Dipresentasikan dalam SEMNAS Matematika dan Pendidikan Matematika 2007 dengan tema “Trend Penelitian Matematika dan Pendidikan Matematika di Era Global” yang
diselenggarakan oleh Jurdik Matematika FMIPA UNY Yogyakarta pada tanggal 24 Nopember 2007
Pembelajaran Open‐Ended Untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kreatif
Oleh Sri
Hastuti Noer FKIP
Universitas Lampung ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai peningkatan kemampuan
berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan open‐ended bila dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional
Disain penelitian ini adalah disain eksperimen yang dinamakan delayed counter balanced design.
Dalam penelitian ini, kelompok eksperimen memperoleh pembelajaran dengan pendekatan open‐ended
dan kelompok kontrol memperoleh pembelajaran secara konvensional.
Untuk mendapatkan data hasil penelitian digunakan instrumen berupa tes kemampuan berpikir
kreatif. Subjek penelitian adalah siswa SMP Negeri 4 Kodya Bandar Lampung Propinsi Lampung dengan
subjek sampel adalah siswa kelas VIII sebanyak dua kelas yang dipilih dengan teknik purposive sampling.
Berdasarkan analisis data, diperoleh bahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan open‐ended lebih tinggi secara signifikan daripada siswa
yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.
Kata Kunci: Open‐ended, Kemampuan Berpikir Kreatif
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan
kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari‐hari dan dalam dunia kerja, serta
memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kebutuhan akan aplikasi matematika saat ini dan masa depan tidak
hanya untuk keperluan sehari‐hari, tetapi terutama dalam dunia kerja, dan
untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan Hudojo, 1998:1. Oleh
sebab itu, matematika sebagai ilmu dasar perlu dikuasai dengan baik oleh
siswa, baik oleh siswa SD, SMP, SMA juga oleh mahasiswa perguruan tinggi.
Penguasaan materi matematika, terutama di SD, SMP, dan SMA selalu
menjadi permasalahan. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya persentase
kelulusan siswa dalam Ujian Nasional UN, yang diselenggarakan baik di
pusat maupun di daerah. Pada umumnya, yang menjadi faktor penyebab
ketidaklulusan siswa dalam UN adalah rendahnya kemampuan siswa dalam
materi pelajaran matematika.
Rendahnya penguasaan materi matematika khususnya pada siswa kelas
VIII, dapat dilihat pula pada rendahnya persentase jawaban benar peserta The
Third International Mathematics and Sciences Study TIMSS. Hasil studi TIMSS
tahun 2003 untuk siswa kelas VIII, menempatkan Indonesia pada urutan ke‐34
dari 46 negara pada penguasaan matematika secara umum. Pada pengetahuan
tentang fakta, prosedur, dan konsep, Indonesia berada pada urutan ke‐33.
Dalam hal penerapan pengetahuan dan pemahaman konsep, Indonesia berada
pada urutan ke‐35. Dalam kemampuan penalaran, Indonesia berada pada
urutan ke‐36. Lima negara yang selalu memperoleh skor terbesar adalah
Singapura, Korea, China‐Taipei, Jepang, dan Hongkong TIMMS, 2003: 36‐37.
Berdasarkan hasil studi di atas, terlihat bahwa peserta kompetisi TIMSS
dari negara kita; tentunya adalah putra‐putra terbaik; masih lemah dalam
menyelesaikan soal‐soal tidak rutin masalah matematis yang membutuhkan
kemampuan penalaran. Untuk dapat menyelesaikan soal‐soal jenis ini
diperlukan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir kreatif.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematik dan kemampuan berpikir kreatif anak‐anak kelas VIII pada
umumnya masih rendah. Oleh karena itu diperlukan upaya‐upaya untuk terus
memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran matematika.
Upaya untuk
memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran matematika
di Indonesia telah lama dilakukan, namun keluhan tentang kesulitan
belajar matematika masih sering terdengar. Kesulitan belajar yang timbul
tersebut tidak semata‐mata bersumber dari diri siswa, tetapi bisa juga
SEMNAS Matematika dan Pend. Matematika 2007
366
bersumber dari luar diri siswa, misalnya cara penyajian pelajaran yang
dilakukan oleh guru.
Menurut Yuwono 2001: 4, ditinjau dari pendekatan mengajarnya, pada
umumnya guru mengajar hanya menyampaikan apa yang ada di buku paket
dan kurang mengakomodasi kemampuan siswanya. Dengan kata lain, guru
tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuan matematika yang akan menjadi milik siswa sendiri. Guru
cenderung memaksakan cara berpikir siswa dengan cara berpikir yang dimiliki
gurunya. Siswa lebih banyak dituntut untuk mengikuti instruksi pada saat
belajar, mengerjakan soal dan sebagainya. Dengan kondisi yang demikian,
kemampuan kreatif siswa kurang berkembang. Demikian juga dalam situasi
keluarga di rumah, siswa mengalami hal yang serupa, sehingga hampir
sebagian besar orang kehilangan kesempatan untuk menjadi kreatif.
