Kajian Islam IAIN.SU, dari Dikotomi ke Integrasi
250
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
di masyarakat. Pada skala yang lebih makro, tantangan masa depan yang semakin compleceted juga membutuhkan respon dan jawaban
yang tidak saja benar tetapi juga fungsional. Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat saat ini tidak lagi sederhana. Isu-isu gender, HAM,
buruh migran, Traficking, dan terorisme, adalah isu-isu yang tidak boleh dianggap sebagai angin lalu. IAIN. SU harus meresponnya tidak saja
secara institusional tetapi lebih dari itu, harus direspon dengan pendekatan keilmuan yang terpertanggungjawabkan. Jika di dalam Islam dikenal
doktrin, “Islam salihun likulli zaman wa makan” maka dalam konteks IAIN. Kita harus berani mengatakan, IAIN. SU Salihun likulli zamana
wa makan. IAIN.SU harus tetap eksis di segala zaman dan tempat.” Untuk tetap salih, IAIN. SU harus berubah, dinamis, progresif dan responsif.
Ironis memang, jika sampai hari ini, pada saat usia IAIN.SU berusia 37 tahun, tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa IAIN.SU tidak
lebih DARI sekedar pesantren kota, tegasnya pesantren di tengah-tengah kota. Lulusannyapun dianggap hanya mampu membaca do’a dan ceramah
agama. Tidak lebih dari itu. Jika lulusan IAIN.SU mampu membaca do’a, ceramah, dan memimpin ritual-ritual ibadah, itu memang bagian
dari kompetensinya. Hanya saja yang salah adalah jika kemampuan yang telah disebut di awal dipandang satu-satunya kemampuan. Pernyataan
yang benar adalah, alumni IAIN.SU sekarang ini disamping mampu memimpin ritual keagamaan, tetapi mereka juga mampu memimpin
partai politik, bekerja di lembaga dan organisasi modern, seperti perbankan dan perusahaan modern, wartawan bahkan di militer. Alumni IAIN, juga
memiliki etos kewirausahaan yang membanggakan. Mereka mampu menciptakan lapangan kerja bagi puluhan bahkan ratusan orang-orang
yang tidak memiliki pekerjaan.
Dalam konteks kajian Islam, mahasiswa IAIN SU dididik tidak lagi menjadi muqallid taqlid-mengikuti apa kata dosen dan kitab, tetapi
juga harus berani berijtihad setidaknya untuk dirinya sendiri. IAIN.SU tidak melahirkan muqallid pengikut buta tetapi melahirkan mujtahid
pembaharu. Bahkan saat ini mahasiswa juga dilatih untuk mampu mengkritik, menggugat pemikiran masa lalu, walaupun pemikiran itu
dilahirkan oleh ulama-ulama besar. Pergerakan dari muqallid taqlid ke mujtahid ijtihad lalu menjadi pengkritik naqdiyyah, inilah yang
membuat IAIN termasuk IAIN.SU kerap disalahpahami. Jika IAIN dituduh
251
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
melahirkan orang-orang liberal, seperti yang dituduhkan oleh Hartono Ahmad Jaiz, sebenarnya tuduhan itu lebih menggambarkan ketidakpahaman
mereka terhadap perkembangan keilmuan Islam saat ini. Akibatnya, ketika mendengar pemikiran Islam yang berbeda dengan main stream
yang berkembang, pikiran itu distigma sebagai sesat, aneh dan nyeleneh.
Meminjam kerangka pemikiran yang ditawarkan Prof. Dr. Amin Abdullah, MA, adalah penting bagi kita untuk membedakan antara ulum
al-din, al-fikr al-islami dan dirasah islamiyyah. Tanpa pemahaman yang tepat terhadap ketiga istilah ini, yang terjadi adalah kekacauan atau
kerancuan pemikiran. Ketiga istilah tersebut sebenarnya menggambarkan perjalanan sejarah keilmuan Islam. Jika dahulu kita berada pada era
ulum al-din ingatlah karya magnum opusnya Al-Ghazali, ihya ‘ulum al-din, kitapun telah memasuki era pemikiran Islam al-fikr al-islami
dan saat ini kita berada di gerbang dirasah islamiyyah.
