Eksistensi Nazhir Wakaf Dalam Fikih

9. Eksistensi Nazhir Wakaf Dalam Fikih

  Nazhir berasal dari bahasa Arab, “nazhara” yang artinya menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Jika dikaitkan dengan kata wakaf, nazhir wakaf, maknanya adalah orang atau pihak yang diberi tugas mengelola wakaf. Dengan kata lain, nazhir adalah orang atau pihak yang diberi wewenang untuk bertindak atas harta wakaf, baik mengurus, mengembangkan, memelihara, dan mendistribusikan hasilanya kepada orang yang berhak menerimanya. Dalam definisi yang lain disebutkan bahwa nazir wakaf adalah orang, kelompok orang atau badan hukum

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  yang diserahi tugas dan berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.

  Agaknya nazhir sebagai orang yang mengelola wakaf baru dikenal pada masa Khalifah Umar Ibn Al-Khattab. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan Khalifah Umar yang telah memberi imbalan, upah atau honor terhadap nazhir atas segala jerih payahnya dalam mengelola harta wakaf. Kebijakan Umar ini dilanjutkan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat pada masa-masa berikutnya..

  Di dalam kitab-kitab fikih, masalah nazhir ini dibahas di bawah judul, al-Wilayat ‘ala al-awqaf” artinya Penguasaan terhadap wakaf atau pengawasan terhadap wakaf. Kendatipun nazhir tidak menjadi rukun wakaf, tidak pula berkaitan dengan keabsahan wakaf, namun para fukaha tampaknya sepakat bahwa kedudukan nazhir sangat penting dalam pengelolaan harta wakaf. Oleh sebab itu, para ulama telah sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf (pengawas wakaf) baik nazhir tersebut bertindak sebagai wakif ataupun ia menunjuk orang lain.

  Dalam kajian fikih Islam, ada beberapa diskusi yang berkembang kaitannya dengan nazhir. Pertama, siapa yang berhak menunjuk nazhir. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan, kewajiban dan hak nazir wakaf. Ketiga, syarat-syarat nazir. Berkaitan yang pertama, menurut Hanafiyah yang berhak menunjuk nazhir itu sendiri adalah wakif. Menurut mazhab ini, wakif juga bisa menunjuk dirinya sendiri menjadi nazhir. Jika wakif tidak mengangkat nazhir, maka yang berhak menunjuk nazhir adalah orang yang diberi wasiat (jika ada). Apabila orang yang diberi wasiat juga tidak ada maka hakim (pemerintah) berhak menunjuk nazhir. Bahkan Abu Yusuf mengatakan yang paling berhak mengangkat nazhir adalah wakif karena wakif adalah orang yang paling dekat dengan hartanya. Setidaknya wakif akan merasa “nyaman” dengan hartanya karena dikelola oleh orang yang dipercayainya. Namun, Mushtafa Syalabi tidak membenarkan wakif merangkap sebagai nazhir. Menurutnya, penunjukan wakif untuk dirinya sendiri untuk mengurus wakaf sebenarnya tidak dapat disebut nazhir.

  Isu yang masih diperdebatkan di dalam mazhab ini adalah, apakah nazhir itu posisinya mewakili wakif atau mewakili mauquf ‘alaih. Isu

  228 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS ini memerlukan pembahasan tersendiri. Namun bagi saya, nazhir adalah

  “khalifat Allah” atau wakil Allah dalam pengelolaan harta wakaf. Alasannya, wakaf sebagai sebuah perbuatan hukum mengandung arti di mana wakif melepas hartanya untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan ummat. Di dalam wakaf ada pelepasan hak milik dari hak manusia menjadi hak Allah. Hak Allah inilah yang “dilimpahkan” kepada manusia dalam hal ini nazhir untuk mengelolanya. Malikiyah juga berpendapat sama bahwa wakif berhak menunjuk nazhir. Yang berbeda dengan mazhab Hanafi adalah, wakif tidak boleh mengangkat dirinya sendiri menjadi nazhir.

  Sedangkan di dalam Mazhab Syafi’i, hak perwalian tidak diberikan kepada wakif, kecuali dia mensyaratkannya sendiri ketika berwakaf. Dan jika dia telah mensyaratkan hak perwalian bagi dirinya atau bagi orang lain, maka syaratnya harus diterima dan diikuti. Lebih jelasnya di dalam Al-Hawi Al-Kabir dijelaskan, hak perwalian atas wakaf adalah hak bagi orang tertentu. Jika wakif dalam berwakaf mensyaratkan hak perwalian, maka melekatlah hak perwalian bagi orang yang dia tetapkan, baik itu dirinya ataupun orang lain.

  Isu kedua, berkaitan dengan kedudukan dan kewajiban serta hak nazhir. Sebagaimana yang telah disebut di muka bahwa nazhir bertugas mengelola harta wakaf. Dalam bahasan kontemporer, nazhir bertugas menjadikan harta wakaf memiliki nilai tambah (nilai ekonomis) sehingga betul-betul bermakna untuk kesejahteraan umat Islam. Dengan demikian tugas nazhir sebenarnya sangat berat. Walaupun demikian, nazhir tidak memiliki hak mutlak untuk mengelola harta wakaf, apa lagi untuk mengalihfungsikannya. Kewenangannya dibatasi oleh ghard al-wakif (tujuan wakif) dan dalam konteks negara hukum Indonesia, kewenangannya juga dibatasi oleh UU No 41 Tahun 2004 dan peraturan yang berkaitan dengan harta wakaf lainnya.

  Dalam fikih ada dua istilah yang dikenal; ibdal (penukaran) dann istibdal (penggantian). Adalah menarik untuk dicermati, para ulama

  sebenarnya tidak membenarkan adanya ibdal dan istibdal. Kalaupun ada yang membenarkan ibdal atau istibdal, mereka mensyaratkan dengan sangat ketat. Misalnya, Mazhab Hanafiah membolehkan ibdal dan istibdal. Syaratnya, penjualan tidak boleh mengandung unsur penipuan. Kemudian, barang wakaf tidak boleh dijual kepada orang yang fasiq (tidak diterima

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS

  kesaksiannya). Selanjutnya, barang pengganti harus berupa barang yang tidak bergerak. Terakhir, harus berada dalam satu lokasi.

  Mazhab Malik hanya membolehkan ibdal dan istibdal pada harta yang bergerak, seperti pakaian, kenderaan dan lainnya. Sedangkan harta wakaf yang tidak bergerak, mazhab Malik melarang dengan tegas. Di dalam kitab Risalah Al-Khitab dijelaskan bahwa Ibn Syasi meriwayatkan bahwa Muhammad bin Abdus memfatwakan: Saya tidak menemukan perselisihan pendapat dari semua ulama tentang pelarangan penjualan masjid.”

  Mazhab Syafi’i yang mayoritas dianut oleh umat Islam Indonesia dikenal lebih berhati-hati dalam hal ibdal dan istibdal wakaf. Bahkan ada kesan mereka melarang secara mutlak. Pembahasan tentang ibdal dan istibdal di dalam mazhab Syafi’i –dalam porsi yang sangat kecil - hanya menyangkut hewan ternak yang sakit, pohon kurma yang telah kering atau batang pohon yang patah dan menimpa masjid sampai hancur.

  Kendati demikian, di dalam mazhab Syafi’i ada dua pendapat. Pertama, melarang secara mutlak sampai-sampai masjid yang sudah rusak sehingga tidak bisa dipakai untuk shalat tetap tidak boleh diperjualbelikan atau diganti. Sebabnya masjid itu milik Allah. Kelompok kedua membolehkan penggantian harta wakaf namun hanya berkenaan dengan barang yang bergerak. Pendapat kedua ini bukanlah pendapat yang mayor di dalam mazhab ini.

  Selanjutnya, berkaitan dengan hak, nazhir memiliki hak untuk mendapatkan honor atau upah atas tugasnya sebagai nazhir. Honornya bisa diambil dari pemanfaatan harta wakaf. bisa juga dari wakif sendiri atau sumber-sumber halal lainnya. Berkaitan dengan hal ini, UU wakaf telah mengaturnya sedemikian rupa.

  Berkaitan dengan syarat-syarat nazhir, jumhur Ulama membuat dua syarat penting; adil dan mampu. Kedua syarat ini umumnya tidak diperdebatkan. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya pada ukuran-ukuran yang akan dipakai. Golongan Hanafiyyah misalnya menjadikan adil sebagai syarat yang lebih utama pada seorang nazhir. Namun tidak berarti nazhir yang tidak memiliki sifat adil itu tak sah pengangkatan dan penun- jukannya. Berbeda dengan Syafi’iyyah yang menjadikan adil sebagai syarat mutlak. Argumentasi Syafi’iyyah karena nazhir bertugas mengurus dan mengelola harta orang Islam. Adapun Ahmad bin Hanbal tidak men-

  230 DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS syaratkan adil bagi nazhir jika dipegang langsung oleh mauquf ‘alaih.

  Hanabilah hanya mensyaratkan stiqah (terpercaya). Namun apabila nazhirnya bukan mauquf ‘alaih, maka adil menjadi sebuah syarat yang niscaya.

  Sedangkan Al-Kabisi menuliskan syarat-syarat nazhir yaitu; berakal, dewasa, adil, mampu, dan Islam. Syarat-syarat ini tentu ada yang disepakati dan ada pula yang diperdebatkan. Namun sebagaimana yang telah disebut di muka, syarat adil dan mampu, merupakan dua syarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sedangkan Wahbah Al-Zuhaily mencatatkan tiga syarat nazhri yaitu, Al-‘adalah al-zahirah (adil), al-kifayah (mampu) dan Islam (beragama Islam).

  Pada bagian akhir ini, penulis ingin menggarisbawahi bahwa perseolan wakaf tidak boleh dianggap masalah ringan dan sederhana. Wakaf adalah harta Allah yang pengelolaan dan penjagaannya menjadi wewenang nazhir. Fikih Islam telah mengatur sedemikian rupa. Tentu ajaran-ajaran fikih tersebut dapat menjadi panduan kita terumata bagi nazhir dalam mengelola hartanya. Karena nazhir adalah “wakil Tuhan” di bumi dalam pengelolaan harta wakaf, maka nazhir harus bertanggungjawab langsung kepada Allah. Jika nazhir “bermain-main” dengan harta wakaf, sama artinya ia berkhianat kepada Allah. Pembahasan mendatang akan kita arahkan pada posisi nazhir menurut UU No 41 Tahun 2004. Wallahu a’lam bi al-shawab.

  DARI ETIKA KE SPIRITUALITAS BISNIS