Kemampuan berpikir kreatif dapat ditumbuhkembangkan melalui pendidikan.
Melalui pendidikan diharapkan tersedia lingkungan yang memungkinkan
peserta didik mengembangkan bakat dan kemampuannya secara
optimal. Menurut Supriadi 1995: 166 meskipun bukan satu‐satunya penentu
lahirnya orang‐orang kreatif, pendidikan merupakan faktor yang besar sekali
peranannya. Namun ironisnya kemampuan kreatif seseorang seringkali ditekan
oleh kondisi pendidikan yang dialaminya, sehingga ia tidak mampu mengenali
potensi yang dimilikinya apalagi untuk mewujudkan potensi itu. Simonton
dalam Supriadi, 1995: 166 menyatakan bahwa “Great thinkers tends
to have great teacher”. Pernyataan ini mengandung arti bahwa betapa besarnya
peran guru dalam perkembangan kemampuan berpikir kreatif anak didiknya.
Guru mempunyai dampak yang besar tidak hanya pada prestasi pendidikan
tetapi juga pada sikap anak terhadap sekolah dan terhadap belajar pada
umumnya. Guru dapat melumpuhkan rasa ingin tahu siswa, dapat
Pend. Matematika
367
merusak motivasi, dan dapat menghambat kemampuan berpikir kreatif anak.
Guru yang sangat baik atau bahkan yang sangat buruk dapat mempengaruhi
anak lebih kuat dibandingkan orang tua, karena guru memiliki lebih banyak
kesempatan untuk merangsang atau menghambat perkembangan anak. Oleh
karena itu diperlukan kesadaran yang mendalam dari guru untuk selalu
berusaha menyediakan lingkungan yang memungkinkan kemampuan berpikir
kreatif itu muncul, memupuknya, dan merangsang pertumbuhannya.
Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan optimal dari
kemampuan berpikir kreatif berhubungan erat dengan cara mengajar
Munandar, 2002: 13. Dalam suasana yang non‐otoriter, proses belajar akan
berlangsung atas prakarsa sendiri. Hal ini dapat terjadi bila guru memberi
kepercayaan terhadap kemampuan siswa untuk berpikir dan berani
mengemukakan gagasan baru, siswa diberi kesempatan untuk bekerja sesuai
minat dan kebutuhannya. Dalam suasana pembelajaran yang demikian lah,
kemampuan kreatif dapat tumbuh subur.
Untuk itu iklim belajar yang mampu menumbuhkan rasa percaya diri dan
budaya belajar di kalangan masyarakat harus dikembangkan, agar sikap dan
perilaku kreatif, inovatif, dan keinginan untuk maju dapat ditumbuhkan. Hal
ini sejalan dengan pendapat Munandar 1999: 23 bahwa: “kreativitas
hendaknya meresap dalam seluruh kurikulum dan iklim kelas melalui faktor‐
faktor seperti sikap menerima keunikan individu, pertanyaan yang berakhir
terbuka, penjajagan, dan kemungkinan membuat pilihan”
Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan berpikir
kreatif siswa pada umumnya rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian
Hans dan Klaus Urban pada tahun 1987 dalam Munandar: 2002: 92 yang
menggambarkan kreativitas dan karakteristik anak‐anak berbakat. Dari
penelitian itu, ditemukan bahwa tingkat kreativitas anak‐anak Indonesia
berusia 10 tahun dengan jumlah sampel 50 anak di Jakarta adalah yang
SEMNAS Matematika dan Pend. Matematika 2007
368
terendah di antara anak‐anak seusianya dari 8 negara lainnya. Secara berturut‐
turut dari yang tertinggi sampai yang terendah rata‐rata skor tesnya adalah:
Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu, dan
terakhir Indonesia.
Kreativitas pada dasarnya memuat kemampuan yang mencerminkan
kelancaran fluency, keluwesan flexibility, orisinalitas originality, penguraian
elaboration, penilaian evaluation, perumusan kembali redefinition, dan
kepekaan sensitivity dalam berpikir Torrance dalam Rothstein, 1990: 273;
Supriadi, 1994; Munandar, 1992; Guilford dalam Supriadi, 1994: 7; Semiawan:
1987; Carin dan Sund, 1978.
Kreativitas merupakan hasil dari sebuah latihan. Apabila tidak dilatih,
maka kreativitas tidak dapat berkembang atau bahkan bisa menjadi lumpuh.
Seseorang dapat menjadi kreatif dengan melatih diri untuk berpikir kreatif.
