Fikih Prioritas dan Peradaban Zakat

5. Fikih Prioritas dan Peradaban Zakat

  Mengapa peradaban zakat belum terbentuk pada masyarakat muslim Indonesia ? Kendatipun Islam telah lama hadir, tumbuh dan berkembang sampai sekarang ini, zakat yang dalam makna asalnya al-nama’ dan al-tazkiyah (tumbuh dan berkembang serta mensucikan) ternyata belum berhasil membentuk masyarakat yang sejahtera. Melihat realitas yang ada, kita tersentak seolah zakat dan kemiskinan tidak memiliki hubungan sama sekali. Pada satu sisi, kita tetap melaksanakan zakat namun pada sisi lain, kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan tak beranjak dari tempatnya. Lalu pertanyaannya adalah, mengapa peradaban zakat belum terbentuk setelah puluhan tahun Islam hadir di bumi nusantara?

  Peradaban zakat terbentuk sesungguhnya buah dari pengamalan umat Islam terhadap ajaran Al-Qur’an. Sayangnya zakat masih diamalkan secara sporadis dan tidak berdasarkan konsepsi zakat yang kuat. Ada kesan amal mendahului ilmu. Sejatinya pemahaman terhadap ayat- ayat zakat akan melahirkan ilmu zakat. Bukan sekedar fikih zakat. Di-

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  dalamnya terkandung tidak saja hal-hal yang normative-teologis tetapi juga menyangkut sebuah sistem bagaiman zakat itu beroperasi dengan baik. Rumusan zakat kita belum tuntas. Sistem dan manajemen zakat kita masih jauh panggang dari api.

  Saya menduga pelaksanaan zakat yang individual dan tradisional menjadi penyumbang terbesar belum terbentuknya peradaban zakat di Indonesia. Sejatinya, apabila ilmu dan implementasi zakat berjalan dengan baik, kita tidak memerlukan waktu yang panjang untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan kita; kemiskinan dan kebodohan.

  Salah satu analisis yang dapat dikemukakan adalah, kita tidak memiliki skala prioritas. Kita seolah gamang dalam menentukan amalan mana yang seharusnya diprioritaskan. Beberapa contoh dapat kita ajukan. Misalnya mana yang lebih didahulukan ilmu atau amal ? Mana yang diutamakan menghadiri majlis ilmu atau majlis zikir ? Mana yang lebih afdhal melaksanakan umrah atau memberi bea siswa kepada anak yatim dan orang miskin ? Mana yang kita prioritaskan mendistribusikan zakat langsung kepada mustahaknya atau kita memilih memproduktifkannya demi kemanfaatan yang lebih lama dan abadi ?

  Adalah Syekh Yusuf Al-Qaradhawi yang mengusung gagasan fikih prioritas. Semula buku tersebut ingin diberinya judul Fikih Maratib al- A’mal (Fikih urutan amal). Namun setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya ia lebih memilih untuk menggunakan istilah Fiqhul Aulawiyyat. Istilah ini menurutnya lebih menyeluruh, luas dan langsung kena ke sasaran. Sebagaimana yang telah disinggung di muka, gagasan ini lahir karena keprihatinan Al-Qaradhawi melihat kenyataan umat Islam di seluruh dunia. Ada kerancuan dan kekacauan dalam menilai dan memberikan skala prioritas terhadap perintah-perintah Allah, pemikiran serta amal-amal. Mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikemudiankan.

  Untuk memudahkan memahami gagasan Al-Qaradhawi dapat dilihat dalam beberapa contoh. Dalam bidang pemikiran misalnya, Al- Qaradhawi menyatakan, pentingnya memprioritaskan ilmu dari amal. Baginya ilmu adalah pemimpin sedangkan amal adalah pengikutnya. Beramal sejatinya berbasiskan ilmu. Ia juga menyarankan untuk menge- depankan pemahaman daripada sekedar menghapal. Konteksnya mungkin dalam bidang pendidikan Islam yang selama ini lebih fokus pada kegiatan

180 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS tahfiz (hafalan) dan abai terhadap pemahaman yang sebenarnya jauh

  lebih penting. Demikian juga perlunya mengutamakan tujuan syari’at (Maqasid al-syari’at) dari zahir nash. Untuk hal ini, beliau telah menulis fiqh Maqasid al-Syari’ah. Dalam melihat nash-nash hukum sejatinya kita tidak lagi menangkap zahir nash walaupun dilalahnya sangat terang. Adalah penting untuk memperhatikan pesan dasarnya. Sebenarnya, Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk menyampaikan teks kepada umat Islam tetapi lebih dari itu bagaimana kita memahami kandungannya. Konsekuensinya, kegiatan ijtihad harus diberi ruang yang luas dan aktivitas taqlid baik yang disengaja atau tidak harus dihentikan.

