Zakat Dan Masalah Kepercayaan Umat

171 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS cendikiawan muslim Indonesia yang begitu bersemangat untuk melakukan konseptualisasi zakat agar ajaran sosial Islam ini tetap memiliki relevansi dengan perkembangan zaman. Kecenderungan baru itu dapat dilihat dari tiga bentuk. Pertama, melakukan reinterpretasi terhadap konsep- konsep dasar zakat seperti yang termuat dalam Alquran dan Hadis dan Fikih. Kedua, menghubungkan zakat dengan teori-teori ekonomi konvensional bahkan meletakkannya sebagai sokoguru ekonomi Islam. Ketiga, merumuskan perangkat undang-undang tentang zakat seperi yang terlihat pada UU Pengelolaan Zakat No 38 Tahun 1999 dan belakangan ini sudah dirubah dengan ketentuan UU Pengelolaan zakat No 23 Tahun 2011 . Keempat, melakukan reorganisasi dan reformulasi manajemen zakat sesuai dengan perkembangan modern. Dari empat model kecenderungan tersebut, model yang terakhir menarik dikaji lebih lanjut, karena ada kesan selama ini BAZIS sekarang disebut BAZNAS sebagai organisasi zakat dipandang kurang berdaya. Hemat penulis persoalan serius yang tidak bisa dipandang enteng dan segera harus dicarikan solusinya adalah lemahnya kepercayaan umat terhadap lembaga zakat plat merah tersebut. Reinterpretasi Amil Zakat. Amil adalah orang yang bertugas mengurusi zakat mulai dari sensus terhadap orang-orang yang wajib berzakat, macam-macam zakat yang diwajibkan padanya, besar harta yang wajib dizakatkan dan orang-orang yang berhak menerima zakat. Pendeknya seperti apa yang dijelaskan Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Fikih Zakat, amil memiliki dua tugas penting. Pertama, mengumpulkan zakat dan kedua, membagi-bagikannya kepada para mustahik. Berdasarkan tugas yang diemban para amil inilah mereka dikelompokkan sebagai salah satu asnaf yang berhak menerima zakat seperti yang terdapat pada Q.S al- Taubah ayat 60. Dikalangan umat Islam, amil dipandang sebagai sekelompok orang yang mengurusi zakat baik dalam pengumpulannya ataupun pendistribusi- annya. Ironisnya mereka hanya bertugas ketika ada orang yang membayar zakat. Kerja-kerja seperti ini lebih tampak pada bulan Ramadhan ketika umat Islam membayar zakat fitrah. Dalam hal ini amil zakat tampaknya pasif dan berada pada posisi menunggu. 172 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Tentu saja semangat pengelolaan zakat seperti ini sangat berbeda dengan semangat yang dibangun pada masa Rasulullah dan Khulafaur- rasyidin. Pada masa awal Islam, tampak bahwa amil-amil zakat yang diangkat Rasul sangat proaktif dan kreatif baik dalam mengumpulkan ataupun mendistribusikan zakat. Terbukti bagaimana Rasul mengutus sahabatnya untuk memungut zakat dari Sta’labah sahabat rasul yang lupa daratan. Demikian juga dengan Abu Bakar yang cukup keras dalam mengumpulkan zakat sampai-sampai ia mengeluarkan perintah untuk memerangi orang yang menolak membayar zakat. Umat Islam yang menolak membayar zakat dipandang merongrong pemerintahan yang sah, untuk itu darahnya menjadi halal untuk di bunuh. Berangkat dari deskripsi singkat sejarah Islam di atas, jelaslah bahwa amil itu semestinya diangkat oleh pemerintah. Benarlah apa yang dinyata- kan oleh Imam al-Bazuri bahwa Amil adalah orang yang dipekerjakan oleh al-Imam pemerintah untuk mengumpulkan zakat, serta mem- bagikannya kepada mustahiqnya. Atas dasar inilah BAZNAS sebagai amil zakat mendapatkan legitimasinya baik berdasarkan nas al-Qur’an ataupun pendapat para ulama fikih. Tidaklah berlebihan jika dikatakan, kerja-kerja amil identik dengan kerja-kerja negara Fungsi Zakat M.A.Mannan dalam bukunya Ekonomi Islam Teori Dan Peraktek menjelaskan bahwa zakat dapat berperan dalam bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis habis sifat- sifat ketamakan, keserakahan orang-orang kaya. Dalam bidang sosial, zakat dapat berfungsi menghapuskan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin serta menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosialnya. Adapun dalam bidang ekonomi, zakat menghindarkan akumulasi modal pada tangan segelintir orang yang dapat merusak mekanisme pasar. Sebaliknya, zakat adalah media distribusi harta kepada orang- orang yang tidak mampu dan kurang beruntung fakir dan miskin. Begitu signifikannya zakat dalam mengentaskan kemiskinan, maka pengelolaan zakat secara profesional sesuai dengan azas-azas manajemen modern menjadi sebuah keniscayaan. Upaya untuk pengelolaan zakat secara profesional sebenarnya telah dirintis dengan mendirikan Badan Amil Zakat BAZ atau Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah 173 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS BAZIS dan lembaga serupa dengan nama yang berbeda seperti BAZI Infaq, BAKAT atau BAZID Derma, Badan Harta Agama, Lembaga Harta Agama Islam, yang kelembagaan ini dijustifikasi dengan Peraturan Menteri Agama No.41968 tertanggal 15 Juli 1968 dan No.51986 tentang pembentukan Bait al-Mal tertanggal 22 oktober 1968. Melalui UU No 38 Tahun 1999 hanya ada dua lembaga zakat yang diakui ; BAZ Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh Pemerintah dan LAZ Lembaga Amil Zakat yang dapat dibentuk oleh masyarakat. Ketentuan terakhir mengenai zakat terdapat di dalam UU No 23 Tahun 2011. Di dalamnya diatur kelembagaan zakat yang dengan istilah BAZNAS. Persoalannya sekarang adalah, apakah dengan berdirinya lembaga resmi tersebut masalahnya menjadi selesai ? Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Dawam Rahardjo, lembaga-lembaga zakat kendati sebenarnya cukup menjanjikan pada masa depan, namun sampai hari ini belum menunjukkan hasil yang maksimal baik ditinjau dari jumlah muzakki yang mempercayakan zakatnya di BAZNAS ataupun dalam hal pendistribusian dan pendayagunaannya. Ukurannya sederhana saja, perbedaan jumlah umat Islam yang sudah memenuhi syarat untuk membayar zakat dan jumlah orang yang menyerahkan zakatnya ke lembaga resmi cukup tajam. Ini mengesankan bahwa umat Islam belum begitu well come dengan lembaga yang dibentuk Pemerintah. Hasil pengamatan yang penulis lakukan dilapangan, masih cukup banyak dikalangan umat Islam yang tidak mau membayarkan zakatnya ke lembaga resmi. Mereka lebih puas, jika zakat tersebut diserahkan langsung kepada orang yang dipandang pantas atau mereka memper- cayakannya kepada “amil tradisional” . Jadi ada kesan mereka tidak terlalu percaya kepada BAZNAS. Alasannya bisa macam-macam. Pertama, bisa jadi mereka belum memahami fungsi lembaga amil zakat. Kedua, mereka merasa zakat adalah ibadah murni dan bukan institusi ekonomi Islam. Jadi tidak perlu campur tangan pemerintah dan mereka memahami zakat hanya memiliki fungsi karitatif konsumtif semata. Ketiga, Mereka tidak begitu percaya dengan orang- orang yang mengelola lembaga amil zakat. Untuk membangkitkan kepercayaan umat Islam, maka ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, Transformasi pemahaman dan pemikiran umat Islam terhadap zakat sebagai konsep ibadah kepada 174 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS zakat sebagai konsep mu‘amalah yang memiliki peran yang signifikan dalam membangun kehidupan ekonomi umat Islam. Kedua, Sosialisasi BAZNAS ditengah-tengah umat Islam dengan melibatkan para ulama- ulama, para da‘i, diiringi dengan publikasi yang menunjukkan transparansi pengelolaan zakat oleh BAZNAS dengan memanfaatkan media massa. Lebih lanjut dari itu, BAZNAS harus mampu menunjukkan mustahiq yang berhasil menjadi muzakki atas pembinaan BAZNAS. Ini penting untuk memotivasi ummat untuk lebih yakin terhadap BAZNAS. Ketiga, membangun kerja sama dengan masjid-masjid yang pada gilirannya amil tradisional yang dimasjid menjadi perpanjangan tangan BAZNAS. Kerja sama ini juga bisa dilakukan dengan lembaga amil Zakat diperusahaan- perusahaan, BUMN, baik negeri maupun swasta. Keempat, orang-oarang yang berada di lembnaga amil zakat harus memiliki track record yang positif di mata umat. Mereka harus memiliki integritas siddiq, public accontability amanah, transparansi tabligh, dan kompetensi fatanah. Hemat penulis sebaiknya BAZNAS tidak dikelola oleh “orang-orang pemerintah” dan bukan pula orang-orang yang telah memiliki jabatan tertentu baik yang bersifat politis atau struktural, sehingga diharapkan kerja di lembaga bukan kerja sambilan melainkan kerja yang membutuhkan keseriusan dan menuntut profesionalisme. Pada tempatnyalah BAZNAS belajar dari Dompet Du‘afa dan lembaga amil zakat lainnya yang telah berhasil menerapkan manajemen modern dengan menjunjung prinsif transparansi dan akuntabel. Penutup Tentu saja kita umat Islam berharap banyak dari BAZNAS. Melalui lembaga resmi ini diharapkan zakat umat Islam bisa terkonsentrasi pada sebuah lembaga resmi. Pada gilirannya dari lembaga inilah mengalir kebijakan-kebijakan sehingga zakat bisa disalurkan tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat konsumtif sesaat, tetapi lebih penting dari itu bagaimana zakat bisa memberdayakan pengusaha kecil dengan suntikan-suntikan dana al-Qard al-hasan, atau yang bersifat peningkatan sumber daya manusia melalui pemberian bea siswa dan sebagainya. Hanya cara inilah kita percaya bahwa zakat dapat menjadi panacea terhadap pengentasan kemiskinan. 175 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

4. Zakat Dan Kemiskinan

Di atas penulis mengingatkan bahwa sejatinya zakat dapat berperan dalam bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat dapat mengikis habis sifat-sifat ketamakan, keserakahan orang-orang kaya. Dalam bidang sosial, zakat dapat berfungsi menghapuskan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Dalam bidang ekonomi, zakat dapat berperan sebagai media untuk pemerataan dan menghindarkan akumulasi konsentrasi modal pada tangan segelintir orang yang dapat merusak mekanisme pasar. Senada dengan ungkapan di atas, dalam bukunya Perspektif Deklarasi Makkah, Dawam Rahardjo menjelaskan dua konsep doktrin sosial ekonomi Islam. Doktrin pertama dikemukakan dalam bentuk negatif, yaitu larangan riba. Kedua, diungkap dalam bentuk positif, yaitu perintah menunaikan zakat, sadaqah dan infaq. Terkesan kedua konsep ini saling berkaitan dalam arti, zakat bisa berperan dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup ekonomi umat, selama praktek riba dengan segala variasinya benar-benar lenyap dari kehidupan umat. Selama praktek riba masih berjalan, zakat tidak akan berperan apa-apa. 4 Jika demikian zakat, infaq dan sadaqah ZIS memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur ajaran mu‘amalah Islam. Isyarat al-Qur’an juga menunjukkan bahwa zakat merupakan sumber utama kas negara bait al-maal. Lebih jauh dari itu, menarik untuk dicermati bahwa Zakat merupakan soko-guru dari kehidupan ekonomi yang ber- keadilan seperti yang dicanangkan al-Qur’an. Adalah menarik untuk dianalisis ternyata dikalangan umat Islam muncul kecenderungan untuk melihat zakat tidak lagi semata-mata kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan hartanya dalam rangka mendapat perkenan rida Allah saja, melainkan juga dipahami sebagai bentuk komitmen terhadap sesama manusia. Realitas yang tidak bisa ditolak bahwa secara sosiologis terdapat sekelompok manusia yang hidup serba kekurangan dan pada sisi lain terdapat sekelompok manusia yang hidup serba mewah. Di sini diperlukan 4 M. Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam, Bandung: Mizan, 1993, h. 141-188 176 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS pemikiran rasional bagaimana mengangkat derajat kehidupan orang miskin menjadi lebih baik. Dengan demikian zakat dipahami sebagai realokasi sumber-sumber ekonomi. Ketika zakat dilihat sebagai satu bentuk realokasi sumber-sumber ekonomi, maka pengelolaan dan peng- gunaannya harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan manfaat konsumtif terlebih lagi manfaat produktif yang maksimal. Seperti yang telah penulis sebutkan di muka, mengapa zakat belum juga berfungsi dengan baik sebagai satu upaya pengentasan kemiskinan umat ?. Menjawab persoalan ini penulis mengajukan beberapa faktor penyebab. Pertama, Sebagian Umat Islam masih beranggapan bahwa zakat hanyalah urusan teologis semata dengan Allah SWT. Implikasi dari pandangan ini zakat diyakini sebagai urusan privat pribadi saja dan tidak boleh dicampuri oleh pemerintah atau lembaga-lembaga zakat. Dalam bentuk pelaksanaannya terlihat zakat seringkali diserahkan langsung kepada orang yang berhak menerimanya. Kedua, Belum terumuskannya konsep-konsep pemberdayaan zakat secara baik dan teruji. Jika zakat disebut dapat memberdayakan ekonomi umat atau zakat dapat mengentaskan kemiskinan, operasionalnya bagaimana ?. jika zakat dijadikan sebagai sumber pendapatan Asli Daerah PAD rumusan konsepsionalnya seperti apa ?. Akibat belum terumuskannya konsep-konsep pemberdayaan zakat yang teruji, seringkali zakat lebih diretorikakan ketimbang diteorisasikan. Benarlah jika Dawam Rahardjo menyatakan bahwa, di Indonesia zakat lebih banyak dipraktekkan dari pada diteorisasikan ?. Ketiga, Belum terbangunnya kepercayaan yang utuh dan solid terhadap lembaga-lembaga zakat yang resmi seperti BAZNAS atau LAZNAS. Akar masalahnya bisa bermuara pada pengelola-pengelola lembaga zakat tersebut yang tidak memiliki akar yang kuat dalam struktur kehidupan umat Islam. Mau tidak mau, syarat yang paling utama untuk menjadi pengelola lembaga zakat adalah siddiq jujur, amanah terpercaya dan Profesional. Dan yang menentukan kreteria ini haruslah ummat Islam itu sendiri bukan ditunjuk oleh pemerintah. Ada yang harus diperhatikan secara serius oleh ummat Islam, bagai- manapun pemberian zakat secara manual, langsung kepada mustahaqnya orang yang berhak menerimanya tidak akan membawa pengaruh apa-