Gaya Hidup TREND BARU KONSUMEN:

65 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS berbelanja menjadi sebuah gaya hidup, berbagai fasilitas perbelanjaan tumbuh pesat di berbagai sudut kota, penggunaan kartu kredit makin masif yang pada gilirannya melahirkan masyarakat konsumen, maka belanja dan mengkonsumsi mengalami pergeseran makna. 1 Pada era tersebut, masyarakat berbelanja bukan lagi karena suatu kebutuhan. Manusia berbelanja bukan karena nilai atau kemanfa’atannya. Bukan pula karena ia didesak oleh kebutuhan atau hajat hidupnya. Ia berbelanja karena gaya hidup life style, demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh cara berpikir masyarakat konsumer yang acap kali telah terhegemoni oleh pengaruh iklan dan mode lewat televisi, tayangan infotainment, majalah fashion, gaya hidup selebritas, dan berbagai bentuk industri budaya populer lainnyua. 2 Tanpa di sadari masyarakat oleh berbagai media dan cara, diarahkan dan dimobilisir untuk mengkonsumsi sesuatu yang sesungguhnya tidak selamanya ia butuhkan. Dalam konteks masyarakat yang demikian, bisa jadi persoalan halal tidak lagi menjadi penting. Setidaknya, isu halal bukanlah suatu yang krusial. Bisa saja dalam konteks makanan, mereka masih kuat berpegang pada nilai-nilai syari’ah. Namun di luar itu, apakah obat-obatan atau kosmetika, isu halal menjadi tidak relevan. Tidak itu saja, para era posmo, sebaliknya mungkin saja masyarakat sangat peduli dengan persoalan halal dan haram. Namun kepedulian ini tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai intrinsik-substantif. Bukan karena mematuhi ayat-ayat Allah. Lagi-lagi yang menjadi alasan adalah gaya hidup. Sebut saja misalnya gaya hidup halal. Orang ingin membangun citra dirinya sebagai sosok yang peduli pada persoalan halal dan haram. Sampai di sini, pertanyaannya adalah apakah pola hidup seperti ini dibenarkan pula oleh syari’at ?. Penulis ingin mengajukan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Apakah setelah kita memasuki era posmodernisme di mana manusia memiliki perilaku konsumen yang berbeda dari era-era sebelumnya, konsep halal dan haram kita tidak berubah? Bagaimana opini kita terhadap seseorang yang hobi berbelanja gaya hidup namun memiliki komitmen tinggi terhadap persoalan halal-haram. Ia hanya mau membeli barang- 1 Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post Modernisme, Jakarta: Kencana, 2013, h. 105-124. 2 Ibid 66 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS barang yang halal saja, kendatipun ia tak tahu mau dikemanakan semua itu? Perduli dengan yang halal namun abai terhadap kepentingan sosial Apakah perilaku seperti ini sudah benar? Isu ini akan saya bahas dengan terlebih dahulu menela’ah konsep halal dan konsep konsumsi pada umumnya, yang dilanjutkan dengan menganalisis implikasi teoritik dan peraktiknya. Setidaknya ada dua cara yang dapat ditempuh untuk mengidentifikasi konsep halal tersebut. Pertama, menelusuri penggunaan kata halal dengan segala derivasinya di dalam Al-Qur’an serta kata-kata yang semakna atau memiliki kedekatan makna. Kedua, melalui penelusuran antitesisnya. Bentuknya berupa larangan atau peringatan Al-Qur’an tentang hal-hal yang diharamkan atau hal-hal yang dilarang. Kedua cara ini akan penulis lakukan sebagaimana yang akan terlihat nanti. Kata halal yang akar katanya berasal dari bahasa Arab, ha-la-la, memiliki makna yang beragam. Makna dasarnya adalah melepaskan ikatan. Termasuk arti kata halal, membebaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan. Halal juga lawan dari kata haram. Al-Asfahani menjelaskan bahwa makna asal dari kata halal adalah al-halli yang berarti ikatan kemudian menjadi “melepaskan ikatan”. Contoh penggunaan kata ini dapat dilihat pada QS. Thaha:27. Selanjutnya, di dalam bahasa Indonesia kata halal diterjemahkan dengan; 1 diizinkan atau tidak dilarang oleh syara’. 2 yang diperoleh atau diperbuat dengan sah. 3 izin; ampun. Adapun di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, kata halal diterjemahkan ke dalam tiga makna: 1 sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum karena menggunakannya.2. Sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya, karena ia dibenarkan oleh syara’. 3. Sesuatu yang mubah dan ja’iz. Kebalikannya haram itu sendiri secara umum bermakna sesuatu yang dilarang. Di dalam Al-Qur’an kata halal disebut sebanyak 55 kali dalam berbagai ayat dan surah. Adakalanya kata halal diungkap dengan sighat fi’il madhi sebanyak 17 kali. Fi’il mudhari’ sebanyak 16 kali dan fi’il amar sebanyak 1 kali. Bentuk lain diungkap dalam sighat isim, hillun sebanyak 4 kali, hillan sebanyak 1 kali, halalun 1 kali, dan halalan sebanyak 5 kali, halail 1 kali, dan lain sebagainya. Tentu saja ragam kata halal tersebut memiliki konteks tersendiri. 67 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Prof. Quraish Shihab dalam bukunya, Membumikan Al-Qur’an, ketika membahas makna halal dalam konteks halal bi halal mengungkapkan beberapa kandungan makna dari kata halal. Pertama, halal yang akar katanya halla atau halala berarti melepaskan ikatan, menyelesaikan problem, meluruskan benang kusut, dan menjernihkan air yang keruh. Halal bi halal dapat dimaknakan sebagai aktivitas yang menjernihkan hubungan yang selama ini keruh. Tentu saja di dalamnya ada kegiatan saling memaafkan dan salaman. Kedua, kata halal berarti lawan dari haram. Sampai di sini makna halal adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syara’. Bentuk yang kedua ini merupakan tinjauan hukum. Ketiga, adalah makna halal dalam tinjauan Al-Qur’an. Makna yang dikandung Al-Qur’an adalah agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan semua pihak. 3 Di dalam Disertasinya yang berjudul, Konsep Halal Dan Haram Dalam Al-Qur’an Kajian Hukum Islam tentang Konsumsi dengan Pendekatan tafsir, Sukiati Dosen fakultas Syari’ah IAIN.SU menyimpulkan informasi halal dalam Al-Qur’an setidaknya berkaitan dengan tema-tema berikut ini. Pertama, Terma halal berkaitan dengan penjelasan bahwa halal dan haram adalah hak prerogatif Allah semata. Allah melarang mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan sebaliknya mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah SWT. Al-Ma’idah5:87, Al-Tahrim66:1, Al-‘Araf7:157, dll. Kedua, Berkaitan dengan perintah untuk memakan rezeki atau nikmat yang halal lagi baik. Al-Baqarah2:158, Al-Ma’idah 5;88, dll. Ketiga, Berkaitan dengan kritik Allah terhadap orang Kafir yang menghalalkan bulan haram, seperti melakukan peperangan pada bulan yanag telah dilarang. Sebaliknya mereka mengagungkan bulan safar yang sesungguhnya tidak ada perintah untuk itu. QS. Al-Taubah 9:37 dll. Keempat, Berkaitan dengan kebolehan berburu binatang di Tanah Haram setelah haji dan larangan berburu binatang ketika ihram haji. dan hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji. QS. Al-Ma’idah5:1-2. Kelima, Berkaitan dengan perkawinan. Misalnya larangan mengambil sesuatu yang telah diberikan kepada istri yang telah diceraikan. Wanita-wanita yang halal dinikahi dan lainnya. QS. 3 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan: Bandung,1992, h. 317-318 68 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Al-Baqarah2:228, 229, 230, dll. Keenam, Berkaitan dengan azab Allah kepada orang kafir. Mereka tidak akan mampu melepaskan diri dari azab Allah. QS. Az-Zumar39:40, Thaha20:81, dll. Ketujuh, Berkaitan dengan nikmat-nikmat Allah di surga; seperti perhiasan di dalam surga. QS.Al-Insan76:21, QS. Fatir35:35, dll. Kedelapan, Berkaitan dengan upaya melepaskan diri dari belenggu kekakuan lidah seperti yang dialami Nabi Musa ketika menyampaikan risalah. QS.Thaha 20:27, QS. Ibrahim14:28, dll. Kesembilan, Berkaitan dengan pembebasan dari sumpah Allah, membebaskan diri dari sumpah yang mengharamkan yang halal. QS. Al-Ma’idah5:5, QS. Al-Baqarah.2:196. Kesepuluh, Berkaitan dengan perdagangan. Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. QS. Al-Baqarah2;275-276. 4 Dari sepuluh topik halal di dalam Al-Qur’an, setidaknya ada dua tema yang bersentuhan langsung dengan kajian makalah ini yaitu konsep halal dan kaitannya dengan konsumsi; baik itu dalam hal pangan ataupun perhiasan. Termasuk di dalamnya persoalan obat dan kosmetik. Tidak kalah pentingnya, konsep halal juga bertautan dengan cara mendapatkan sesuatu yang oleh Alquran dicontohkan dengan jual beli perdagangan. Penulis perlu menjelaskan, ayat-ayat konsumsi sesungguhnya jauh lebih banyak lagi dari apa yang disebut di atas. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul, “Tafsir tentang Ayat-Ayat Konsumsi: Aplikasi Tafsir Ekonomi Al-Qur’an, Lukman Fauroni telah menelusuri ayat-ayat konsumsi dengan menjadikan terma kulu dan isyrabu sebagai kata kunci. Ternyata kata kulu dan isyrabu di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 27 kali. Dari hasil penelusurannya, penulis tersebut menyatakan bahwa 22 ayat tentang konsumsi diturunkan di Makkah sebelum Nabi Hijrah. Sedangkan 16 ayat pada 4 Surat. Hal ini mengandung indikasi bahwa Al-Qur’an mempunyai perhatian yang tinggi tentang konsumsi seiring tahapan pemberlakuan ajaran-ajaran Islam yang bersifat fundamental. Dengan banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an tentang konsumsi maka implikasinya 4 Sukiati, “Konsep Halal Dan Haram Dalam Al-Qur’an Kajian Hukum Islam tentang Konsumsi dengan Pendekatan Tafsir”, Disertasi, 2013, IAIN. SU. 69 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS adalah bahwa ajaran ekonomi Islam diletakkan fondasi-fondasinya pada priode awal Islam. 5 Sejatinya studi tentang konsumsi dalam perspektif Al-Qur’an tidak saja ditela’ah lewat kata halal dan antonimnya haram, tetapi juga harus menelusuri kata kulu wa isyrabu atau yang semakna dengan itu. Hanya saja, karena ahsuku ini mengkaji konsep halal maka yang diangkat adalah ayat-ayat yang memuat kata halal saja. Kendati demikian, dalam hal tertentu, terma kulu juga akan disinggung sepintas.

