Nelayan, Kemiskinan Struktural dan BPR- Syari’ah

135 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS daya alamnya sangat kaya. Ibarat semut yang mati kelaparan di lumbung gula. Untuk itulah masalah kemiskinan nelayan ini sejatinya harus mendapat perhatin serius bagi semua pihak dan harus di atasi dengan menggunakan berbagai macam cara. Bentuk Kemiskinan Setidaknya ada tiga bentuk kemiskinan yang melanda Nelayan. Pertama, kemiskinan struktural. Kemiskinan ini diderita oleh segolongan nelayan karena kondisi struktur sosial yang ada mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Jadi soalnya ketidakmerataan akses pada sumber daya karena struktur sosial yang ada. Semakin tinggi posisi sosial nelayan dalam struktur sosial yang ada, semakin besar pula peluang mereka memperoleh akses pada sumber daya, baik modal, teknologi, informasi dan pasar Dahuri;2001. Contoh yang paling jelas, sampai saat ini nelayan belum dapat menikmati harga dari hasil produksinya karena marjin pemasaran lebih banyak jatuh ketangan pedagang atau pengusaha. Kedua, Kemiskinan Kultural yang melihat kemiskinan terjadi karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai-nilai lokal yang memang tidak kondusif bagi suatu kemajuan. Dahuri:2001. Bisa jadi masalahnya tidak hanya disebabkan oleh nilai-nilai lokal, adat atau tradisi, namun dapat juga terjadi akibat nilai-nilai relegius yang selama ini diyakini. Sadar atau tidak, pemahaman teologis seseorang pada hakikatnya memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap etos kerja yang dimilikinya. Menyangkut hal ini telah banyak penelitian yang dilakukan berkenaan dengan pengaruh agama terhadap etos kerja. Penelitian yang menjadi klasik dan selalu dirujuk oleh peneliti- peneliti berikutnya adalah karya Max Weber yang berjudul The Prot- estant Ethic and Spirit of Capitalisme. Di dalam karyanya Weber berhasil dengan baik menunjukkan pengaruh ajaran protestan terhadap bangkitnya Kapitalisme di Jerman. Dalam konteks Islam, beberapa penelitian juga menunjukkan indikasi yang sama. Di antaranya, Penelitian Nanat Fatah Nasir tentang Etos Kerja Wirausahawan Muslim di Kabupaten Tasik Malaya. Jawa Barat 1999. Selanjutnya penelitian Zuly Qodir tentang Agama dan Etos Dagang yang mengambil lokasi di Pekajangan Yogyakarta 2002 136 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Tegasnya ada korelasi positif antara pemahaman teologi dengan etos kerja. Jika paham teologi yang diyakini progresif, maka etos kerjanya akan tinggi dan sebaliknya jika pemahaman teologinya tidak memberikan kebebasan pada manusia, maka etos kerjanyapun akan rendah. Ketiga, kemiskinan alamiah terjadi di mana kondisi alam tidak mendukung mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif. Dalam konteks masyarakat agraris, dapat digambarkan dengan gersangnya lahan. Sementara dalam konteks masyarakat nelayan, dapat digambarkan dengan miskin atau rusaknya sumber daya pesisir laut, baik mengenai faktor alam ataupun manusia pengeboman ikan, pencemaran, dsb.Dahuri:2001. Tentu saja ketiga bentuk kemiskinan tersebut harus di atasi dengan pendekatan yang berbeda. Mengutamakan yang satu serta mengabaikan yang lainnya, tidak akan pernah berhasil membawa masyarakat miskin di wilayah pesisir ke arah kehidupan yang lebih baik. Namun tulisan ini secara spesifik hanya membicarakan kemiskinan struktural dan bank syari‘ah. Solusi Sebagaimana yang telah diuraikan di muka, kemiskinan struktural sebenarnya lebih disebabkan suatu kondisi sosial masyarakat yang menempatkan nelayan tersebut tidak berada dalam posisi yang menguntungkan. Setidaknya para nelayan secara sosial dapat digolongkan kepada tiga golongan. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap perahu, jaring dan perlengkapan lain, nelayan itu dapat dibagi kepada nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan jenis terakhir ini tidak memiliki apa-apa kecuali hanya menyumbangkan jasanya tenaganya kepada nelayan pemilik. Kedua, dari skala investasi modal usaha, struktur masyarakat nelayan terbagi kepada nelayan besar yang investasi modalnya cukup besar dalam usaha perikanan, dan sebaliknya nelayan kecil yang sama sekali tidak memiliki modal yang cukup. Ketiga, dipandang dari segi peralatan dan pemanfaatan teknologi dibagi kepada nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern biasanya menggunakan peralatan yang 137 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS lebih canggih, sebaliknya nelayan tradisional hanya menggunakan peralatan yang sangat-sangat terbelakang. Kusnadi:2002 Implikasi dari tipologi ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam tingkat pendapatan masing-masing nelayan. Bisa di duga, nelayan buruh, nelayan kecil dan nelayan tradisional memiliki penghasilan yang relatif lebih kecil dibanding dengan nelayan besar dan modern. Sebenarnya jika disederhanakan, klasifikasi nelayan yang disebut di atas, dapat dibagi kepada dua katagori utama; nelayan dengan penghasilan yang relatif lebih besar dan nelayan dengan penghasilan yang relatif lebih kecil. Ironisnya, jumlah nelayan yang penghasilannya besar sangat kecil. Mayoritas adalah nelayan-nelayan kecil. Persoalannya, mengapa nelayan-nelayan miskin ini tidak dapat bangkit? jawabnya adalah struktur sosial tidak memihak kepada mereka. Posisi sebagian besar nelayan yang tidak memiliki modal dan peralatan penangkapan yang memadai, membuat mereka berada pada posisi yang tidak seimbang dengan nelayan besar. Dalam paradigma kapitalis, hubungan mereka tak obahnya antara kalangan proletar dengan borjuis. Wajar saja bagi hasil yang mereka peroleh sering tidak adil. Pada sisi lain, kendatipun dalam waktu-waktu tertentu nelayan- nelayan buruh kecil atau tradisional tersebut mendapat tangkapan yang banyak, misalnya pada musim ikan, keadaan ini tidak menjadikan mereka memiliki nilai tukar uang yang memadai. Masalahnya adalah, jaringan pemasaran ikan dikuasai sepenuhnya oleh para pedagang perantara. Hubungan antara nelayan dan pedagang perantara sangat kuat dan berjangka panjang. Nelayan membangun kerjasama dengan nelayan perantara untuk mengatasi kesulitan modal ataupun untuk konsumsi sehari-hari. Pedagang perantara biasanya selalu menyediakan modal atau kebutuhan nelayan pada saat dibutuhkan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan berlaku sistem rente di mana pedagang antara menyediakan pinjaman modal dengan sistem bunga. Akhirnya, nelayan yang berjuang mati- matian mencari ikan di laut lepas, tetap berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Mereka tidak bisa menentukan harga sendiri bahkan mereka sama sekali tidak mengetahui harga di pasaran karena mereka sama sekali tidak memiliki akses terhadap pasar. 138 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Dengan demikian yang menjadikan nelayan-nelayan kecil tidak berdaya terhadap struktur sosial yang ada, karena “mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber modal yang tidak mengeksploitasi mereka” yang sudah barang tentu menjadikan mereka tidak mampu memiliki alat-alat produksi. Dalam kerangka menyelesaikan persoalan modal yang memberikan keadilan, maka keberadaan lembaga perbankan terlebih lagi perbankan Islam menjadi sebuah keniscayaan. Mengapa harus perbankan syari‘ah atau lebih tepatnya BPRS Bank Perkreditan Rakyat Syari‘ah yang harus diwujudkan di daerah sekitar pesisir. Alasannya adalah, Pertama, Bank syari‘ah adalah bank yang menjunjung tinggi nilai-nilai syari‘ah seperti keadilan, kemaslahatan bersama dan persamaan. Berbeda dengan bank konvensional yang berbasis bunga yang cenderung eksploitatif, bank syari‘ah akan tampil dengan sistem bagi hasilnya yang lebih manusiawi. Kedua, Bank Syari‘ah menyiapkan berbagai macam skim-skim yang dapat membantu para nelayan untuk memenuhi kebutuhan modalnya, seperti mudharabah dan musyarakah. Skim ini lebih rasional dan mampu mendorong produktifitas nelayan. Ketiga, Bank Syari‘ah juga menyediakan pembiayaan-pembiayaan yang dapat digunakan para nelayan untuk melengkapi peralatan penangkapan ikan melalui pembiayaan murabahah, atau ba‘i bi al-saman ajil BBA ataupun al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik sewa beli. Keempat, Dalam tingkat tertentu, bank syari‘ah juga dapat berfungsi sebagai pembeli hasil penangkapan nelayan agar tidak lagi dipermainkan oleh pedagang perantara. Kelima, Bank Syari‘ah juga pada gilirannya dapat mendidik nelayan untuk melakukan saving, dan ini merupakan cara yang paling efektif untuk merubah kultur nelayan yang cenderung konsumtif dan berpikir jangka pendek di sini dan saat ini menjadi berpikir untuk jangka waktu yang lebih panjang. Keenam, Bank Syari‘ah juga dapat membantu nelayan untuk mengcover melalui asuransi takaful. Sehingga kecelakaan jika ada dan mudah- mudahan tidak terjadi yang dialami nelayan tidak berarti berakhirnya usaha keluarga. Jika pilihannya pada BPRS hal ini lebih disebabkan pada pendiriannya 139 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS lebih memungkinkan dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama.Di samping itu BPRS lebih diorientasikan untuk pemberdayaan masyarakat kurang mampu. Dengan demikian, pendirian Bank Syari‘ah di wilayah pesisir adalah keputusan yang paling tepat yang harus didukung oleh PEMKO Medan dalam kerangka meretas kemiskinan struktural yang begitu akut di wilayah pesisir Medan.

