Menghempang Budaya Konsurisme Lewat Puasa
110
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
Kita seolah-olah tidak berdaya menolak kehadirannya. Tidak itu saja sadar atau tidak kehadirannya juga ikut membentuk prilaku konsumtif
masyarakat kita yang terus berubah.
Manusia-manusia postmodern –meminjam istilah Akbar S Ahmed- saat ini ketika membeli sesuatu tidak saja didasarkan pada kebutuhan
dasar hidupnya primer atau sekunder melainkan juga didorong oleh keinginannya untuk meningkatkan strata hidupnya dalam struktur
sosial masyarakat tertentu.
Konsumsi tidak sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan
tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau symbol sosial tertentu. Konsumsi mengekspresikan
posisi sosial yang tersembunyi di baliknya. Kecenderungan seperti ini oleh para pemikir sosial dan budaya Eropa pada umunya disebut dengan
budaya konsumerisme. Yasraf Amir Pilliang:1999.
Dalam konteks ini, pola budaya konsumsi masyarakat tidak lagi ditandai oleh logika kebutuhan need melainkan logika hasrat desire.
Masyarakat tidak saja akan mengkonsumsi benda-benda tetapi juga membeli simbol, pesan yang dikandung di balik benda tersebut. Ketia ia
mengkonsumsi sesuatu sebenarnya ada yang hendak dikomunikasikannya bahwa Ia telah berada pada kelas tertentu dan membedakannya dengan
orang lain. Dengan kata lain mengkonsumsi adalah salah satu cara untuk mengeksternalisasikan diri dalam strata tertentu.
Ironisnya budaya konsumerisme yang diperankan oleh masyarakat konsumer terjadi pada saat ketimpangan sosial ekonomi masyarakat
masih sangat tinggi. Jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin begitu menganga. Dengan demikian kehadiran plaza dan mall hanyalah
mempertontonkan kesenjangan sosial dan membuat potret kemiskinan begitu jelas dan transparan. Yang paling mengkhawatirkan adalah,
budaya konsumerisme ini menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat yang pada gilirannya mengundang terjadinya kerawanan sosial.
Puasa dan Keseimbangan Hidup Kehadiran Bulan Ramadhan di saat budaya konsumerisme menjadi
sebuah fonomena kehidupan masyarakat saat ini dipandang sangat
111
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
tepat. Di dalamnya terbesit harapan akan sebuah perubahan gaya hidup dari budaya konsumerisme ke budaya hidup sederhana. Apakah puasa
Ramadhan memiliki kekuatan untuk melakukanperubahan tersebut. Secara teologis normative, jawabnya tentu dapat.
Puasa yang di dalam bahasa Arab disebut dengan al-imsak mengandung arti menahan. Maksudnya adalah orang yang melaksanakan ibadah puasa
dituntut untuk mampu menahan segala keinginannya dari kecenderungan hawa nafsu yang selalu saja mendorong manusia untuk berbuat yang
tidak baik destruktif. Tegasnya dengan melaksanakan puasa, masyarakat dilatih untuk mampu mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya,
termasuklah keinginan mengkonsumsi, membeli benda-benda yang sebenarnya tidak diperlukannya.
Para ahli psikoanalisa selalu saja menggambarkan manusia itu senantiasa berada dalam suatu proses tarik menarik antara unsur jasmaniyah
dan unsur rohaniyah. Alquran menyebutnya dalam surah al-syams ayat 8 dengan kata fujur dan kata taqwa. Fujur adalah keinginan untuk
selalu melanggar perintah Allah SWT dan taqwa adalah keinginan untuk selalu mematuhinya. Kedua potensi ini selalu bertarung dalam diri
manusia. Bisa saja dikatakan, fujur berasal dari tanah kecenderungan jasmani dan taqwa berasal dari roh kecenderungan rohani.
