Hati-hati Dengan Label Syari’ah

75 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS operasional, gaji dan hal-hal yang dapat dijangkau dengan wawancara yang tidak terstruktur. Saya tentu saja tidak mensyaratkan perangkat metode penelitian yang ketat. Kegiatan ini dapat dikatakan sebagai langkah awal untuk lebih memahami bagaimana sesungguhnya etika bisnis yang ditampilkan oleh lembaga-lembaga yang mengusung label syari’ah tersebut. Adapun lembaga-lembaga yang diobservasi adalah bank Syari’ah dengan bank Konvensional, asuransi Syari’ah dengan asuransi konvensional, MLM syari’ah dengan MLM konvensional, Swalayan Syari’ah dengan Swalayan konvensional. Mereka saya persyaratakan untuk mendeskripsikan tidak saja materi wawancara tetapi juga suasanan yang mereka rasakan dan interaksi yang mereka lihat sepanjang observasi berlangsung. Jika mungkin mereka juga dianjurkan untuk melengkapi informasinya dengan foto-foto. Tampaknya tampilan etika pelayanan terhadap nasabah atau pelanggan di setiap lembaga bisnis syari’ah itu bertingkat. Pelayanan yang diberikan oleh lembaga perbankan syari’ah jauh lebih baik diberikan karyawannya dibanding dengan lembaga syari’ah lainnya seperti hotel, asuransi dan MLM. Pelayanan yang terjelek ternyata ditampilkan oleh Rumah sakit yang mengusung simbol-simbol Islam. Kendati demikian jika dibanding dengan lembaga bisnis konvensional, lembaga bisnis syari’ah tampaknya masih perlu berbenah diri dan meningkatkan “tampilan syari’ahnya”. Saya akan memberikan contoh sederhana. Mahasiswa bercerita di salah satu perbankan konvensional, mereka disambut oleh satpamnya dengan ramah, kemudian dipersilahkan duduk dan ditanya tentang apa yang bisa dibantu sang karyawan. Menariknya karyawan tersebut dengan sabar menjawab pertanyaan mahasiswa. Mahasiswa mendapatkan kesan positif ketika berada di perbankan konvensional. Ketika berada di lembaga perbankan syari’ah, mereka juga diperlakukan relatif sama. Yang membuat mahasiswa tersebut tidak simpatik adalah, pada saat HP berdering, karyawan tersebut langsung menyambut dan seterusnya berbicara dan tertawa tanpa peduli dengan orang yang di depannya. Padahal pembicaraan yang mereka lakukan belum selesai. Ini adalah contoh kecil, standar pelayanan syari’ah belum ditampilkan karyawan dengan cara yang mengesankan. Sebenarnya, karyawan bisa saja berkata, “mohon maaf dek sebentar ya, saya terima telepon dulu ?”. Jika itu 76 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS masalah bisnis, ia bisa sambut pembicaraan tersebut. Jika masalah pribadi, karyawan bisa tunda sampai waktu istirahat. Namun ini sama sekali tidak tampak. Lain lagi suasana yang mereka rasakan di asuransi yang berlabel syari’ah. Pagi-pagi sekali, mereka sudah dicurigai seolah-olah akan melakukan analisis dan pemeriksaan. Sikap yang tidak simpatik sangat dirasakan oleh mahasiswa. Pertanyaan mereka dijawab seadanya saja. Tidak ada senyum dan sapa. Beda halnya ketika mereka berada di asuransi konvensional. Mereka disambut dan dihantar kebagian marketing. Dialogpun berlangsung dengan hangat. Yang membuat saya terkejut –menurut laporan mahasiswa - ketika hendak pulang, mereka bahkan diantar sampai ke pintu sembari karyawannya berkata, sampai ketemu lagi di lain waktu. Kondisi yang tidak kalah mengejutkan adalah ketika mereka berada di MLM yang juga mengusung label syari’ah. Suasana keramahan sangat tidak terasa. Seolah-olah mereka hanya akan melayani orang- orang yang hanya menjadi mitra atau leadernya saja. Sedangkan “orang- orang baru” yang sekedar bertanya, tidak direspon dengan baik. Suasana yang mereka rasakan sangat tidak dinamis. Berbeda halnya ketika mereka di MLM konvensional. Penyambutan dan pelayanan yang diberikan sangat bersahabat. Mahasiswa merasakan aura dinamis dan optimis yang melekat pada orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Padahal di dalam bisnis MLM, bukan hanya memasarkan produk tetapi para leader atau distributornya harus mampu memasarkan dirinya secara simpatik bahkan menjadi teladan bagi orang lain. Demikian juga halnya di swalan syari’ah. Sepertinya swalayan syari’ah belum memiliki SOP terhadap pelayanan konsumen atau calon konsumen. Laporan yang diberikan mahasiswa tertangkap kesan, di swalayan Syari’ah mereka tidak menemukan sesuatu yang spesifik yang mendungkung ke syari’ahan tersebut. Kalaupun ada masih sebatas artifisial seperti informasi waktu shalat. Tampilan SPG-nya juga kurang bersahabat. Standar pelayanan sederhana 5S tidak dijalankan dengan baik. Pada hal di dalam Islam, senyum itu sedekah. Sedangkan di konvensional, SOP pelayanan costumer begitu terasa. Misalnya, konsep 5S benar-benar dijalankan oleh SPG-nya. Mereka melayani pelanggannya dengan berdiri, menawarkan produk, menjelaskan dan mendemokan produk dimaksud. 77 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Pada bagian akhir, apakah pembeli tertarik atau tidak, mereka tetap menawarkan produk yang lain. Sedangkan kondisi di hotel syari’ah suasanannya tentu lebih baik. Konsep syari’ah kendati ditekankan pada aspek normatif Islam, seperti tidak boleh membawa pasangan yang bukan mahram, tidak adanya minuman keras dan tempat hiburan malam, hal ini jauh lebih baik di banding dengan hotel yang tidak mengusung label syari’ah. Bagi hotel konvensional, yang paling penting adalah tidak ada keributan atau kegaduhan di dalam hotel. Jika semua berlangsung aman, mereka tidak peduli dengan siapa yang di bawa ke dalam kamar hotel. Hanya saja, kritik yang diberikan mahasiswa, konsep 5S senyum, salam, sapa, sopan dan santun belum dijalankan oleh karyawan-karyawan di bagian receptionis hotel syari’ah. Kondisi yang paling parah tampak di RS yang mengusung label Islam. Mahasiswa membandingkannya dengan salah satu RS yang jelas-jelas mengusung label agama tertentu. Hal ini terlihat tidak saja dari namanya tetapi juga simbol-simbol yang ada di dalam ruangan tersebut. Namun apa yang mereka rasakan. Pelayanan yang diberikan benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Mulai dari SATPAM, pancaran cinta kasih sudah terasa. Mereka disambut, di layani dan ditanyakan maksudnya. Suasananya bertolak belakang ketika mereka berada di RS yang mengusung label Islam. Mahasiswa merasakan sambutan yang kurang bersahabat,cuek dan tidak hangat. Ironisnya, ketiak mahasiswa bertanya kepada pasien, jawaban yang diberikan cukup menyesakkan dada. Ada pasien yang ditelantarkan. Bahkan ada pula yang tidak dilayani sebelum mendapatkan surat keterangan dari Bupati. Tentu banyak lagi info yang membuat kita miris melihat RS yang mengusung label Islam tersebut. Contoh-contoh di atas tentu saja terkesan sangat sederhana. Gambaran di atas tidak serta merta membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa Syari’ah telah dimanfaatkan hanya untuk kepentingan pasar semata. Tidak juga membuat kita segera menyimpulkan bahwa lembaga pengusung label syari’ah ternyata tidak syari’ah. Banyak aspek dan indikator lain yang perlu dikaji, misalnya sistem operasionalnya, model penggajian dan hak-hak karyawan, relasi karyawan dan pemimpin dan sebagainya. Namun setidaknya, info di atas menunjukkan bahwa banyak hal yang 78 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS harus dibenahi. Kita tidak bisa berkata, bukankah hal-hal di atas sebagai persoalan sepele dan nilainya kecil. Namun harus diingat, orang jatuh bukan karena batu yang besar tetapi karena kerikil yang kecil. Dari laporan yang diberikan mahasiswa tersebut ada beberapa catatan yang bagi saya cukup menarik untuk dikedepankan. Pertama, konsep syari’ah yang dipahami lembaga bisnis tersebut masih terkesan parsial. Tidak kaffah total, syumul serba melingkupi dan komprehensif. Kedua, syari’ah tampaknya lebih dijadikan sebagai merek atau brand perusahaan. Syari’ah belum sepenuhnya menjadi spirit atau ruh dari organisasi atau lembaga bisnis tersebut. Ketiga, pembinaan aspek-aspek emotional dan spiritual karyawan tampaknya diabaikan oleh pimpinan dan seolah dianggap hal yang tidak berhubungan dengan perusahaan. Keempat, tampaknya kita juga belum memiliki SOP pelayanan syar’i. Inilah yang sejatinya harus dirumuskan oleh pakar-pakar ekonomi syari’ah. Jika hal-hal yang kelihatannya sederhana di atas tidak segera dibenahi, keberadaan lembaga-lembaga pengusung label syari’ah, hanya akan membuat citra Islam semakin terpuruk. Lembaga-lembaga bisnis syari’ah harus sadar, bahwa salah satu fungsi mereka adalah da’wah bi al-hal da’wah dengan tindak-tanduk yang nyata. Mereka menjadi cover dari Islam itu sendiri. Jika penampilan dan pelayanan yang diberikan tidak baik, tidak profesional, maka orang akan menjadi mudah untuk menstigma Islam. Sejatinya, mereka harus tunjukkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi profesional dalam menjalankan tugas apapun. Setelah mahasiswa mempresentasikan laporan observasinya, saya betul-betul tercengang. Sebelumnya saya juga pernah mendengar betapa kurang baiknya pelayanan yang diberikan lembaga-lembaga pengusung label syari’ah. Sangat tidak profesional dan juga kurang islami. Namun ketika mahasiswa memberikan laporannya langsung dari lapangan, saya menjadi yakin ada persoalan besar yang harus segera kita selesaikan. Menjadi tanggungjawab pemimpin perusahaan untuk membenahi segala macam hal yang berkaitan dengan pelayanan dan juga sistem operasional perusahaan. Benar bahwa beban syari’ah akan terasa lebih berat. Dan saya kira itu sudah disadari ketika kita berkomitmen untuk mengusung label syari’ah itu. Saya tersentak kembali ketika menyadari bahwa saya juga berada di lembaga pendidikan agama. Apa yang dirasakan orang lain ketika 79 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS berurusan dengan IAIN.SU. Bagaimana jika ada orang luar yang meng- observasi pelayanan di IAIN.SU. Jangan-jangan hasilnya lebih buruk lagi. Bukankah banyak mahasiswa yang mengeluh dengan model pelayanan birokrasi dan akademiki di IAIN.SU. Jika ditarik lebih luas lagi. Apa yang dirasakan masyarakat ketika berurusan dengan Kementerian Agama yang nota bene diisi oleh orang-orang yang mengerti agama. Misalnya ketiak mengurus haji. Jangan-jangan hasilnya sangat mengecewakan. Jangan salahkan jika ada yang berpendapat bahwa orang-orang yang mengurusi lembaga yang mengusung nama agama memang tidak profesional. Saya kira sudah saatnya kita yang berada di lembaga-lembaga yang mengusung simbol agama apapun namanya, apakah lembaga bisnis, pendidikan dan institusi pemerintahan, untuk memperbaiki diri dan pelayanan kita kepada masyarakat. Adalah sesuatu yang ironis, jika kita termasuk orang-orang yang merendahkan nilai-nilai Islam itu sendiri. Jika teroris kita tuduh telah membuat stigma Islam menjadi agama kekerasan, jangan-jangan kita juga berkontribusi terhadap stigma Islam sebagai agama yang tidak kompatibel dengan nilai-nilai manajemen modern. Wallahu a’lam bi al-shawab.

