Pemasaran Berbasis Spiritual TASAWUF, SPIRITUALITAS
15
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
tergantung oleh keberadaan perbankan syari’ah itu sendiri seperti SDM yang handal, budaya kerja yang islami, pelayanan yang humanis, bagi
hasil yang bersaing, dan sebagainya. Inilah yang sejatinya membuat perbankan syari’ah menjadi berbeda dengan bank-bank konvensional lainnya.
Dengan kata lain, ketika orang bertanya apa bedanya perbankan syari’ah dengan bank konvensional, jawabannya haruslah berdimensi
kualitatif. Tidak cukup aktivis perbankan syari’ah menyatakan produk dan operasional kami sesuai syari’ah. Karena hal ini juga masih bisa
dipertanyakan, benarkan sudah murni syari’ah bank syari’ah. Jangan- jangan masih berbalut syubhat dan sesekali terjerumus pada yang haram.
Oleh sebab itu, perbankan syari’ah harus mampu mendefinisikan diferensiasi dirinya dengan bank-bank konvensional lainnya.
Sekali lagi, diferensiasi ini bukan terletak pada slogan-slogan, brosur- brosur atau tulisan-tulisan di papan-papan reklame. Perbankan Syari’ah
tidak bisa mengatakan dirinya sebagai bank halal, berkah, bagi hasil yang adil, menentramkan dan seterusnya. Perbedaan bank syari’ah dengan
bank-bank lainnya harus dapat dirasakan oleh nasabah. Dengan kata lain, diferensiasi itu pada akhirnya adalah tampilan kualitatif bank syari’ah
yang mampu dirasakan dan menjadi pengalaman-pengalaman nasabah selama berhubungan dengan bank syari’ah.
Pada gilirannya diferensiasi ini akan membentuk brand yang melekat pada diri nasabah. Sehingga ketika disebut bank syari’ah terserah apapun
namanya, yang terbayang di dalam benak nasabah dan masyarakat umumnya adalah hal-hal posistif dan islami.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana membangun diferensiasi dan brand tersebut. Diferensiasi sejatinya harus meniscayakan sesuatu
yang dilakukan secara konsisten dan relatif konstan. Diferensiasi tidak boleh berubah-ubah. Misalnya, jika bank syaria’h membangun diferensiasinya
pada bagi hasil di mana nasabah akan diiming-imingi dengan bagi hasil yang besar, ini berbahaya karena bagi hasil itu sendiri tidak tetap dan
selalu mengalami fluktuasi.
Oleh sebab itu diferensiasi sejatinya dibangun melalui sebuah idealitas. Idealitas ini yang penulis maksud dengan nilai-nilai spiritual.
Nilai-nilai spiritual tersebut dapat berupa kebersamaan, kepedulian terhadap sesama, keadilan, dan penghormatan kepada harkat dan martabat
16
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
kemanusiaan. Nilai-nilai inilah yang sejatinya harus ditampilkan perbankan syari’ah lewat produk-produknya.
Sebagai contoh, Bank syari’ah mengkonsentrasikan pembiayaannya pada pemberdayaan ekonomi rakyat menengah ke bawah. Perhatian
yang besar diberikan oleh bank syari’ah dapat menjadikannya sebagai bank yang peduli dengan masyarakat menengah ke bawah. Tentu saja
kepedulian tersebut bukan sebatas memberikan pembiayaan, tetapi lebih dari itu bagaimana melakukan pembinaan terhadap masyarakat dalam
bentuk pelatihan atau kursus-kursus yang dapat menopang usahanya agar lebih dapat berkembang. Bahkan dalam tingkat tertentu, Bank syari’ah
dapat melakukan pembinaan rohani seperti membina tauhid, akhlak dan kebutuhan spiritual nasabahnya dan masyarakat pada umumnya..
Demikianlah, jika hal ini dapat dilakukan maka diferensiasi dan brand Bank Syari’ah akan terbangun dengan sendirinya. Para nasabah Bank
Syari’ah yang multi etnik dan agama akan datang ke Bank Syari’ah karena mereka merasakan kebutuhan spiritualnya terpenuhi dengan baik.
Tentu saja hal ini sangat ideal. Mungkin ada yang berkata, ini adalah utopia, sesuatu yang tidak mungkin. Bukankah perbankan syari’ah
sekarang ini lebih berpihak kepada orang Kaya. Bukankah dalam kaca mata bank syari’ah, orang miskin tidak layak berhubungan dengan bank
syari’ah tidak bankable. Bukankah pengusaha kecil menurut analisis perbankan syari’ah sulit dipercaya dan stigma negatif lainnya.
Penulis sering menerima keluhan betapa sulitnya mendapatkan pembiayaan bisnis dengan pola mudharabah di perbankan syari’ah.
Orang-orang perbankan syari’ah lebih suka menawarkan produk murabahah dengan margin yang telah tetap. Jika tidak mau, maka nasabah harus
gigit jari. Jika pandangan ini masih dipertahankan, maka pertanyaannya adalah, apa bedanya bank syari’ah dengan bank konvensional.
Penutup Tidak dapat dipungkiri, pergerakan zaman saat ini mulai memasuki
era spiritual. Konsekuensinya hal-hal yang bersifat spiritualistik akan menjadi kebutuhan manusia. Besarnya gelombang manusia dalam
mengikuti pelatihan spiritual merupakan bukti bahwa kita sedang berada di era ini. Perbankan Syari’ah mau tidak mau sejatinya harus melihat
17
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
perkembangan ini sebagai sesuatu yang penting untuk disahuti. Jika tidak, besar kemungkinan perbankan syari’ah akan tidak menarik lagi
bagi manusia-manusia spiritual.
Jangan-jangan sekarang ini Bank Syari’ah memang tidak menarik lagi, karena memang tidak ada perbedaan yang prinsipil dengan bank
konvensional. Kalaupun ada perbedaan jangan-jangan hanya pada konsep saja namun operasionalnya tidak demikian. Semoga dugaan
ini salah.....