2. Kreteria Halal dan Haram

Jika diperhatikan relasi kata halal dalam Al-Qur’an, tampak bahwa kata halal dikaitkan dengan kata kulu yang bermakna makan. Kata tersebut juga bisa dimaknai dengan menggunakan atau memakai. Kata lain yang dihubungkan dengan halal adalah ghanimtum pemberian Allah atau kekayaan yang bersumber dari Allah dan razakakum rezeki yang diberikan Allah. Sedangkan kata yang mengiringi kata halal adalah tayyib. Artinya adalah sesuatu yang baik secara material. Mencerrmati relasi kata halal dengan kata ghanimtum dan razakakum, jelas bahwa kata halal diungkap Allah dalam konteks pemilihan benda- benda yang dikonsumsi manusia. Sungguh Allah SWT telah menganugerah- kan kepada manusia beragam sumber daya alam dalam bentuk barang- barang yang dapat dikonsumsi. Terlepas apakah untuk memenuhi kebutuhan primernya ataupun kebutuhan sekunder bahkan hanya sekedar perhiasan semata tertier. Semuanya dianugerahkan Allah dalam upaya menopang tugas-tugas kekhalifahannya di muka bumi untuk memberikan kesejahteraan kepada semesta. Sumber daya alam yang diberikan Allah tentu tidak semuanya halal. Ada hal-hal yang terlarang dan tidak boleh dikonsumsi manusia. yang terlarang sejatinya harus dihindari. Siapa yang mendekati apa yang telah diharamkan Allah sama artinya ia telah melakukan kezaliman yang besar. Menariknya, Allah memerintahkan manusia untuk mengkonsumsi barang yang bukan sebatas halal tetapi juga secara material harus 5 Lukman Fauroni, “Tafsir Ayat-Ayat Tentang Konsumsi Aplikasi Tafsir Ekonomi Al-Qur’an dalam, Millah: Jurnal Studi Agama, Vol. VIII, No 1 Agustus 2008, h. 130 70 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS baik thayyib. Halalan thayyiba bukanlah alternatif, antara yang satu dengan yang lain. kedua sifat tersebut sejatinya haruslah dalam satu tarikan nafas. Dalam bahasa yang berbeda, secara syar’i sesuatu yang kita konsumsi sejatinya harus dibenarkan oleh syari’at untuk mengkonsumsinya. Sedangkan secara kauni –ilmu kedokteran atau ilmu gizi- materi makanan itu harus menjamin meningkatnya kesehatan pada tubuh. Bukan sebaliknya yang akan mengakibatkan kemafsadatan atau kemudharatan. Bagaimanapun juga, berpijak pada penggunaan kata halal di dalam Al-Qur’an kita tidak memperoleh informasi yang jelas dan tegas tentang konsep hal-hal yang boleh dan terlarang. Kata-kata halal dan tayyib di dalam Al-Qur’an hanyalah sebatas perintah yang bersifat normatif teologi. Manusia wajib mengkonsumsi barang yang halal dan baik karena konsumsi merupakan bagian dari media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Inilah yang dimaksud dengan perintah normatif teologisnya. 6 Para ulama memang memberi penjelasan. Di banding dengan ayat- ayat yang memuat informasi tentang haram atau terlarangnya sesuatu yang umumnya lebih rinci, ayat-ayat halal bersifat global. Analisis yang sering dikemukakan adalah, jumlah barang yang dihalalkan Allah SWT sesungguhnya jauh lebih banyak dibanding dengan yang diharamkan. Jika Al-Qur’an memberikan rincian tentang benda-benda yang halal tidak saja terlalu banyak tetapi juga membuat Al-Qur’an kehilangan dimensi sistematis dan mujmalnya. Sedangkan barang yang diharamkan itu jumlahnya sedikit, maka adalah tepat jika Al-Qur’an merincinya. Hal ini juga membuat manusia mendapatkan informasi yang jelas dan tegas. Alasan lain yang kerap dikemukakan adalah, tidak disebutnya rincian barang-barang yang halal juga sebagai antisipasi ke masa depan. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang berlaku sepanjang zaman. Jika Al-Qur’an jauh-jauh hari merinci barang-barang yang halal, bagaimana dengan barang atau jenis makanan halal yang munculnya belakang. Apakah yang tidak disebutkan oleh Al-Qur’an menjadi sesuatu yang tidak boleh. Bisa juga orang mengatakan, jika Al-Qur’an tidak memuat dalam rinciannya, akankah dikatakan Al-Qur’an akan ketinggalan zaman? 6 Buku yang berbicara tentang isu ini dan telah menjadi klasik adalah karya Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Mu’ammal Hamidy, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.