Meneguhkan Keilmuan Ekonomi Islam
102
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
juga terus meningkat. Bukan sebatas pertumbuhan kantor cabang yang angkanya terus menaik, tetapi yang lebih penting dari itu adalah
terbangunnya kesadaran baru di masyarakat untuk mengaplikasikan ekonomi Syari’ah dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini setidaknya
dapat dijadikan indikasi terbentuknya masyarakat ekonomi Syari’ah akan segera terwujud.
Perkembangan ekonomi Islam yang signifikan tersebut bukan tanpa masalah. Dari sisi praktik perbankan misalnya, ada banyak persoalan
yang perlu diselesaikan. Misalnya dari segi kesesuaiannya dengan syari’ah complain syari’ah. Apakah praktik murabahah yang berlangsung
saat ini sudah sesuai dengan ketentuan fatwa DSN atau tidak. Demikian juga dengan praktik dana talangan haji atau produk “berkebun emas”
yang berpotensi untuk berbeda dengan ketentuan fatwa DSN.
Sedangkan dari sisi keilmuannya, ekonomi Islam juga sedang dipertanyakan basis epistimologisnya. Apakah ekonomi Islam itu bagian
dari ilmu ekonomi atau bagian dari ilmu-ilmu agama. Ada sebagian orang yang memahami bahwa ekonomi Islam itu bagian dari ilmu ekonomi,
maka metodologi keilmuannya juga harus mengikuti apa yang berlaku di dalam ekonomi konvensional. Banyak argumentasi yang dijadikan
alasan. Mulai dari yang serius menyangkut epistemologinya sampai alasan yang terkesan sederhana. Ekonomi Islam itu fenomena baru
dan belum matang. Bahkan sampai saat ini tidak ada kesepakatan para pakar ekonomi Islam tentang ekonomi Islam. Aliran mazhab yang
berkembangpun sebatas ide atau gagasan. Belum sampai pada tingkat teoritik yang benar-benar matang.
Pertanyaannya adalah, di mana posisi Islam. Lalu apa yang mereka pahami tentang Islam dalam hubungannya dengan ekonomi. Jawabnya,
Islam dipahami hanya sebatas kumpulan nilai moral semata. Tidak lebih dari itu. Bagi mereka Islam tidak memiliki model ekonomi tertentu. Bahkan
ada pakar ekonomi Islam yang mengatakan bahwa ekonomi Islam itu adalah ekonomi plus zakat minus riba. Zakatpun dipahami sebagai
bagian dari kedermawanan. Sedangkan riba sama dengan bunga, yang sebenarnya juga dilarang dalam berbagai tradisi agama dunia.
Cara pandang seperti ini berimplikasi serius terhadap banyak hal. Yang paling nyata itu adalah pada aspek kurikulumnya. Artinya, kurikulum
yang harus dikembangkan di dalam fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
103
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
FEBI nantinya harus merujuk kurikulum fakultas ekonomi konvensional seperti yang ada di UI atau USU. Kurikulum itu harus diikuti agar lulusannya
memiliki kualifikasi yang sama dengan lulusan Fakultas ekonomi konvensional. Aspek-aspek syari’ah yang ditambahkan ke dalam kurikulum itu atau
yang diinjeksikan hanyalah sebatas kekhususan saja. Dari sisi mata kuliah mungkin mahasiswa hanya perlu mengambil 6-8 mata kuliah
saja yang berkenaan dengan syari’ah.
Di lain pihak, ada banyak pakar yang memahami ekonomi Islam itu adalah bagian dari ajaran Islam itu. Tegasnya, ekonomi Islam atau
yang disebut dengan iqtishad al-islami merupakan bagian dari ajaran Mu’amalat. Jika demikian ekonomi Islam bagian dari syari’at untuk
membedakannya dari aspek tauhid dan akhlak. Kendati disebut berbeda, sesungguhnya tauhid dan akhlak tidak boleh berpisah apa lagi berjalan
sendiri-sendiri.
Karena ekonomi Islam bagian dari ajaran Islam, maka ekonomi Islam harus mencari dan mengembangkan epistemologinya sendiri.
jika sampai detik ini, epistemologi ekonomi Islam masih belum disepakati dikalangan para ahli dan belum menjadi aksioma dan doktrin keilmuan,
bukan berarti tidak ada. Epsitemologinya bisa jadi ada namun belum tergali karena khazanah itu tersimpan dan belum sempat digali.
Eksponen ini ingin menegaskan ekonomi Islam itu adalah ilmu yang mandiri. Bahkan ekonomi Islam itu telah diuji coba dalam peraktik
kehidupan Rasul dan sahabatnya pada masa lalu. Kita bisa bertanya, sistem ekonomi manakah yang dipakainya ketika memimpin bangsa
Arab lebih kurang dari 23 tahun lamanya. Apakah Rasul menerapkan sistem ekonomi kapitalis atau sosialis ? bukankah pada saat itu, sistem
tersebut belum ada pada masa itu, walaupun akarnya bisa dilacak sampai ke zaman Romawi kuno.
Jika demikian, FEBI UIN dan IAIN yang bakal terbentuk tidak perlu meniru fakultas ekonomi konvensional. Secara kreatif, eksponennya
harus dapat mengembangkan model keilmuannya sendiri, merumuskan metodologinya dan membuktikan pengaruhnya pada saat diterjemahkan
dalam kehidupan manusia. Ekonomi Islam harus bisa menjawab dan menyelesaikan problem kehidupan manusia.
Dengan cara pandang seperti ini, tidaklah berarti ekonomi Islam
104
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS
itu esklusif dan terisolasi. Tidak perduli dengan keilmuan konvensional. Justru ekonomi Islam dapat meminjam metodologi keilmuan ekonomi
konvensional sepanjang sesuai dengan nilai-nilai syari’ah. Proses peminjaman itu sesuatu yang wajar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam
disiplin lainpun, seperti dalam studi filsafat Islam, peminjaman itu juga berlangsung. Dan nyaris tidak ada masalah serius. Tentu saja selektifitas
tetap penting untuk memastikan peminjaman itu tidak membawa mudharat bagi keilmuan ekonomi Islam.
Tidak kalah pentingnya, FEBI harus juga dapat memastikan lulusannya dapat bersaing dipentas global. Tidak saja memiliki kemampuan teoritik
yang mumpuni, keterampilan skill yang handal, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi. Justru pada sisi yang disebut terakhir inilah
menjadi pembeda dengan lulusan konvensional. Dan itu semua didasarkan pada nilai-nilai tauhid.
Dua sudut pandang ini mengemuka kembali lebih-lebih pada saat Kementerian Agama dalam waktu dekat akan mengeluarkan keputusan
tentang pembentukan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam FEBI di beberapa UIN dan IAIN. Kita bersyukur, IAIN. Sumatera Utara termasuk salah
satu IAIN yang mendapat penghargaan sebagai sabiquna al-awwalun generasi pertama yang memiliki fakultas ekonomi dan bisnis Islam.
Tentu yang terbaik bukan memilih satu di antara dua, melainkan bagaimana merumuskan pemikiran dan sikap yang lebih moderat. Hemat
penulis, di antara jalan yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan integrasi keilmuan itu sendiri. Integrasi keilmuan ini dipandang jalan
yang lebih “dingin” dan juga memiliki sejarahnya tersendiri. Masalahnya adalah bagaimana merumuskan integrasi itu dalam bentuknya yang
lebih jelas. Cara ini juga akan diperbincangkan dalam forum yang bergengsi tersebut.
105
DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS