Partai Politik dan Demokrasi
15
Sejak tumbuh paham dan praktik demokrasi perwakilan representative democracy
atau demokrasi tidak langsung indirect democracy dalam penyelenggaraan negara representative government, kehadiran partai politik
merupakan suatu kemestian: The life of democratic state is built upon the party system .
1
Harus diakui, dalam perkembangan lebih jauh, penyelenggaraan negara dengan sistem perwakilan tidak hanya diwakili melalui partai politik, tetapi dikenal
juga perwakilan golongan organisasi non partai politik, seperti perwakilan kaum pekerja, kaum petani, daerah model MPR RI sebelum perubahan UUD 1945.
2
Bahkan, dikenal juga perwakilan etnis tertentu etnis minoritas, seperti pernah diatur dalam UUDS 1950.
3
Demokrasi, bukan saja bermakna partisipasi publik, tetapi merupakan tatanan yang timbul dari dan untuk menjamin keberagaman atau kebhinekaan, seperti
keragaman ideologi, keragaman budaya, keragaman sosial, ekonomi atau agama. Sistem partai tunggal tidak memberi tempat pada keragaman. Sistem partai tunggal
bertentangan dengan demokrasi. Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ada gagasan untuk mendirikan partai tunggal. Namun, gagasan itu
ditentang. Bahkan kemudian keluar Maklumat Pemerintah bulan November 1945 yang menganjurkan pendirian partai-partai politik.
Dalam kenyataan, tidak selalu partai politik merupakan cerminan demokrasi, seperti sistem partai tunggal atau partai dominan, dalam sistem otoriter yang
menjalankan sistem politik monolitik. Sigmund Neumann mengatakan:
Such an initial description, to be sure, indicates that the very definition of party supposes a democratic climate and hence makes it a misnomer in every dictatorship.
A one party system le parti unique is a contradiction in itself. Only the co-existence of at least one other competitive group makes a political party real. Still the fact
remains that the term has been widely used by modern autocrats and for a very obvious reason: to keep the semblance of a people rule in their post-dictatorship.
1
Harold J. Laski, Grammar of Politics, Yale University Press, 1925, hlm 295.
2
Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.
3
Pasal 58 ayat 1 UUDS 1950 berbunyi: “Golongan-golongan kecil Tionghoa, Eropa, dan Arab akan mempunyai perwakilan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan berturut-turut sekurang-
kurangnya 9, 6, dan 3 anggota”.
16
But it is also true that even the totalitarian party depends upon a functioning opposition. If one does not exist, it must still be assumed by the dictators, since under
monolithic rule the dictatorial must constantly justify the existence in view of the ever present threat of counter revolution, hidden or imaginary through its
organization may be. The opposition party is the raison d etre of dictatorial movement and its all pervasive controls through institutions, propaganda, and
terror .
4
Meminjam istilah faction dari Madison, dapatlah dikatakan, kehadiran partai-partai politik dalam sistem demokrasi merupakan konsekuensi, bahkan
bawaan nature pengakuan dan jaminan partisipasi golongan-golongan faction yang hidup dalam masyarakat. Walaupun sebagai konsekuensi dari pengakuan dan
jaminan golongan-golongan masyarakat, dihadapi pula persoalan apabila terlalu banyak partai atau lebih dari dua partai multy party system. Mengapa?
Salah satu ajaran yang telah diketahui umum menyatakan: sistem multi partai partai banyak memang lebih mencerminkan demokrasi atau sekurang-kurangnya
lebih demokratik . Sistem ini memberikan peluang pada setiap kelompok atau golongan, bahkan perorangan mengaktualisasikan partisipasi dalam politik dan
penyelenggaraan pemerintahan. Benarkah itu? Belum tentu. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut.
Paling tidak terdapat tiga aspek yang akan menjadikan sistem partai banyak tidak benar-benar efektif sebagai sarana atau proses demokrasi.
Pertama; dari sudut rakyat. Sistem partai banyak dapat menimbulkan kesulitan bagi rakyat untuk menentukan pilihan. Kesulitan makin bertambah karena partai yang
4
Harry Eckstein and David E. Apter ed, Comparative Politics: A Reader, New York, Free Press, 1968, hlm 351.
