Sumber Daya Insani dan Era MEA
242
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
syari’ah di Indonesia. Pertama, Lemahnya Sumber Daya Insani perbankan Syari’ah Nasional. Kedua,Inovasi produk perbankan Syari’ah yang terkesan
lamban bahkan hampir mengalami stagnasi. Produk perbankan Syari’ah selama ini dianggap tidak mampu bersaing dengan produk perbankan
syari’ah konvensional. Ketiga, pengaturan segmentasi pasar yang belum tegas antara BPRS, BUS Bank Umum Syari’ah dan UUS Unit Usaha
Syari’ah. Keempat, pengaturan dan Syari’ah Governance dalam rangka menjaga kepatuhan industri keuanganperbankan Syari’ah terhadap
nilai-nilai GCG dan prinsif syari’ah serta menjaga kontribusi yang optimal bank syari’ah terhadap perekonomian nasioanl.
Dalam artikel ini penulis akan mendiskusikan persoalan sumber daya insani perbankan syari’ah. Bagi penulis, isu ini masih sangat penting
karena berkaitan erat dengan persoalan pendidikan. Tidak berarti isu- isu lain kurang penting. Persoalannya mana yang harus didahulukan.
Sebaik apapun inovasi produk yang kita kembangkan, sepanjang tidak ditopang dengan sumber daya insani yang kuat, malah menjadi kontradiktif.
Tidak tertutup kemungkinan, produk tersebut akan dipahami secara salah.
Harus disadari, perkembangan ekonomi Syari’ah di Indonesia seperti yang tampak pada pesatnya pertumbuhan lembaga keuangan
syari’ah LKS bank dan non bank ternyata tidak diikuti dengan ketersediaan SDI yang memadai. Tidaklah berlebihan jika dikatakan, selama ini
lembaga keuangan syari’ah khususnya perbankan syari’ah dikelola dan dijalankan oleh “tenaga-tenaga pinjaman” dari bank konvensional.
Dengan mengikuti pelatihan beberapa minggu sampai satu dua bulan, mereka langsung terjun payung bergelut dengan sistem perbankan
syari’ah. Tidaklah mengherankan jika dalam kasus tertentu, banyak karyawan perbankan syari’ah yang masih mempersamakan bunga
bank dengan margin murabahah bahkan dengan nisbah bagi hasil itu sendiri. Hal ini disebabkan karena pendidikan yang instant tanpa didukung
oleh pemahaman yang mendalam tentang nash dan filosofinya. Di samping itu, mereka juga tidak dapat melepaskan diri dari paradigma
bank konvensionalnya. Kehadiran “tenaga pinjaman” tersebut tentu tidak dapat dipersalahkan. Kenyataannya, pada saat sistem perbankan
syari’ah hadir di Indonesia sekitar tahun 1990-an, bangsa ini sesungguhnya tidak memiliki sumber daya insani yang benar-benar memahami dan
terlatih dalam bidang perbankan syari’ah terlebih-lebih dalam bidang ekonomi Islam.
243
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Agaknya, dari perspektif politik ekonomi Islam, yang penting pada saat itu orde baru adalah bagaimana lembaga perbankannya berdiri
dulu, urusan siapa yang menjalankannya dan bagaimana operasionalnya dipikirkan belakangan. Syukurlah kendati simbol yang dipakai tidak
menggunakan nama Islam ataupun syari’ah, berdirinya bank bagi hasil itu diizinkan. Di sadari sepenuhnya, alotnya penamaan “bank Islam”
tersebut karena masih adanya kelompok yang masih takut dan curiga pada Islam Islam phobia.
Dengan kata lain, keberadaan “tenaga pinjaman” pada saat itu adalah “jalan pintas” untuk mengisi kekosongan sumber daya insani
tersebut. Karena mereka pulalah, terlepas atas kelebihan dan kekurangannya, perbankan syari’ah bisa berjalan seperti yang kita saksikan saat ini.
Hanya saja membiarkan “tenaga pinjaman” perbankan syari’ah selamanya menjadi muallaf tentu tidak dapat dibenarkan. Sudah saatnya setelah
dua dekade perjalanan perbankan syari’ah di Indonesia, institusi tersebut dapat dikelola dan dijalankan oleh peraktisi-peraktisi perbankan syari’ah
yang tangguh, cerdas, menguasai teori dan peraktik perbankan syari’ah dan tentu saja memiliki integritas moral akhlak yang tangguh. Bank
Syari’ah tanpa akhlak etika bisnis maka semuanya menjadi binasa.
Euis Amelia di dalam artikelnya yang berjudul, “Potret Pendidikan Ekonomi Islam Indonesia dan Upaya Pembaharuan Kurikulum Ekonomi
ISLam Dalam Menghasilkan SDM Integratif,” dengan mengutip hasil riset Universitas Indonesia menyatakan lebih dari 90 SDM Bank Syari’ah
saat ini tidak memiliki latar belakang pendidikan Ekonomi Syari’ah. lebih jelasnya data tersebut dapat dilihat di bawah ini:
Tabel 1 Latar belakang Pendidikan Para Pegawai Bank Syari’ah
dalam Persentase.
Thn SLTA D3 S1
Ekonomi S1
Hukum S1
FISIP S1
Pertanian S1
Teknik S1
Syari’ah S2
2009 6,2
18,7 38,0 6,2 5,2 4,9 7,6 9,1
4,1 2008
5,3 12,1
39,1 7,2 6,8 6,3 9,2 8,6 5,3
244
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Ironisnya, yang lulusan dari fakultas Syari’ahpun belum sepenuhnya memahami konsep ekonomi Islam pada umumnya dan perbankan Syari’ah
pada khususnya. Kendati keadaan ini bisa dimaklumi, karena pada saat itu, jurusan ekonomi Islam atau Fakultas Ekonomi Islam belum
muncul, namun kondisinya tentu tidak bisa dipertahankan. Sampai di sini jelaslah persoalan sumber daya insani perbankan Syari’ah merupakan
masalah besar yang harus segera dipercahkan.
Sekali lagi, data di atas menegaskan, yang dimaksud dengan lemahnya sumber daya insani perbankan syari’ah adalah dari aspek penguasaan
ilmu-ilmu syari’ah. Sedangkan dari aspek teknikal perbankan atau penguasaan ekonomi konvensional bisa jadi sudah baik. Yang tidak
boleh dilupakan adalah, perbankan syari’ah bukanlah sekedar lembaga perbankan konvensional dengan baju berbeda baju syari’ah.
Lemahnya sumber daya insani perbankan syari’ah berimplikasi luar terhadap perkembangan perbankan syari’ah di Indonesia. Berdasarkan
Outlook Perbankan Syari’ah tahun 2011 diketahui bahwa di antara kendala percepatan market share perbankan syari’ah karena faktor SDM, baik
dari sisi minimnya jumlah SDM perbankan syari’ah maupun kualitasnya yang masih rendah. Oleh sebab itu, kebijakan Bank Indonesia yang
sedang merancang kebijakan yang diberi nama Grand of Human Capital Strategy¸ menjadi sebuah keniscayaan.
Ada beberapa alasan mengapa sumber daya insani ini sangat penting untuk diperhatikan. Pertama, potensi perbankan syari’ah masih sangat
menjanjikan. Pasar bank syari’ah yang baru tergarap sampai saat ini baru 10. Kalau data yang menggembirakan ingin dikemukakan, sampai
tahun 2010 diperkirakan pasar bank syari’ah akan dicapai pada angka 30-35 dengan market share sebesar 3,1 . Berita baiknya adalah, data
di atas menunjukkan industri perbankan syari’ah masih sangat menjanjikan pada masa depan. Namun potensi ini menjadi sia-sia jika tidak ditopang
dengan kesiapan sumber daya insani yang memadai.
Kedua, menurut Muliaman D Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia, diperkirakan 4-5 tahun ke depan, diperlukan sekitar 40.000 tenaga kerja
yang bergerak khusus di perbankan syari’ah. Hal ini seiring dengan pertumbuhan industri perbankan syari’ah yang semakin pesat. Bahkan
dalam satu kesempatan Seminar di Jogja dikemukan oleh Direktur Utama
245
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
BRI Syari’ah, Ventje Rahardjo, sampai tahun 2015 diperlukan 45.000 ribu orang tenaga kerja yang akan diserap industri perbankan syari’ah.
Ketiga, kendatipun sisi pragmatis pengembangan ekonomi Syari’ah tidak dapat diabaikan begitu saja, namun sisi pragmatis tersebut tidak
boleh mengorbankan sisi idealismenya. Sisi idealisme syari’ah, satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Syari’ah compliance dalam peraktik
dan operasional perbankan Syari’ah tidak saja menjadi ruh yang mesti terus dijaga dan dipertahankan tetapi juga merupakan karakteristik
dari perbankan syari’ah. Perbankan syari’ah berhak menggunakan nama syari’ah karena syari’ah itu sendiri.
Tentu saja masih banyak isu-isu lain yang akan didiskusikan di dalam forum riset perbankan syari’ah nantinya. Lebih-lebih jika kita
ingin berperan penting dalam era Masyarakat Ekonomi Asean. Diharapkan lewat forum riset perbankan syari’ah ini, kita dapat terus memperbaiki
sumber daya insani kita sehingga industri perbankan syari’ah dapat melaju dengan pesat. Insya Allah. Wallahu a’lam bi al-shawab.