Etika Konsumsi MEMBANGUN SIKAP POSITIF
56
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Konsumen membeli barang dan digunakan untuk diri sendiri. sedangkan distributor akan membeli barang dan menjualnya kepada orang lain.
M.A. Mannan, seorang pakar Ekonomi Islam asal Bangladesh mengatakan dengan gamblang bahwa konsumsi adalah permintaan sedangkan
produksi adalah penyediaan.
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk tentu tidak mengabaikan persoalan yang amat penting ini. Tidak berlebihan jika dikatakan, sebagaimana
seriusnya Al-Qur’an melarang peraktik riba dan mendorong dikembangkannya tradisi zakat, sedemikian pula seriusnya Al-Qur’an menata perilaku
konsumsi umat. Tidak saja karena konsumsi berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan rohani, tetapi juga karena konsumsi juga berhubungan dengan
keseimbangan alam. Oleh sebab itu, kita akan menemukan banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menata bagaimana sejatinya kita mengembangkan
perilaku konsumsi yang sesuai dengan aturan-aturan syari’at.
Salah satu ayat yang cukup penting adalah yang terdapat pada surah Al-A’raf ayat 31 yang terjemahannya telah dikutip di atas. Dari sisi asbab
al-nuzul, ayat di atas turun terkait dengan kejadian beberapa sahabat Nabi yang bermaksud meniru kelompok al-Hummas yaitu kelompok Quraisy
yang menggebu-gebu semangat beragamanya sehingga tidak mau berthawaf kecuali memakai pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan
dosa, serta sangat ketat dalam memilih makanan dan kadarnya selama melaksanakan ibadah haji. Jelaslah, ayat tersebut turun sebagai kritik
Allah kepada bangsa Quraisy yang berlebih-lebihan dalam beribadah.
2
M. Quraish Shihab dalam menafsirkan surah Al-A’raf ayat 31 menjelaskan bahwa kita diajarkan tentang keharusan memakai pakaian yang indah
dan patut serta menutup aurat. Penggunaan pakaian ini ketika memasuki masjid atau di dalam masjid, baik dalam arti khusus maupun masjid
dalam pengertian luas, yaitu bumi Allah. Makanlah yang halal, enak, bermanfaat lagi bergizi dan berakibat baik pada tubuh. Minumlah
minuman yang kamu sukai tetapi tidak memabukkan dan tidak mengganggu kesehatan. Janganlah berlebih-lebihan karena Allah tidak menyukai
orang yang berlebihan. Tegasnya Allah tidak memberikan rahmat dan pahala bagi orang yang berlebihan. Dengan demikian, prinsip utama
2
Azhari Akmal Tariga, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi, h. 200-216.
57
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
konsumsi dalam ayat di atas adalah, proporsional dan tidak berlebih- lebihan atau tidak mengikuti selera hawa nafsu.
3
Al-Syaukani menyatakan bahwa khitab ayat di atas ditujukan kepada seluruh anak Adam manusia. Dalam konteks ini berlaku kaedah, al-
ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus al-sabab, walaupun ayat ini muncul disebabkan sebab khusus, namun pesannya tidak terbatas dalam lingkup
sosial, budaya ekonomi kala itu. Adapun yang dimaksud kata al-zinat adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi indah, cantik dan
serasi jika mengenakannya, seperti mengenakan pakaian-pakaian yang cantik. Ayat di atas, memerintahkan umat Islam agar berhias manakala
hendak ke masjid baik untuk shalat ataupun thawaf. Dalam konteks hukum, ayat ini juga dijadikan dalil tentang kewajiban menutup aurat
ketika shalat. Inilah pendapat jumhur. Bahkan, menurut jumhur, menutup aurat bukan saja ketika hendak shalat tetapi untuk seluruh keadaan,
walaupun dalam keadaan sendiri.
Sehubungan dengan perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan dan larangan berlebih-lebihan, Syaukani menyatakan, Allah SWT me-
merintahkan hambanya untuk makan dan minum dan melarang mereka berlebih-lebihan. Larangan ini tidak dimaksudkan agar manusia meninggalkan
makan dan minum. Bahkan orang yang meninggalkan makan dan minum sama dengan membunuh dirinya sendiri dan ia termasuk golongan
ahli neraka. Bahkan di dalam sebuah hadis disebutkan, orang yang tidak memenuhi kebutuhan makan dan minumnya secara wajar akan membuatnya
lemah dan tidak akan mampu menegakkan apa-apa yang menjadi kewajibannya. Terlebih lagi untuk berusaha mencari nafkah.
Semangat yang sama dapat ditemukan pada surah Al-Furqan ayat 67. Melalui ayat ini, Allah SWT menggambarkan sikap konsumsi
yang baik adalah tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta benda dan tidak pula kikir, melainkan pertengahan di antara keduanya.
Pertengahan ini tampaknya dapat dimaknai sepadan dan proporsional, dalam pengertian tidak besar pasak daripada tiang. Lebih jelasnya
dapat dilihat ayat berikut ini; Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah
pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian. Al-Furqan: 67.
3
M. Quraish Shihab, Al-Mishbah, Vol V, Jakarta: Lentera Hati, 2005, h. 75-76
58
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Kendatipun Allah menyuruh kita untuk makan dan minum, Al-Qur’an juga menggariskan norma lain - selain tidak boleh berlebih-lebihan–
yaitu makanan yang dikonsumsi haruslah halal dan baik halalan tayyiban seperti yang terungkap pada surah Al-Baqarah ayat 168. Ungkapan kata
halalan dan tayyiban halal dan baik setidaknya mengajarkan kepada kita ada dua syarat jika ingin mengkonsumsi sesuatu. Halal dalam makna
dibolehkan syariat. Sedangkan tayyib mengacu pada kualitas materi ‘ain, sesuatu baik untuk pertumbuhan jasmani.
Aturan Al-Qur’an lainnya berkenaan dengan konsumsi adalah larangan Allah untuk bersikap berlebih-lebihan atau dalam istilah Al-Qur’an disebut
dengan prilaku tabzir. Kata tabzira terambil dari kata bazzara, yubazziru, tabziran mengandung arti hal berlebih-lebihan, membuang-buang harta,
atau pemborosan. Kata tabzir atau pemborosan dipahami oleh ulama dalam arti pengeluaran yang bukan hak. Oleh karena itu jika seseorang
menafkahkan atau membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau hak, maka ia bukanlah disebut pemboros al-mubazzirin.
Dalam perspektif Ekonomi Syari’ah, konsumsi pada hakikatnya adalah manifestasi dari pengabdian kepada Allah. Allah telah menghamparkan
buminya dengan segala isinya– baik di darat ataupun di lautan- untuk dikelola dan dimanfaatkan manusia dalam rangka menopang tugasnya
sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Tidak sekedar menghamparkan, ternyata Allah juga telah menundukkan taskhir bumi kepada manusia,
supaya mudah dalam mengelolanya. Tentu saja, ilmu dan tekhnologi adalah perangkat yang niscaya dalam pemanfaatan sumber daya alam
tersebut. Agar tidak terjadi perilaku israf berlebih-lebihan karena dorongan hawa nafsu manusia, Allah memberikan batasan-batasan
atau nilai-nilai etis yang harus ditegakkan.
Dalam konteks ini Umar Ibn Al-Khattab pernah berkata, “Hendaklah kamu sederhanakan dalam makanan kamu, karena kesederhanaan
lebih dekat kepada perbaikan, lebih jauh dari pemborosan, dan lebih menguatkan dalam beribadah kepada Allah SWT. Tidak kalah menariknya,
pada aspek lain, konsumsi dalam ekonomi Syari’ah bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan individu sebagai konsumen dalam rangka memenuhi
perintah Allah, tetapi lebih jauh berimplikasi terhadap kesadaran berkenaan dengan kebutuhan orang lain. Oleh karenanya dalam konteks adanya
keizinan untuk mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah, sekaligus
59
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
terpikul tanggung jawab untuk memberikan perhatian terhadap keperluan hidup orang-orang yang tidak punya, baik yang tidak meminta al-qani,
maupun yang meminta al-mu’tar, bahkan untuk orang-orang yang sengsara al-bais dan fakir miskin Q.S Al-Hajj:28, 36.
Beranjak dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang konsumsi, maka kita akan menemukan lima prinsip etik dalam konsumsi. Pertama,
prinsip keadilan. Kedua, prinsip kebersihan. Ketiga, prinsip kesederhanaan. Keempat, prinsip kemurahan hati. Kelima, prinsip moralitas.
Pemenuhan nilai etis dalam konsumsi akan menghantarkan manusia pada derajat kemuliaannya di sisi Allah dan tentu saja di sisi manusia.
sebaliknya, mengabaikan nilai-nilai etis ini, perilaku konsumsi akan membuat manusia “jatuh” hubut baik secara moral ataupun spiri-
tual. Sungguh, kejatuhan Adam ke muka bumi ini adalah pengabaian nilai etis konsumsi itu sendiri. Wallahu a’lam.