikan sebagai medium untuk pembentukan personalitas, gaya hidup, dan citra diri ditengah-tengah komunitas masyarakat lainnya.

  Kondisi inilah yang terjadi saat ini tidak saja di Barat tetapi juga telah melanda di kota-kota muslim. Akbar S Ahmed melaporkan mall telah tiba di kota-kota muslim dan berkembang dengan pesat bahkan di Saudi Arabia, tanah suci umat Islam. Akibatnya adalah umat Islam saat ini merasa kesulitan untuk merekonsiliasi mall dengan masjid. Masjid yang diharapkan sebagai focus sosial ternyata telah bergeser ke mall. Mall benar-benar telah menjadi fokus sosial dan membuat orang setia untuk mengunjunginya setiap saat.

  Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, juga terkena imbasnya. Tumbuh suburnya pusat-pusat perbelanjaan modern seperti plaza dan mall di kota-kota besar tidak bisa dihindari.

  110 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Kita seolah-olah tidak berdaya menolak kehadirannya. Tidak itu saja

  sadar atau tidak kehadirannya juga ikut membentuk prilaku konsumtif masyarakat kita yang terus berubah.

  Manusia-manusia postmodern –meminjam istilah Akbar S Ahmed- saat ini ketika membeli sesuatu tidak saja didasarkan pada kebutuhan dasar hidupnya (primer atau sekunder) melainkan juga didorong oleh keinginannya untuk meningkatkan strata hidupnya dalam struktur sosial masyarakat tertentu.

  Konsumsi tidak sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau symbol sosial tertentu. Konsumsi mengekspresikan posisi sosial yang tersembunyi di baliknya. Kecenderungan seperti ini oleh para pemikir sosial dan budaya Eropa pada umunya disebut dengan budaya konsumerisme. (Yasraf Amir Pilliang:1999).

  Dalam konteks ini, pola budaya konsumsi masyarakat tidak lagi ditandai oleh logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire). Masyarakat tidak saja akan mengkonsumsi benda-benda tetapi juga membeli simbol, pesan yang dikandung di balik benda tersebut. Ketia ia mengkonsumsi sesuatu sebenarnya ada yang hendak dikomunikasikannya bahwa Ia telah berada pada kelas tertentu dan membedakannya dengan orang lain. Dengan kata lain mengkonsumsi adalah salah satu cara untuk mengeksternalisasikan diri dalam strata tertentu.

  Ironisnya budaya konsumerisme yang diperankan oleh masyarakat konsumer terjadi pada saat ketimpangan sosial ekonomi masyarakat masih sangat tinggi. Jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin begitu menganga. Dengan demikian kehadiran plaza dan mall hanyalah mempertontonkan kesenjangan sosial dan membuat potret kemiskinan begitu jelas dan transparan. Yang paling mengkhawatirkan adalah, budaya konsumerisme ini menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat yang pada gilirannya mengundang terjadinya kerawanan sosial.

  Puasa dan Keseimbangan Hidup

  Kehadiran Bulan Ramadhan di saat budaya konsumerisme menjadi sebuah fonomena kehidupan masyarakat saat ini dipandang sangat

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  tepat. Di dalamnya terbesit harapan akan sebuah perubahan gaya hidup dari budaya konsumerisme ke budaya hidup sederhana. Apakah puasa Ramadhan memiliki kekuatan untuk melakukanperubahan tersebut. Secara teologis normative, jawabnya tentu dapat.

  Puasa yang di dalam bahasa Arab disebut dengan al-imsak mengandung arti menahan. Maksudnya adalah orang yang melaksanakan ibadah puasa dituntut untuk mampu menahan segala keinginannya dari kecenderungan hawa nafsu yang selalu saja mendorong manusia untuk berbuat yang tidak baik (destruktif). Tegasnya dengan melaksanakan puasa, masyarakat dilatih untuk mampu mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya, termasuklah keinginan mengkonsumsi, membeli benda-benda yang sebenarnya tidak diperlukannya.

  Para ahli psikoanalisa selalu saja menggambarkan manusia itu senantiasa berada dalam suatu proses tarik menarik antara unsur jasmaniyah dan unsur rohaniyah. Alquran menyebutnya dalam surah al-syams ayat 8 dengan kata fujur dan kata taqwa. Fujur adalah keinginan untuk selalu melanggar perintah Allah SWT dan taqwa adalah keinginan untuk selalu mematuhinya. Kedua potensi ini selalu bertarung dalam diri manusia. Bisa saja dikatakan, fujur berasal dari tanah (kecenderungan jasmani) dan taqwa berasal dari roh (kecenderungan rohani).

  Unsur jasmaniyah yang berasal dari tanah akan menjadikan manusia cenderung untuk memenuhi kebutuhan fa‘alinya seperti makan, minum, kebutuhan sexual dan material, yang sebenarnya tidak memiliki titik henti. Seringkali dalam memenuhi kebutuhan ini manusia tidak lagi memperhatikan ajaran-ajaran agamanya dan cenderung untuk menghalalkan segala cara. Akhirnya jadilah manusia itu sebagai makhluk yang rakus dan serakah.

  Sedangkan unsur rohaniyah yang langsung bersumber dari Allah SWT, membuat manusia itu cendeung pada kebenaran, berkeinginan untuk melakukan yang baik-baik dan selalu ingin dekat kepada asalnya yaitu Allah SWT. Inilah makna bahwa pada dasarnya manusia itu hanif yang artinya cenderung pada kebenaran (mail ila al-Haq).

  Kedua potensi inilah yang selalu bertarung pada diri manusia yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketimpangan hidup dan disharmonisasi. Dikatakan demikian karena seringkali kedua kebutuhan ini tidak seimbang dalam diri manusia. Adakalanya kebutuhan duniawinya lebih dominan

  112 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS dan terkadang kebutuhan rohaninya yang lebih dominan. Situasi seperti

  ini seringkali menyiksa kehidupan manusia karena tidak sesuai dengan fitrahnya sendiri.

  Melalui ibadah puasa ketidakseimbangan ini akan dipecahkan. Disatu sisi setiap orang yang berpuasa harus mengurangi kebutuhan jasmaninya seperti makan, minum (material) dan kebutuhan sexual. Pada sisi lain ia juga harus menyuburkan perkembangan batinnya dengan ibadah puasa, sholat baik fardu ataupun sunnat, zikir dan membaca al-Qur’an. Pada akhirnya kebutuhan jasmani yang sebelumnya dominan, menjadi turun dan kebutuhan rohaninya yang semula rendah dapat dinaikkan sejajar dengan kebutuhan jasmaninya, sehingga tidak ada yang dominan.

  Setelah mencapai keseimbangan baru tersebut, sebenarnya pribadi muslim tersebut telah kembali kepada fitrah asalnya yaitu satu bentuk kehidupan yang alami (natural) seimbang kebutuhan jasmani dan rohani. Dalam surah al-rum ayat 30 Allah berfirman: Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama yang hanif (lurus) yang diciptakan Allah SWT sesuai dengan fitrah manusia. Melalui ayat ini tegaslah bahwasanya manusia itu pada hakikatnya diciptakan dalam kondisi fitrah. Satu bentuk kehidupan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani.

  Kehidupan yang seimbang adalah satu bentuk kehidupan yang otentik bagi manusia. Ia akan memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kebutuhan material-fisik berdasarkan logika kebutuhan (need) dan bukan didasarkan pada logika hasrat (disire). Ia akan sadar kehormatan dan citra dirinya ditengah-tengah masyarkat bukan ditentukan oleh harta materi yang dimilikinya, melainkan kualitas ketakwaannya yang ditandai dengan keberhasilannya memenuhi kebutuhan rohaninya secara seimbang.

  Selanjutnya kelebihan material yang dimiliki akan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui instrumen Zakat, Infaq dan sadaqah. Sedangkan bagi dirinya, Ia akan menerapkan pola hidup sederhanabersahaja.

  Penutup

  Predikat taqwa yang merupakan tujuan akhir dari ibadah puasa akan ditandai oleh kemampuan seseorang menahan dan mengendalikan hawa nafsunya termasuk hasrat untuk memiliki sesuatu benda yang

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  sebenarnya tidak diperlukannya. Kemampunannya mengendalikan diri tercermin dalam sikap hidup yang sederhana. Selanjutnya ia akan menggunakan kelebihan materialnya tersebut untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara mendistribusikan kekayaannya kepada orang-orang yang tidak mampu.

  Akankah puasa Ramadhan akan berhasil merubah pola budaya konsumerisme menjadi pola budaya hidup sederhana?. jawabnya akan sangat tergantung pada tingkat penghayatan kita terhadap ibadah puasa tersebut. Semoga.