Permasalahan Nikah Kontemporer a. Nikah Sirri

Materi PAI untuk MIMTsMA | 267 Kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Dengan demikian, haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir tidak akan berlaku adil. Dalam tafsir al- Kassy Ɨf, Zamakhsyari mengatakan bahwa poligami dalam Islam suatu rukhshah kelonggaran ketika darurat, sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang boleh berbuka puasa. Kelonggaran boleh berpoligami untuk menghindarkan terjadinya perzinaan. Sebelum ayat poligami turun, banyak sahabat mempunyai istri lebih dari empat. Sesudah turun ayat poligami, Rasul Saw memerintahkan para sahabat untuk hanya memiliki maksimal 4 isteri. Dalam hadis disebutkan ιௌϝϮγέϥ· Ϧϫή΋ΎγϕέΎϓϭΎόΑέ΃Ϛδϣ΃ΓϮδϧήθϋϪΘΤΗϭϢϠγ΃ϦϴΣΔϣϼγϦΑϥϼϴϐϟϝΎϗϡ “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Salamah yang waktu masuk Islam mempunyai 10 isteri, Kata Nabi: Pilihlan empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya.” HR. Nasa`i dan Daruquthni. Para ulama sepakat menetapkan bahwa laki-laki yang sanggup berlaku adil dalam kehidupan rumah tangga, dibolehkan melakukan poligami sampai 4 isteri. Sehubungan masalah poligami, ada 2 pendapat Pertama, asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Mereka beralasan bahwa Allah Swt memperbolehkan poligami dengan syarat harus adil. Sedangkan kecenderungan manusia pada dasarnya tidak akan mampu berbuat adil. QS. Al-Nisa`: 129. ˶Ϊ˸ό˴Η ˸ϥ˴΃΍Ϯ˵όϴ˶τ˴Θ˸δ˴Η ˸Ϧ˴ϟ ˴ϭ ˶˯Ύ˴δ˷˶Ϩϟ΍ ˴Ϧ˸ϴ˴Α΍Ϯ˵ϟ ΍Ϯ˵Τ˶Ϡ˸μ˵Η ˸ϥ˶·˴ϭ˶Δ˴Ϙ͉Ϡ˴ό˵Ϥ˸ϟΎ˴ϛΎ˴ϫϭ˵έ˴ά˴Θ˴ϓ˶Ϟ˸ϴ˴Ϥ˸ϟ΍͉Ϟ˵ϛ΍Ϯ˵Ϡϴ˶Ϥ˴Ηϼ˴ϓ˸Ϣ˵Θ˸λ˴ή˴Σ ˸Ϯ˴ϟ˴ϭ Ύ˱Ϥϴ ˶Σ˴έ΍˱έϮ˵ϔ˴Ϗ˴ϥΎ˴ϛ˴ ͉๡΍͉ϥ˶Έ˴ϓ΍Ϯ˵Ϙ͉Θ˴Η ˴ϭ Kedua, asas perkawinan dalam Islam adalah poligami. Alasannya, QS. al-Nisa` [4] ayat 3 dan 129 tidak terdapat pertentangan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan lahiriah yang dapat dikerjakan manusia, bukan adil dalam arti cinta dan kasih sayang. Poligami dibolehkan dalam KHI pada Bab IX Pasal 57, bila: R Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebai isteri. R Istri amendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan R Jika isteri tidak dapat memberikan keturunan.. Kesimpulannya: Islam lebih mengutamakan sistem monogami karena inilah yang mendekati keadilan. Tetapi pada saat yang sama Islam membolehkan poligami dalam keadaan tertentu, dengan seperangkat persyaratan tertentu, yang bertujuan mewujudkan keadilan. Poligami dibolehkan dengan syarat adil, dan kalau ditemukan adanya kekurangan yang signifikan menonjol pada istri sebelumnya, serta terpenuhi beberapa kondisi tertentu untuk menghindari jatuhnya sang suami kedalam perzinaan. Terkait hukum Poliandri, para ulama sepakat bahwa perkawinan dengan wanita yang sudah mempunyai suami, tidak sah dan dituntut hukum rajam jika terbukti sudah pernah berkumpul. Jadi poliandri hukumnya haram, sesuai QS. al-Nisa`: 24 ϦϣΖϨμΤϤϟ΍ϭ ϢϜϧΎϤϳ΃ΖϜϠϣΎϣϻ·˯ΎδϨϟ΍ dan hadis ϟ΍ϭͿΎΑϦϣΆϳϥΎϛϦϣ ϩήϴϏωέίϩ˯ΎϣϲϘδϳϼϓήΧϵ΍ϡϮϴ ϱάϣήΘϟ΍ϩ΍ϭέ 268 | Modul Pendidikan Agama Islam Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka ia tidak boleh menyirami air benih orang lain tidak boleh mengumpuli isteri orang lain.

d. Hukum Menikahi Wanita Hamil

Dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini banyak kasus kehamilan diluar nikah akibat kebebasan pergaulan dua insan beda jenis. Ada yang menempuh solusi aborsi, ada pula yang segera melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang menghamilinya atau orang lain sebagai “suami dadakan” agar kehamilannya dianggap sah oleh masyarakat. Solusi pengguguran kandungan jelas melanggar syari’at, apalagi jika aborsi sesudah ditiupkan roh 4 bulan kehamilan hukumnya haram, karena merupakan kejahatanjarimah terhadap nyawa manusia. Bahkan jika aborsi dilakukan 42 hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram, sesuai hadis Nabi: ΎϬϣΎψϋϭΎϬϤΤϟϭΎϫΪϠΟϭΎϫήμΑϭΎϬόϤγϖϠΧϭΎϫέϮμϓΎϜϠϣΎϬϴϟ΍ௌΚόΑΔϠϴϟϥϮόΑέ΃ϭϥΎϨΛ·ΔϔτϨϟΎΑήϣ΍Ϋ· ... Jika nuthfah sperma telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nuthfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. … HR. Muslim dari Ibnu Masud Jadi, awal pembentukan janin adalah setelah melewati 40 hari atau 42 malam. Dengan demikian, janin sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya mashum al-dam. Menggugurkan kandungan setelah berumur 40 hari adalah haram. Sedangkan cara kedua, yaitu segera melangsungkan pernikahan. Dalam hal ini ada ikhtilaf di kalangan ulama mazhab. Perbedaan pendapat hanya terbatas pada perkawinan wanita hamil dengan pria yang bukan menghamilinya. Sedangkan perkawinan wanita hamil dengan pria yang menghamilinya para ulama sependapat bahwa laki-laki pezina halal mengawini wanita pezina. Imam abu Hanifah berpendapat, boleh mengawini wanita hamil dari perbuatan zina dengan syarat, kalau yang mengawini itu bukan pria yang menghamilinya, maka tidak boleh menggaulinya sehingga ia melahirkan. Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, tidak boleh mengawini wanita hamil dari perbuatan zina oleh pria yang bukan menghamilinya, kecuali telah melahirkan dan telah habis masa ‘iddahnya. Dalilnya QS.al-Nur [24] ayat 3, bahwa laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina. Begitu pula hadis ˴ω ˸έ˴ί˵ϩ˴˯Ύ˴ϣϰ˴Ϙ˸δ˴ϳ˸ϥ˴΍ ˶ή ˶Χϵ΍˶ϡ ˸Ϯ˴ϴ˸ϟ΍ ˴ϭ˶ͿΎ˶Α˵Ϧ˶ϣ˸Ά˵ϳ˳˯ ˶ή˸ϣϹ˵Ϟ ˶Τ˴ϳ˴ϻ ϩ ˶ή˸ϴ˴Ϗ tidak halal bagi orang beriman kepada Allah dan hari akhirat yang menyiramkan airnya kepada tanaman oranglain – HR. Abu Dawud dan Turmudzi. Juga hadis Nabi Saw ˴ϊ˴π˴Η ϰΘ˴Σ ˲Γ΃˴ή˸ϣ΍ ˵΄˴ρ ˸Ϯ˵Η˴ϻ Tidak boleh menggauli perempuan yang sedang hamil sampai melahirkan – HR. Abu Dawud. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi selain syarat tersebut, bahwa boleh menikahi wanita hamil dari perbuatan zina oleh pria yang bukan menghamilinya, asalkan perempuan itu telah bertobat dari perbuatan maksiatnya, dan jika belum tobat maka tidak boleh mengawininya meskipun ia telah habis masa ‘iddahnya. Materi PAI untuk MIMTsMA | 269 Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina hukumnya boleh, baik oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki lain. Dalilnya, QS. al-Nisa’ [4] ayat 23-24 ˸Ϣ˵Ϝ˵Η˴ϻΎ˴Χ ˴ϭ˸Ϣ˵Ϝ˵ΗΎ͉Ϥ˴ϋ ˴ϭ˸Ϣ˵Ϝ˵Η΍ ˴Ϯ˴Χ˴΃ ˴ϭ˸Ϣ˵Ϝ˵ΗΎ˴Ϩ˴Α ˴ϭ˸Ϣ˵Ϝ˵ΗΎ˴Ϭ͉ϣ˵΃˸Ϣ˵Ϝ˸ϴ˴Ϡ˴ϋ ˸Ζ˴ϣ ˶˷ή˵Σ Ayat tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang hamil dari perbuatan zina tidak termasuk dari kalangan perempuan yang haram dinikahi. Begitu pula QS. al-Nur [24] ayat 32 ˸Ϣ˵Ϝ˶΋Ύ˴ϣ˶· ˴ϭ˸Ϣ˵ϛ˶ΩΎ˴Β˶ϋ˸Ϧ˶ϣ˴Ϧϴ ˶Τ˶ϟΎ͉μϟ΍ ˴ϭ˸Ϣ˵ϜϨ˶ϣϰ˴ϣΎ˴ϳ˴ ˸Ϸ΍΍Ϯ˵Τ˶Ϝϧ˴΃ ˴ϭ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa wanita hamil yang disebabkan oleh zina boleh dikawini, karena ia termasuk wanita yang tidak bersuami. Imam Syafi’i juga menggunakan dalil hadis dari ‘Aisyah ra. ˴ϝ˴ϼ˴Τϟ΍ ˵ϡ ˶ή˴Τ˵ϳ ˴ϻ ˵ϡ΍ ˴ή˴Τϟ΍ Yang haram tidak mengharamkan yang halal – HR. al-Thabrani dan Daruquthni. Adapun dalil Imam Abu Hanifah sama dengan dalil Imam Syafi’i yang menyatakan boleh menikahi wanita hamil disebabkan zina. Dan tidak boleh menggaulinya sampai melahirkan, sama dengan alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dipandang dari segi kemashlahatan, nampaknya pendapat Imam Syafi’i lebih mendekati, karena masa depan anak yang ada dalam kandungan mendapat kejelasan, disamping cinta kedua sejoli dapat terajut kembali dalam ikatan pernikahan. Hal ini juga sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam KHI Bab VIII pasal 53: 1 Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 2 Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 3 Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Walau demikian, ini jangan diartikan sebagai legalisasi anak hasil zina. Status anak terkait hak waris, hak wali dan sebagainya tetap menjadi persoalan tersendiri. Karena status nasab dan waris anak hasil zina berdasarkan garis keturunan ibu. E. Ringkasan Materi Pokok 1. Nikah adalah bentuk mashdar dari kata nakaha yang secara bahasa artinya bersetubuh, menggabungkan dan mengumpulkan menghimpu, mengawini atau menggauli. Secara istilah, nikah adalah akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik beberapa hak dan kewajiban.

2. Rukun nikah mencakup adanya calon suami dan istri, wali dari pihak calon

pengantin wanita, dua orang saksi dan sighat ijab-qabul.

3. Hikmah nikah: Pembentuk ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan dan

menjaganya dari segala keharaman, menciptakan ketenangan dan tumaninah, nikah 270 | Modul Pendidikan Agama Islam merupakan jalan terbaik untuk memiliki anak, memperbanyak keturunan, sambil menjaga nasab, nikah juga jalan terbaik untuk menyalurkan kebutuhan biologis tanpa khawatir resiko terkena penyakit, nikah dapat dimanfaatkan untuk membangun keluarga salihah yang menjadi panutan bagi masyarakat, sekaligus memenuhi sifat kebapakan serta keibuan. 4. Problematika pernikahan yang terjadi di Indonesia diantaranya:pernikahan poligami, nikah sirri, nikah beda agama, dan menikahi wanita yang hamil di luar nikah.

F. Tugas Mandiri 1. Apa saja rukun dan syarat menikah berdasarkan hukum Islam dan UU positif

2. Apa dampak buruk dari pernikahan sirri? Jelaskan G. Daftar Pustaka Abdurrahman al-Jaziri, Syeikh, al-Fiqh ‘al Ɨ al-MazƗhib al-Arba’ah, Cairo: DƗr al-BayƗn al-‘Arabi, 2005. al-Kas ƗnƯ, al-Imam ‘Alaiddin Abi Bakr Bin Mas’ud, BadƗi’ al-ShanƗi’ fƯ tartƯb al-SyarƗi’, Beirut : al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t. al-Syarbin Ư, SyamsuddƯn Muhmmad bin Muhammad Al-KhƗthib. MughnƯ al-MuhtƗj, Beirut: D Ɨr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994. Huzaemah T. Yanggo, Prof.DR., Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001. Ibnu Hajar, Al-H Ɨfizh SyihabuddƯn AbƯ al-Fadhl al-‘AsqalƗnƯ, Fath al-BƗrƯ bi syarh al- Bukh Ɨri. Mesir: Syirkah maktabah wa mathba’ah MushthafƗ al-BƗbƯ al-HalabƯ wa aul Ɨduh, 1959.