Ada empat langkah penting dalam berpikir kreatif menurut DePotter dalam
Pasiak, 1999, yakni: 1 dalam berpikir jangan mudah puas dan jangan
menerima apa adanya, 2 jangan terpaku pada satu cara, 3 pertajam rasa ingin
tahu, 4 perlu pelatihan otak.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh tenaga pendidik adalah
melakukan inovasi dalam pembelajaran. Ausubel dalam Ruseffendi, 1991: 291
juga menyarankan sebaiknya dalam pembelajaran digunakan pendekatan yang
mengunakan metode pemecahan masalah, inquiri, dan metode belajar yang
dapat menumbuhkan berpikir kreatif dan kritis. Dengan adanya inovasi,
terutama dalam perbaikan metode dan cara menyajikan materi pelajaran,
diharapkan kemampuan berpikir kreatif siswa dapat ditingkatkan.
Untuk menumbuhkan suasana kreatif di dalam kelas, guru dapat
melakukan sesuatu kegiatan yang dapat membuat siswa menjadi aktif. Siswa
yang tadinya dituntut mengerjakan tugas yang sangat berstruktur, tugas yang
Pend. Matematika
369
hanya memiliki satu jawaban benar, dan tugas yang membutuhkan pemikiran
yang reproduktif, dapat diminta untuk melakukan proses pemikiran divergen
dan imajinatif. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengajukan pertanyaan
terbuka yang dapat menimbulkan minat dan rasa ingin tahu dalam diri siswa.
Munandar 2002: 291 mengatakan bahwa berpikir divergen dapat
dirangsang dengan mengajukan pertanyaan yang mendorong ungkapan
pikiran dan perasaan yang bersifat terbuka open‐ended thought and feelings.
Dengan mengajukan pertanyaan pemanasan seperti itu, maka siswa menjadi
terbuka dan siap untuk teknik‐teknik kreatif. Untuk membuat siswa
memperluas pemikirannya dan berperan serta dalam kegiatan yang lebih
majemuk dan menantang, maka siswa perlu dilibatkan dalam tantangan dan
masalah nyata khususnya pada pemecahan masalah secara kreatif.
Untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif, Pehkonen 1992 dan
Singh 1990 mengemukakan bahwa siswa dapat diberikan soal cerita open‐
ended yaitu soal yang menghasilkan banyak jawaban benar. Soal‐soal cerita
seperti ini mengizinkan siswa untuk memperlihatkan proses berpikir divergen
atau berpikir kreatif.
Sebuah aliran dalam pembelajaran yaitu aliran konstruktivisme,
memandang bahwa pengetahuan itu dibangun secara aktif oleh individu
Suparno, 1997:29, dan lebih menekankan pada pembelajaran yang berpusat
pada siswa Sujadi, 2000:100. Tujuan pembelajaran berdasarkan pandangan ini
adalah membangun pemahaman, sehingga belajar dalam pandangan ini tidak
ditekankan untuk memperoleh pengetahuan yang banyak, tetapi yang utama
adalah memberikan interpretasi melalui skemata yang dimiliki siswa Hudojo,
1998:6. Salah satu pendekatan pembelajaran yang merupakan bagian dari
pembelajaran konstruktivisme adalah pendekatan open‐ended. Katsuro 2000
mengatakan bahwa terdapat kesamaan antara pendekatan open‐ended dan
SEMNAS Matematika dan Pend. Matematika 2007
370
konstruktivisme. Konstruktivisme memiliki prinsip dasar yaitu, pengetahuan
dikonstruksi oleh subyek sendiri. Demikian juga dalam pendekatan open‐ended.
Dalam pembelajarannya disajikan suatu permasalahan yang memiliki beragam
penyelesaian atau metode penyelesaiannya.
Dengan keberagaman penyelesaian atau metode penyelesaian tersebut
di atas, maka pendekatan open‐ended memberikan keleluasaan bagi siswa untuk
mengemukakan jawaban. Melalui presentasi dan diskusi tentang beberapa
penyelesaian alternatif, pendekatan ini membuat siswa menyadari adanya
metode ‐metode penyelesaian yang beragam. Pada akhirnya kapasitas
matematika siswa untuk menyelesaikan masalah matematik yang lebih
fleksibel dapat meningkat. Hal ini dapat membantu siswa melakukan
pemecahan masalah secara kreatif dan membuat siswa lebih menghargai
keragaman berpikir selama proses pemecahan masalah.
Dari uraian tentang karakteristik pembelajaran open‐ended terlihat bahwa
pembelajaran open‐ended dapat memupuk kemampuan berpikir kreatif siswa,
karena pendekatan ini tidak mengharuskan siswa menghapal fakta‐fakta, tetapi
mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan di dalam pikiran mereka
sendiri. Pada pendekatan ini, siswa dibiasakan memecahkan masalah,
menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide‐ide.
Hal ini merupakan salah satu syarat yang dibutuhkan untuk pengembangan
kemampuan berpikir kreatif siswa.
Kondisi secara umum tentang kemampuan berpikir kreatif yang masih
rendah, terjadi juga pada siswa‐siswa SMP N 4 Bandar Lampung. Sebagian
besar siswa cenderung menghafal tanpa makna. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk melakukan studi eksperimen menggunakan pendekatan open‐
ended untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik dan
kemampuan berpikir kreatif siswa.
Pend. Matematika
371
1.2 Rumusan Masalah