Unsur jasmaniyah yang berasal dari tanah akan menjadikan manusia cenderung untuk memenuhi kebutuhan fa‘alinya seperti makan, minum,
kebutuhan sexual dan material, yang sebenarnya tidak memiliki titik henti. Seringkali dalam memenuhi kebutuhan ini manusia tidak lagi memperhatikan
ajaran-ajaran agamanya dan cenderung untuk menghalalkan segala cara. Akhirnya jadilah manusia itu sebagai makhluk yang rakus dan serakah.
Sedangkan unsur rohaniyah yang langsung bersumber dari Allah SWT, membuat manusia itu cendeung pada kebenaran, berkeinginan
untuk melakukan yang baik-baik dan selalu ingin dekat kepada asalnya yaitu Allah SWT. Inilah makna bahwa pada dasarnya manusia itu hanif
yang artinya cenderung pada kebenaran mail ila al-Haq.
Kedua potensi inilah yang selalu bertarung pada diri manusia yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketimpangan hidup dan disharmonisasi.
Dikatakan demikian karena seringkali kedua kebutuhan ini tidak seimbang dalam diri manusia. Adakalanya kebutuhan duniawinya lebih dominan
112
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
dan terkadang kebutuhan rohaninya yang lebih dominan. Situasi seperti ini seringkali menyiksa kehidupan manusia karena tidak sesuai dengan
fitrahnya sendiri.
Melalui ibadah puasa ketidakseimbangan ini akan dipecahkan. Disatu sisi setiap orang yang berpuasa harus mengurangi kebutuhan
jasmaninya seperti makan, minum material dan kebutuhan sexual. Pada sisi lain ia juga harus menyuburkan perkembangan batinnya dengan
ibadah puasa, sholat baik fardu ataupun sunnat, zikir dan membaca al-Qur’an. Pada akhirnya kebutuhan jasmani yang sebelumnya dominan,
menjadi turun dan kebutuhan rohaninya yang semula rendah dapat dinaikkan sejajar dengan kebutuhan jasmaninya, sehingga tidak ada yang dominan.
Setelah mencapai keseimbangan baru tersebut, sebenarnya pribadi muslim tersebut telah kembali kepada fitrah asalnya yaitu satu bentuk
kehidupan yang alami natural seimbang kebutuhan jasmani dan rohani. Dalam surah al-rum ayat 30 Allah berfirman: Maka hadapkanlah wajahmu
kepada Agama yang hanif lurus yang diciptakan Allah SWT sesuai dengan fitrah manusia. Melalui ayat ini tegaslah bahwasanya manusia itu pada
hakikatnya diciptakan dalam kondisi fitrah. Satu bentuk kehidupan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani.
Kehidupan yang seimbang adalah satu bentuk kehidupan yang otentik bagi manusia. Ia akan memenuhi kebutuhan hidupnya seperti
kebutuhan material-fisik berdasarkan logika kebutuhan need dan bukan didasarkan pada logika hasrat disire. Ia akan sadar kehormatan dan
citra dirinya ditengah-tengah masyarkat bukan ditentukan oleh harta materi yang dimilikinya, melainkan kualitas ketakwaannya yang ditandai
dengan keberhasilannya memenuhi kebutuhan rohaninya secara seimbang.
Selanjutnya kelebihan material yang dimiliki akan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui instrumen Zakat, Infaq
dan sadaqah. Sedangkan bagi dirinya, Ia akan menerapkan pola hidup sederhanabersahaja.
Penutup Predikat taqwa yang merupakan tujuan akhir dari ibadah puasa
akan ditandai oleh kemampuan seseorang menahan dan mengendalikan hawa nafsunya termasuk hasrat untuk memiliki sesuatu benda yang
113
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
sebenarnya tidak diperlukannya. Kemampunannya mengendalikan diri tercermin dalam sikap hidup yang sederhana. Selanjutnya ia akan
menggunakan kelebihan materialnya tersebut untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara mendistribusikan kekayaannya
kepada orang-orang yang tidak mampu.
Akankah puasa Ramadhan akan berhasil merubah pola budaya konsumerisme menjadi pola budaya hidup sederhana?. jawabnya akan
sangat tergantung pada tingkat penghayatan kita terhadap ibadah puasa tersebut. Semoga.