Makna Iman Kepada Qadar Taqdir

Materi PAI untuk MIMTsMA | 345 menurunkan obatnya, kecuali obat untuk satu hal: ketuaan.” Diriwayatkan oleh Al- Arba’ah. At-Tirmidzi mengatakan: hasan shahih Pensyarah Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah mengatakan, “Sebagian orang menyangka bahwa tawakal itu menampik usaha, dan bahwa apabila sesuatu telah ditentukan maka tidak ada lagi upaya, Ini salah. Sebab berusaha itu ada yang wajib, ada yang sunnah, ada makruh, dan ada pula yang haram. Rasulullah saw adalah orang terbaik dalam tawakal. Namun beliau mengenakan baju perang dan berjalan dipasar untuk berusaha.” Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ketika ‘Umar Bin Khatab pergi ke Syam, para gubernur menemuinya dan menginformasikan tentang tersebarnya wabah di kota- kota. Maka Umar meminta pendapat kaum Muhajirin, Anshar, dan para sesepuh Quraisy yang termasuk muhajir pada fathu Makah.Maka berkumpulah para muhajir pada fathu Mekah itu untuk kembali dalam rangka untuk menghindari wabah. Dan Umar memerintahkan hal itu. Maka Abu ‘Ubaidah mengatakann,” Akankah engkau lari dari qadar Allah?” ‘Umar menjawab,” Andai bukan engkau yang mengatakanya, hai ‘Ubaidah. Benar, kami lari dari qadar Allah. Jika engkau punya unta, mereka menuruni lembah yang mempunyai dua. ‘Alqamah dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut mengatakan “Seseorang yang terkena musibah, ia mengetahui bahwa halm itu dari Allah. Kemudian ia rela dan pasrah. “ Sedangkan Ibnu’ Abbas mengatakan, Allah memberi petunjuk kepada hati yang yakin. Ia mengetahui “ bahwa apa yang akan menimpanya tidak akan meleset, dan yang tidak akan terjadi tidak akan terjadi tidak akan menimpanya.” Jiwa para sahabat ra telah menjadi tinggi di bawah naungan konsepsi iman ini. Nurani mereka tajam, sehingga dalam pandangan mereka sama saja antara kesenangan dengan penderitaan, antar syukur dan sabar. Umar r.a. berkata, “Seandainya syukur dan sabar adalah dua unta, maka aku tidak akan perduli yang mana akan aku naiki.” Dan Ibnu Muhammad Al-Hariri mengatakan, “Sabar adalah tidak membedakan antara kenikmatan dan penderitaan, yang disertai dengan ketentraman jiwa dalam keduanya. “ Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang mempunyai seratus ribu dinar, apakah dia termasuk orang zuhud. Beliau menjawab, “Ya, dengan syara dia tidak gembira jika uangnya bertambah dan tidak bersedih jika uangnya berkurang.” Sebagian salaf mengatakan, “Orang yang zuhud adalah orang yang todak kalah oleh yang halal untuk bersyukur dan tidak kalah oleh orang yang haram untuk bersabar.” Dikisahkan, “Umar Bin Khatabb r.a mengirim surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari r.a Amma ba’du, “Sesungguhnya segala kebaikan ada dalam keridhaan. Jika engkau bisa, ridhalah. Dan tidak bisa, maka bersabarlah.” Ibnu “Atha mengatakan, “Ridha adalah tentram hatinya menerima pilihan Allah bagi hamba dengan menyakini bahwa itu adalah pilihan terbaik baginya.” Berdasarkan kesepakatan ulama, sabar adalah wajib, dan yang lebih tinggi dari sabarnya adalah ridhanya dengan hukum Allah Ada yang mengatakan bahwa hukumnya adalah musthahab sunnah. Dan para ulama telah ijma’ bahwa hukumnya tidak kurang dari mustahab. Asas ridha adalah iman kepada qadar Allah swt dan menyadari kasih sayang Allah kepada para hambanya. Abdul-Wahid Bin Zaid mengatakan, “ Ridha adalah pintu