Apa sesungguhnya yang membedakan ketiga terminologi kunci ini. Secara sederhana, úlum al-din adalah era ilmu-ilmu Islam klasik yang
mencapai puncak kejayaannya pada abad tengah. Kita masih ingat Imam Al-Ghazali bahkan ulama-ulama lainnya yang berhasil merumuskan
bangunan keilmuan tafsir dan ilmu tafsir, hadis dan ulum al-hadis, fiqh- ushul fiqh, bahasa, Kalam-Tasawuf dan cabang ilmu tradisional lainnya.
Pada era ini, kekuatan bahasa atau teks menjadi sesuatu yang niscaya. Demikian juga penarikan kesimpulan secara deduktif sangat dominan.
Teks apakah itu qur’an dan hadis, dijadikan satu-satunya penentu untuk mengabsahkan sesuatu atau menolaknya. Tidak ada kritik hadis baik itu
naqd sanad ataupun naqd al-matan seperti yang berkembang saat ini.
Seiring dengan terbitnya fajar pembaharuan pemikiran Islam yang dimotori oleh Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Iqbal, sampai pada
era Fazlur Rahman, kitapun memasuki fase baru yaitu, al-fikr al-islami. Kajian-kajian Islam pada era ini tidak lagi normatif tetapi juga bernuansa
filosofis. Muncullah disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an, pemikiran hukum, pemikiran kalam, pemikiran tasawuf, pemikiran modern dalam Islam dan sebagainya.
Konsekuensi kajian yang tidak lagi semata berdasarkan teks dan deduktif, membuat banyak produk pemikiran Islam yang lahir berbeda dengan
kesimpulan-kesimpulan yang ditemukan di dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Tidak sedikit pembaharu yang diusir dari kampung halamannya, dituduh
sesat, antek Yahudi, dan tuduhan keji lainnya. Bahkan ada yang mati
252
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
dibunuh. Semuanya disebabkan pembaharuan pemikiran yang ditawarkannya berbeda dengan pemikiran tradisional yang sudah membatu.
Saat ini kita sedang memasuki era dirasah islamiyyah yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Islamic studies. Kendati
kajiannya tetap berbasis filosofis, tetapi metode dan pendekatannya menggunakan beragama disiplin ilmu-ilmu yang kerap dianggap sekuler.
Sebut saja misalnya ilmu sosiologi, antropologi, psycologi, dan sebagainya. Pada era ini, perhatian pemikir tidak lagi diarahkan semata-mata pada
teks tetapi juga lebih fokus pada masalah-masalah riil yang dihadapi masyarakat. Sebagai contoh, fikih Islam harus bisa merespon masalah-
masalah yang muncul di masyarakat. Bagaimana bangunan fikih munakahat kita pada era keluarga batiih keluarga kecil. Bagaimana pula bangunan
fikih keluarga, relasi hak dan kewajiban bagi istri yang bekerja menjadi TKW. Masalah-masalah tersebut tentu tidak dapat dipecahkan hanya berpedoman
pada kaedah fikih dan ushul fikih. Kita memerlukan perangkat keilmuan lainnya semisal sosiologi, psycologi bahkan antropologi. Terlebih lagi saat
ini, kajian-kajian Islam tidak dapat melepaskan diri dari hukum internasional, studi budaya, hukum lingkungan, pluralisme agama dan lainnya.
Satu hal yang tidak boleh diabaikan begitu saja adalah, pergeseran model kajian keislaman melahirkan konsekuensi yang terkadang umat
Islam sendiri tidak siap menerimanya. Sebagai contoh, jika kita menggunakan ilmu antropologi dalam memahami dan merumuskan hukum waris
Islam akan mengahasilkan kesimpulan yang berbeda dengan apa yang dipahami para fuqaha. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, mana yang
benar dan mana yang salah. Atau kedua-duanya benar dan kebenarannya tergantung masanya. Jika kita menggunakan pendekatan sosiologi,
HAM bahkan sejarah dalam kajian relasi antar pemeluk agama, konsekuensi logisnya adalah runtuhnya ajaran fikih Islam berkaitan dengan relasi
muslim dengan non muslim.
Demikianlah, pola dikotomi keilmuan sejatinya sudah harus ditinggalkan. Kita memasuki era integrasi keilmuan. Benar bahwa isu integrasi masih
dalam proses pematangannya. Namun upaya ini perlu terus didorong. Saatnya, seluruh komponen yang di IAIN.SU harus membangun dialog
dan kerja sama untuk mewujudkan mimpi bersama. IAIN.SU harus mewujudkan visinya sebagai pusat keunggulan dalam kajian dan penerapan
ilmu-ilmu keislaman untuk kedamaian umat manusia. Semoga.
253
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS