Riba, Bisnis tanpa Moralitas
127
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
terdapat pada surah al-Baqarah 2; 278, 279 dan ali- Imran 3;130. Sebenarnya dalam agama selain Islam khususnya agama samawi riba
telah dilarang. Sampai abad ke-13, ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh gereja dan hukum canon. Akan tetapi,
pada akhir abad ke-13, pengaruh geraja ortodoks mulai melemah dan orangpun mulai berkompromi dengan riba. Bacon seorang tokoh saat
itu menulis dalam buku, Discource on Usury, “karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia enggan hatinya untuk
meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima suatu manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan.
Menarik untuk dicermati, pengharaman riba dalam al-Qur’an tidaklah berlangsung sekaligus melainkan bertahap. Ini mengisyaratkan betapa
riba bagi masyarakat Arab seperti di Thaif, Mekah maupun di Madinah pada waktu itu sebagai kegiatan ekonomi yang telah berurat berakar
dalam kehidupan sehari-hari.
Thabari mencatat bahwa pada saat jatuh tempo, pemberi utang biasanya memberi dua pilihan: melunasi seluruh pinjaman atau perpanjangan
waktu dengan tambahan pembayaran. Seorang yang harus mengembalikan seekor unta betina berumur satu tahun bila meminta perpanjangan
waktu pada saat jatuh temponya, harus membayar dengan unta betina dua tahun. Bila ia meminta masa perpanjangan kedua maka unta betina
tiga tahun, dan seterusnya. Begitu pula dengan emas atau perak.
Untuk melarang praktek riba diperlukan strategi khusus seperti ditempuh al-Qur’an dengan menggunakan strategi pelarangan bertahap.
1
Tahap pertama, al-Qur’an menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan
sebagai suatu perbuatan yang mendekatkan diri pada Allah. Ini dinyatakan Allah pada surah ar-rum:39 yang artinya, “Dan sesuatu riba yang kamu
berikan agar dia bertambah pada manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”.
Tahap kedua, Allah melukiskan bahwa riba merupakan aktivitas bisnis yang buruk. Bagi yang melakukannya akan diberi balasan yang pedih.
1
Lihat Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, Lihat Juga Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Peraktik, h. 217-235.
128
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Dalam surah an-nisa’4:160-161, Allah menyatakan, “Maka disebabkan kezaliman orang Yahudi, kami haramkan atas mereka yang baik-baik
yang dahulunya dihalalkan pada mereka, dan mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka banyak memakan riba,
pada hal mereka sesunggguhnya telah dilarang dari padanya dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih.
Tahap ketiga, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Pada saat itu
III H pengambilan bunga dengan jumlah yang besar banyak dilakukan orang Arab. Akibatnya banyak yang terzalimi. Untuk itu Allah menegaskan
dalam surah ali-Imran:3:130, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada
Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan”.
Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Pernyataan ini ditemukan pada
surah al-Baqarah2:278-279, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa dari berbagai jenis riba jika kamu
orang-orang yang beriman. jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat
mengambil riba, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
Adapun hadis nabi tentang larangan riba dapat ditemukan pada pesan terakhirnya pada tanggal 9 Zulhijjah tahun 10 H. Pada waktu
itu nabi menyatakan, “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil
riba, oleh karena itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal uang pokok adalah hak kamu. Bahkan nabi mengatakan bahwa dosa pemanfaatan
riba sama dengan penyelewengan seksual sebanyak tiga puluh enam kali bagi mereka yang sudah menikah atau sama dosanya dengan
bersetubuh dengan ibu kandung. Satu dosa yang cukup besar. Demikian Chafra mengomentari hadis Rasul tersebut.
Seperti yang telah disebut di muka, strategi larangan bertahap yang ditempuh al-Qur’an serta banyaknya hadis nabi yang melarang riba
memberi kesan bahwa praktek riba merupakan aktivitas ekonomi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Arab masa itu. Ini
129
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
disebabkan bahwa Mekah adalah kota dagang dan bukan kota agraris. Melihat tandusnya kota Mekah pada masa itu, bisa dipastikan bahwa
kegiatan dagang orang Quraisy mengambil bentuk dagang agen dan bukan dagang hasil produksi. Memasuki abad VI M, kemajuan dagang
kota Mekah semakin pesat. Akhirnya kota tersebut tidak saja sebagai pusat dagang melainkan telah menjelma menjadi pusat keuangan.
Tidaklah mengherankan apabila pemuka-pemuka Mekah sudah mahir dalam memanipulasi kredit, pandai berspekulasi dan menguasai modal
serta pandai memanfaatkan potensi investasi yang menguntungkan dari orang Aden ke Gaza dan Damaskus.
Membaca latar belakang kehidupan Mekah saat itu, peraktek riba yang mereka lakukan dapat dipahami. Formula riba yang dilakukan
adalah, pinjam meminjam dengan satu perjanjian, peminjam bersedia mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang telah disepakati
berikut tambahannya. Pada saat jatuh tempo, si pemberi pinjaman kreditor, meminta jumlah pinjaman yang dulu diberikan kepada peminjam
debitor. Jika debitor menyatakan belum sanggup membayar, kreditor memberi tenggang waktu dengan syarat, debitor bersedia membayar
sejumlah tambahan di atas pinjaman pokok tadi.
2
Bisa diduga riba seperti ini menjadikan kaum lemah semakin lemah. Karena ketidakmampuan debitor mengembalikan jumlah pinjaman
pada waktu yang telah ditentukan maka jumlah hutang mereka semakin bertambah. Pada akhirnya riba menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat saat itu.
Dengan demikian, larangan riba di dalam al-Qur‘an sebenarnya didasarkan pada pertimbangan moral kemanusiaan. Riba ternyata
menimbulkan malapetaka kemanusiaan dalam bentuk eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. Sebagai gantinya, al-Qur‘an telah menawarkan
sebuah sistem yang lebih adil dan berprikemanusiaan, seperti mudharabah bagi hasil dan kerja sama musyarakah dengan berpegang pada
prinsip ta‘awun.
2
Muh. Zuhri, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, h. 25
130
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
2. Riba Versus Bunga Bank, Samakah?
Persoalan riba dan bunga bank merupakan topik yang sering diperdebatkan terlebih lagi sejak dikeluarkannya fatwa MUI tentang
keharaman bunga bank. Pertanyaannya adalah apakah bunga bank sama dengan riba ? Seperti yang telah disebut di muka, ulama telah
sepakat bahwa riba hukumnya haram. Namun apakah riba sama dengan bunga bank, para ulama tampaknya berbeda pendapat. Bagi yang menyatakan
sama, tentu akan menyatakan bunga bank itu haram. Bagi kelompok yang menyatakan berbeda tentu akan menyatakan bahwa bunga bank
tidak haram.
Salah seorang pemikir ekonomi Islam yang cukup produktif, Umar Chapra telah menyelesaikan perdebatan ini dengan menyatakan, secara
teknis riba bunga mengacu pada premi yang harus dibayar peminjam kepada pemberi pinjaman bersama pinjaman pokok sebagai syarat
untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Sejalan dengan hal ini, riba mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai
bunga sesuai dengan konsensus ulama fikih.
3
Kendati Chapra telah memberikan kesimpulan bahwa bunga sama dengan riba, namun tetap saja ada yang tidak sependapat. Untuk menyebut
salah satu diantaranya adalah Muhammad Abduh. Baginya riba yang diharamkan hanyalah riba yang ad‘aafan muda‘aafah berlipat ganda.
Abduh membolehkan menyimpan uang di Bank dan mengambil bunganya. Dasarnya menurut Abduh adalah Pertama, maslahat mursalah. Kedua,
Tabungan di bank bisa mendorong perkembangan ekonomi. Ketiga, Tabungan di bank disamakan dengan konsep kerjasama dalam Islam
mudarabah dan musyarakah.
4
Dalam bentuknya yang agak berbeda paling tidak ada tiga alasan mengapa sebagian ulama menyatakan bahwa bunga bank tidak haram.
Pertama, pertimbangan darurat. Kedua, Yang dilarang oleh al-Qur’an adalah bunga yang berlipat ganda tinggi. Ketiga, Bank sebagai lembaga
tidak termasuk dalam katagori mukallaf, jadi bank tidak terkena khitab ayat-ayat Allah maupun hadis nabi.
3
Umer Chafra, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj. Lukman Hakim, Yogyakarta:Dana Bhkati Prima, 1997.
4
Ibid.,
131
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah :Wacana Ulama dan Cendikiawan telah membantah argumen-argumen tersebut
Menurutnya menjadikan darurat sebagai alasan pembenaran riba tidak tepat. Dalam Ushul fiqh yang disebut darurat adalah suatu keadaan
emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan cepat, maka akan membawanya kejurang kehancuran atau kematian.
Jika demikian pertanyaannya adalah, apakah jika tidak menabung atau meminjam uang ke bank konvensional akan menjadikan perekonomian
hancur sehingga manusia akan mengalami kesengsaraan.
Beberapa waktu yang lalu, Prof.Ali Yafi ketua MUI pernah menyatakan bolehnya mengambil bunga yang rendah karena pada waktu itu tidak
ada bank yang tidak menggunakan sistem bunga. Padahal masyarakat perlu rasa aman untuk menitipkan uangnya. Namun sejak berdirinya
Bank Muamalat Indonesia BMI tahun 1992 alasan untuk menyebut darurat itu menjadi hilang. Tegasnya saat ini terlebih lagi setelah berdirinya
Bank Syari’ah Mandiri 1999, BNI Syari‘ah, Danamon Syari‘ah, BPRS Bank Perkreditan Rakyat Syari‘ah dan bank-bank Islam lainnya,
alasan darurat tidak lagi dapat dibenarkan.
Mengenai alasan bunga yang berlipat ganda saja yang diharamkan, sedangkan tingkat suku bunga bank yang rendah tidak dipandang riba,
didasarkan pada argumentasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Memahami ayat 130 surah Ali–Imran yang telah disebut,
tidak dapat dipisahkan dari ayat riba lainnya. Ayat terakhir tentang riba telah menegaskan bahwa tambahan terlepas besar atau kecil tetap dilarang.
Dengan demikian tidak ada satu ruangpun yang membedakan antara riba usury dengan bunga interest karena keduanya sama-sama mempresentasikan
tambahan atau peningkatan dari pokok modal yang ada.
Kemudian kata “berlipat ganda” pada ayat 130 surah ali imran dalam ilmu tata bahasa Arab nahu disebut hal yang menggambarkan sifat
riba bukan sebagai syarat. Maksud bukan syarat adalah, apabila terjadi pelipat-gandaan yang besar baru disebut riba. Jika kecil tidak termasuk riba.
Berkenaan dengan hal ini Yusuf al-Qardhawi juga mengomentari persoalan adh‘afan mudha‘afah dengan menyatakan, “Orang yang memiliki
kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan memahami retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam
ayat ini dengan kata adh‘afan mudha‘afah adalah dalam konteks menerangkan