  Dalam bidang pengamalan agama, Al-Qaradhawi juga memberikan beberapa contoh konkrit. Misalnya, amal yang tetap (kekal) harus didahulukan ketimbang amal yang terputus-putus. Amal yang memberi manfaat lebih luas dan langgeng harus diprioritaskan dari amal yang manfaatnya kurang. Ibadah fardhu lebih utama dari ibadah sunnat. Bukan dibalik, ibadah sunnat lebih utama ketimbang amal wajib. Selanjutnya, amal- amal yang berhubungan dengan hak-hak manusia harus didahulukan dari pada amal-amal yang berdimensi hak Allah. Misalnya, membayar hutang lebih didahulukan dari melaksanakan haji. Hak-hak jama’ah diutamakan dari hak-hak perorangan. Terkahir loyalitas terhadap masyarakat atau umat lebih diprioritaskan dari sekedar loyal kepada suku dan perorangan.

  Saya mendapatkan kesan kuat, Fikih akan mampu mendorong bangkitnya sebuah peradaban Islam yang lebih baru, terkhusus lagi peradaban zakat sepanjang kita mampu untuk membuat skala prioritas tersebut. Tanpa menetapkan skala prioritas, di samping sebuah kerja dan program tidak fokus, kita juga tidak bisa melihat tingkat keberhasilannya. Apakah zakat mampu mengentaskan kemiskinan, tidak akan pernah terjawab sepanjang kita tidak punya skala prioritas dalam pelaksanaan zakat itu sendiri.

  Dalam konteks membangun peradaban zakat ada beberapa skala prioritas yang kita rumuskan. Pertama, Ilmu zakat dalam maknanya yang komprehensif harus didahulukan perumusannya ketimbang sosialisasi pelaksanaan berzakat. Ilmu zakat bukan sekedar fikih zakat sebagaimana yang terdapat di dalam kitab-kitab fikih. Bukan sebatas syarat dan rukun zakat. Kita memerlukan cetak biru zakat Indonesia, yang di dalamnya segala infromasi zakat bisa di peroleh. Sistem dan manajemen zakat

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  tidak saja menjamin bahwa zakat yang telah dikumpulkan berhasil mem- berdayakan tetapi juga berhasil menarik minat umat untuk menyalurkan zakatnya secara professional. Terkadang kita sulit untuk melihat berapa sebenarnya jumlah muzakki di Indonesia, begutu juga di propinsi, kota kab, kecamatan bahkan sampai tingkat desa. Di mana kita dapat menemukan peta zakat atau kantong-kantong kemiskinan ?.

  Kedua, Penyerahan zakat kepada lembaga resmi semisal BAZ dan LAZ harus didahulukan daripada penyerahan kepada perorangan. Selama ini yang tejadi sebaliknya. Umat merasa lebih yakin menyerahkan zakatnya langsung kepada orang-perorang. Di samping lebih pasti juga lebih menenteramkan. Jika diserahkan kepada lembaga resmi, BAZ dan LAZ, yang muncul adalah kecurigaan-kecurigaan. Setidaknya emosional keagamaannya tidak terpenuhi. Mereka lupa, penyerahan zakat langsung kepada mustahiknya menyebabkan zakat tidak berdaya untuk member- dayakan sang mustahik. Jika tahun lalu ia masih miskin, tahun depan ia akan tetap masih miskin.

  Ketiga, pengelolaan zakat secara produktif harus lebih diutamakan daripada pengelolaan zakat secara konsumtif. Dalam berbagai artikel saya kerap mengingatkan bahwa substansi zakat adalah pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan. Makanya di dalam Al-Qur’an zakat diper- hadapkan dengan riba. Riba menyebabkan keterpurukan dan menjerat korbannya ke dalam jurang kehancuran yang sangat dalam. Orang yang terjebak di dalam sistem riba tidak akan pernah bisa bangkit. Alih-alih bisa keluar dari kubangan riba, ia malah menjadi korban yang terus dieskploitasi. Sejatinya tidak ada keraguan kita untuk memproduktifkan zakat. Di samping sesuai dengan substansi zakat juga akan memberi kemanfaatan yang lebih lama dan lebih luas. Zakat bukan ibadah semalam seperti shalat tahajjud.

  Lebih dari semuanya, cetak biru zakat sangat mendesak untuk dirumuskan di semua tingkatan. Kita perlu memberi keyakinan, mem- produktifkan zakat akan menjamin terciptanya masyarakat yang sejahtera dan makmur dalam ridha Allah. Di samping itu perdebatan konsepsi zakat yang sama sekali tidak berkaitan dengan kesejahteraan, harus segera di tutup dan dihindari. Inilah cemin dari perlunya fikih prioritas.

182 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS