Pencegah Warisan Dalil Ijtihad Sahabat

298 | Modul Pendidikan Agama Islam ‡ Bagian SEPERENAM menjadi hak dari tujuh macam ahli waris: 1. bapak jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, 2. ibu jika ada anak, atau ada dua saudara atau lebih, 3. kakek jika ada anak laki-laki, dan tidak ada bapak, 4. nenek jika tidak ada ibu, 5. saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu jika seorang diri dan tidak ada anak, bapak, dan kakek, 6. cucu perempuan jika bersama seorang anak perempuan, dan 7. saudara perempuan sebapak jika bersama dengan saudara perempuan kandung.

b. ‘Ashabah Nasabiyah

Yaitu ahli waris yang memiliki hubungan nasab yang tidak mendapat bagian yang tertentu jumlahnya, tetapi mendapatkan sisa ushubah dari ashhabul-furudh atau seluruh harta jika ternyata tidak ada ashhabul-furudh sama sekali. Apabila sudah tidak ada sisa sedikitpun, maka ashabah tidak mendapatkan apa-apa. Ashabah nasabiyah dapat dibedakan atas 3 macam, yaitu ashabah bin-nafsi, ashabah bil-ghair, dan ashabah maal-ghair. 1. Ashabah bin-nafsi adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan pewaris tanpa diselingi oleh orang perempuan. Ashabah jenis ini menerima harta warisan menurut prioritas empat jurusan sebagai berikut: a jurusan anak bunuwwah, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya ke bawah, kemudian b jurusan bapak ubuwwah, yaitu bapak, kakek, dan seterusnya ke atas, kemudian c jurusan saudara ukhuwwah, yaitu saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau keponakan kandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak atau keponakan sebapak, dan seterusnya ke bawah d jurusan paman umumah, yaitu paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki dari paman kandung atau sepupu laki-laki kandung, anak laki- laki dari paman sebapak atau sepupu laki-laki sebapak, dan seterusnya ke bawah. 2. ‘Ashabah bil-ghair, mereka adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain yaitu laki-laki untuk menjadikan mereka ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushubah. Ashabah bil-ghair terdiri dari 4 orang perempuan ashhabul- furudh yang bagian mereka 12 jika seorang diri dan 23 jika lebih dari seorang. Mereka itu adalah anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak. Keempat orang ini menjadi ashabah jika bersama-sama dengan saudara laki-lakinya masing-masing yang sederajat, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, saudara laki-laki kandung, dan saudara laki- laki sebapak. Orang yang menjadikan keempat perempuan ini ashabah bil-ghair disebut muashshib. Setiap pasangan ini, misalnya anak laki-laki dengan anak Materi PAI untuk MIMTsMA | 299 perempuan, mendapatkan sisa harta setelah ashhabul-furudh dengan perbandingan seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. 3. ‘Ashabah maal-ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain juga perempuan untuk menjadikannya ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima ushubah sisa. Muashshib orang yang menjadikan ashabah tetap menerima bagian menurut fardh-nya sendiri. Ashabah maal- ghair hanya terdiri dari dua orang perempuan dari ahli waris ashhabul-furudh, yaitu saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak. Kedua orang ini menjadi ashabah maal-ghair jika bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada saudara lakinya, sebab kalau ada saudara laki-lakinya, mereka menjadi ashabah bil-ghair.

c. Dzawil Arham

‡ Definisi Dzawil Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmunrahim, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti tempat pembentukanmenyimpan janin dalam perut ibu. Kemudian dikembangkan menjadi kerabat, baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Adapun yang dimaksud dengan dzawil arham adalah setiap kerabat pewaris yang tidak termasuk ashhabul furudh dan ‘ashabah, misalnya bibi saudara perempuan ayah atau ibu, paman dari pihak ibu saudara laki-laki ibu, keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya. ‡ Cara Pembagian Waris untuk Dzawil Arham. Diantara ulama fiqh terjadi perbedaan pendapat mengenai cara memberikan hak waris kepada para kerabat: 1. Menurut Ahlur-Rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan. Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dha’if dan tertolak. 2. Menurut Ahlut-Tanzil. Disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok induk ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada yang masih hidup, tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafii. 3. Menurut Ahlul Qarabah. Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi. Menurut Ahlul Qarabah, hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para ‘ashabah, melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada.