1.67 Buku Pedoman Aunergi Industri 2015

365 8 8 . . 4 4 . . 4 4 . . F F a a k k t t o o r r - - f f a a k k t t o o r r L L a a i i n n Selain faktor pembebananan, perlu dianalisis pula faktor yang mempengaruhi kinerja chiller, yaitu: - Kerusakan. Ini dapat diketahui dari pengamatan langsung seperti adanya kebocoran arus, panas, bising atau vibrasi yang tidak normal. Adapun dari pengukuran data kelistrikan seperti faktor daya yang rendah atau fluktuasi daya chiller yang cepat. Panas dan faktor daya yang rendah dapat menjadi gejala awal kerusakan yang sifatnya menghambat putaran motor seperti keausan, terjadinya sumbatan aliran dan friksi lainnya. Sedangkan kebocoran arus, vibrasi, dan bising yang tidak wajar merupakan gejala lebih lanjut terjadinya kerusakan. Adapun fluktuasi daya chiller yang cepat menandakan terjadi kerusakan gulungan motor; - Modifikasi. Ini dapat meningkatkan atau menurunkan kinerja atau penghematan suatu peralatan. Modifikasi yang positif dapat berupa peningkatan spesifikasi komponen peralatan atau pemanfaatan energi yang terbuang. Sebagai contoh penggunaan VSD dan heat recovery pada chiller. Sedangkan modifikasi yang negatif dapat berupa penggantian komponen dengan spesifikasi yang lebih rendah atau tidak sesuai. Sebagai contoh penggantian jenis refrigeran. Secara umum, persentasi peningkatan kinerja suatu peralatan yang telah dimodifikasi sebesar: Peningkatan kinerja = kWTR awal − kWTR modifikasi kWTR awal × 1 Atau: Peningkatan kinerja = COP modifikasi − COP awal COP modifikasi × 1 - Pengaturan temperatur. Umumnya pengaturan temperatur yang direkomendasikan pabrikan merupakan pengaturan optimal kinerja chiller. Sehingga kenaikanpenurunan temperatur ini menyebabkan penurunan kinerja chiller. Besar penurunan kinerja ini bervariasi pada tiap chiller dan terkadang dapat dilihat pada buku manual chiller. Adapun bila tidak ada, maka dapat diketahui dari pengukuran pada dua kondisi pengaturan yang berbeda. Pada Gambar 8-23 tampak conntoh hasil pengukuran pada beberapa chiller. Desain chiller ini diatur temperatur masuk Entering Water Temperature = EWT dan keluar Leaving Water Temperature = LWT chiller sebesar 12,2 o C dan 6,7 o C. Berdasarkan buku manual chiller temperatur air keluar chiller harus di antara 4,5 - 12 o C. Sedangkan selisih temperatur masuk dan keluar chiller antara 3,3 - 8 o C. Namun dari hasil pengukuran temperatur air keluar chiller di antara 12,9-17,3 o C. Sedangkan selisih temperatur masuk dan keluar chiller rata-rata di bawah 2 o C. 366 Gambar 8-23 Grafik hasil pengukuran EWT dan LWT chiller - Kekurangankelebihan refrigeran. Jumlah refrigeran mempengaruhi langsung tekanan kerja dan daya chiller. Sedangkan tekanan kerja berpengaruh pada kapasitas chiller. Jumlah refrigeran yang kurang membuat tekanan kerja dan kapasitas chiller menurun. Penurunan kapasitas ini umumnya lebih besar dari penurunan daya chiller sehingga kinerja chiller menurun. Sedangkan jumlah refrigeran yang berlebih membuat tekanan kerja meningkat dan kapasitas cenderung naik pula pada tahap awal. Namun kenaikan kapasitas ini belum tentu lebih besar dari kenaikan daya chiller sehingga kinerja turun pula. Kenaikan tekanan kerja memberikan pula efek mempercepat kerusakan dan umur chiller. Informasi temperatur dan tekanan kerja beberapa jenis refrigeran yang umum digunakan dapat dilihat pada Tabel 8-5. 5 7 9 11 13 15 17 19 21 I-B II-A II-B III-A III-B IV V deg C Chiller EWT pagi LWT pagi EWT siang LWT siang 12.2

6.7 4.5 = LWT = 12

3.3 = dT = 8

367 Tabel 8-5 Temperatur dan tekanan kerja refrigeran. Sumber : http:www.advantageengineering.comfyi289advantageFYI289.php