4. Peranan Ulama dan Akademisi Dalam Pengembangan Bank Syari‘ah

Ketangguhan Bank Syari‘ah dalam menghadapi krisis ekonomi Indonesia khususnya yang melanda dunia perbankan sejak tahun 1997, agaknya tidak dipersoalkan lagi. Di saat bank-bank besar menghadapi persoalan negatif spread, kredit macet, bank syari‘ah nyaris tidak terkena dampak krisis tersebut. Sebabnya adalah bank syari‘ah menerapkan pola bagi hasil mudharabah, sebuah pola yang digariskan syari‘at Islam dengan menjunjung nilai-nilai keadilan ‘adalah, persamaan al-musawah, dan kemaslahatan al-maslahat. Di samping itu, bank syari‘ah tetap konsisten untuk mematuhi prinsip seperti, kehati-hatian prudential, batas maksimum pemberian kredit BMPK pihak terkait, posisi devisa terbuka dan prinsip lainnya. Keberhasilan Bank Syari‘ah dalam menghadapi krisis, membuat pemerintah semakin yakin terhadap masa depan bank syari‘ah. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, bank syari‘ah dapat dijadikan salah satu model restrukturisasi perbankan nasional. Beberapa indikasi yang menunjukkan adanya pengakuan terhadap keberadaan bank syari‘ah dapat dilihat dengan lahirnya undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Demikian juga dengan disyahkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang intinya adalah, Indonesia menganut sistem perbankan berganda dual banking system yang memiliki makna perlakuan yang sama bagi kedua sistem konvensional dan syari‘ah tersebut. Lebih dari itu, Bank Indonesia juga membuat regulasi-regulasi khusus mengenai perbankan syari‘ah seperti masalah konversi bank konvensional ke bank syari‘ah, peraturan tentang Pasar 140 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS Uang antar bank syari‘ah bahkan sampai pengaturan tentang standar akuntansi perbankan syari‘ah. Tentu saja keberhasilan yang telah dicapai bank syari‘ah, tidak berarti membuat pemikir ekonomi Islam, praktisi perbankan, ulama, ulamaakademisi dan umat Islam berpuas diri. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi perbankan syari‘ah yang sebenarnya sampai saat ini asset perbankan syari‘ah masih sangat kecil di banding dengan bank- bank konvensional lainnya. Sampai akhir maret 2002 menurut data Biro Perbankan Syari‘ah, total dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank- bank syari‘ah hanya sebesar 1,28 trilyun dengan aset sebesar 2,81 trilyun. Salah satu masalah yang cukup serius tersebut adalah, keterlibatan umat Islam yang belum maksimal untuk tidak mengatakan tingkat partisipasi yang sangat rendah. Padahal, umat Islam adalah pasar potensial perbankan syari‘ah, yang harus dimanfaatkan. Untuk mengatasi persoalan ini diperlukan langkah-langkah strategis-prospektif yaitu, bagaimana menjadikan bank syari‘ah sebagai bank umat Islam. Tidak kalah pentingnya, bagaimana menjadikan umat merasa memiliki bank syari‘ah. Tentu saja gagasan ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan bank syari‘ah sebagai bank yang eksklusif, karena ini tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam sebagai rahmatan lil al-‘alamin, sekaligus juga bertentangan dengan inklusivitas ekonomi Islam. Maksud gagasan ini hanyalah ingin menjadikan umat Islam sebagai pendukung utama perbankan syari‘ah itu sendiri. Semangat Dasar Kelahiran Bank Syari‘ah Kendatipun gagasan pendirian bank syari‘ah telah dimulai pada awal abad 20 M seperti yang terdapat di Pakistan, Malaysia dan Mesir, namun untuk konteks Indonesia semangat pendirian bank syari‘ah baru dimulai pada era 1980-an. Puncaknya pada tahun 1990 ketika Majelis Ulamaakademisi Indonesia MUI menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cicarua Bogor, Jawa Barat. Hasil Lokakarya tersebut dibahas lagi lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan Munas IV MUI tersebut diamanatkanlah kepada sebuah tim untuk mendirikan bank syari‘ah di Indonesia. Hasilnya adalah berdirinya