4. Mewaspadai Investasi

“Maghrib” Dalam konteks Ekonomi Islam, pada umumnya seluruh aktivitas bisnis diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya. Dalam kaedah fikih disebutkan, al-aslu fi al-mu’amalat al-ibahat hatta yadulla al-dalil ‘ala tahrimihi. Kaedah ini menjadi niscaya karena bisnis sesungguhnya adalah aktivitas yang membutuhkan kreatifitas. Dengan kata lain, bisnis membutuhkan inovasi-inovasi baru untuk menghindarkan kejenuhan pasar. Tanpa inovasi dan kreatifitas, bisnis diduga kuat akan mengalami kehancuran. Setidaknya bisnis itu akan mengalami kelesuan lalu secara perlahan-perlahan mengalami kematian. Tentu saja ajaran Ekonomi Islam sangat mendorong kreatifitas dan inovasi dalam bisnis. Islam tidak mengatur bagaimana bentuk inovasi tersebut diwujudkan. Islam hanya memberikan batasan-batasan berkaitan dengan aktivitas bisnis yang harus dihindarkan. Bisnis Islam mengajarkan norma-norma yang harus dipatuhi. Dalam berbagai referensi ekonomi 80 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Islam, bisnis yang dilarang adalah bisnis yang di dalam aktivitasnya mengandung unsur “Maghrib”. Maghrib itu sendiri adalah singkatan dari, Maisir, Gharar, Riba dan Batil. Ada juga yang menambahkan kreteria lain seperti zalim. Namun menurut hemat penulis, inti dari “maghrib” itu adalah kezaliman. Mengapa maghrib di larang ? Jawabnya karena menimbulkan kezaliman. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengurai satu persatu makna maghrib tersebut. Pertama, maisir. Kata maisir dalam bahasa Arab berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Judi dilarang terlepas apakah seseorang terlibat secara penuh atau berperan sedikit. Di samping judi dikenal juga istilah azlam yang juga bermakna peraktek perjudian. Biasanya azlam digunakan untuk menyebut peraktek perjudian yang menggunakan berbagai macam bentuk taruhan, undian atau lotere. Larangan kedua bentuk peraktek perjudian ini disebabkan karena seseorang akan mendapatkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi, ramalan atau terkaan. Dan sekali lagi bukan di dapat dari sebuah kerja yang riil. Allah SWT telah melarang perjudian dengan larangan yang cukup tegas dan keras. Bahkan syari‘at memposisikan harta yang diperoleh dari perjudian sebagai harta yang bukan termasuk hak milik. Di dalam surah al-maidah Allah SWT berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Kedua, Riba. Riba secara bahasa bermakna bertambah al-ziyadah, dan tumbuh. Sedangkan menurut istilah riba yang dalam bahasa Inggris disebut dengan usury berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Kendati para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan riba, namun ada benang merah yang menghubungkannya yaitu, pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli atau hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan prinsip mu’amalat Islam. Ulama telah sepakat bahwa riba hukumya haram. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa ayat al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad SAW. Diantaranya terdapat pada surah al-Baqarah 2; 278, 279 dan ali- Imran 3;130. Sebenarnya dalam agama selain Islampun khususnya agama samawi, riba tetap dilarang. Dalam bentuk modern, wajah riba tampak pada bunga bank. Fatwa MUI sesungguhnya telah menghentikan polemik