“Deskripsi gambaran di atas sesungguhnya menunjukkan pengertian definisi partai politik dalam suasana demokrasi, dan karena itu definisi tersebut tidak cocok tidak dapat dipergunakan
dalam sistem kediktatoran. Sistem partai tunggal menyiratkan suatu kontradiksi dalam dirinya sendiri kontradiksi dengan makna atau pengertian partai politik. Hanya apabila ada koeksistensi
dengan sekurang-kurangnya satu kelompok kompetitif lain yang akan menunjukkan partai politik itu benar-benar ada. Meskipun demikian, sebutan partai politik tetap dipergunakan secara luas oleh
penguasa otokrasi, dengan suatu alasan dasar: untuk menunjukkan keterkaitan dengan “pemerintahan rakyat” pada masa setelah pemerintahan kediktatoran. Tetapi juga benar, bahwa
sistem kepartaian totaliter tergantung pada berfungsinya oposisi. Jika tidak ada, para diktator akan mengasumsikan oposisi itu ada, karena dalam pemerintahan monolitik, partai-partai yang bersifat
kediktatoran harus senantiasa menemukan pembenaran bahwa kontra-revolusi selalu ada, baik yang tersembunyi maupun sekedar khayalan belaka. Partai oposisi menjadi “raison d’etre” gerakan
kediktatoran dan sistem pengawasan tanpa batas melalui berbagai badan, propaganda, dan teror”.
17
banyak itu tidak memiliki garis politik yang jelas, baik ideologi maupun program yang akan dijalankan, kecuali sekedar berusaha duduk dalam badan perwakilan atau
pemerintahan. Orientasi partai hanya terbatas melihat politik sebagai suatu bentuk dan proses kekuasaan, dalam arti memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Kedua; dari sudut partai. Sistem partai banyak menimbulkan persaingan yang semakin kencang antar partai. Dalam demokrasi
sepanjang persaingan dilakukan atas dasar etika berdemokrasi yang mewadahi exchange of ideas
memang merupakan suatu kemestian. Tetapi ketika persaingan sekedar mengumpulkan suara,
akan muncul pasar jual beli suara the money can buy, sekedar memunculkan penampilan tanpa isi seperti
kegarangan mengkritik atau berargumentasi , memunculkan orang-orang semata-mata karena dikenal publik seperti di panggung-
panggung infotainment atau entertainment. Di pihak lain, bagi mereka yang diajak, merupakan panggung publikasi dan peluang. Tentu saja, ada diantara mereka yang
datang karena panggilan hati dan oleh karenanya mengisi diri untuk memenuhi segala syarat dan bertanggung jawab kepada publik.
Ketiga; dari aspek negara. Dalam hubungan dengan negara, sistem partai banyak bertalian dengan pengambilan keputusan di badan perwakilan rakyat, seperti
parlemen, dan sistem pemerintahan, yaitu sistem parlementer, presidensil atau sistem campuran dual system atau hybrid system. Sistem partai banyak umumnya
menyebabkan pembahasan memakan waktu lama tidak efisien, keputusan adalah hasil kompromi, bahkan hasil dagang sapi koehandel. Badan perwakilan menjadi
badan yang tidak efektif mewakili kepentingan rakyat banyak. Dari segi sistem pemerintahan, sistem partai banyak lazim dipertalikan dengan
sistem pemerintahan parlementer dimana eksistensi dan keberlangsungan pemerintah atau kabinet tergantung pada kepercayaan dan dukungan mayoritas
anggota parlemen. Pengalaman Perancis antara tahun 1946-1958 sebelum UUD 1958 yang berlaku hingga sekarang dengan segala perubahannya dan Indonesia
antara tahun 1950-1959 sebelum kembali ke UUD 1945, sistem partai banyak menimbulkan
instabilitas pemerintahan.
Pembentukan kabinet
maupun penyelenggaraan program dilakukan dalam suasana serba dagang sapi .
Perlu dicatat, suasana yang agak unik pengalaman parlementer Indonesia 1950-1959. Pertama; kejatuhan kabinet kabinet mengembalikan mandat tidak
18
semata-mata karena mosi tidak percaya dari Parlemen. Dalam beberapa peristiwa, Kabinet mengembalikan mandat karena ada perbedaan pandangan yang tajam
dengan Kepala Negara. Menurut tatanan konstitusional yang berlaku, Presiden yang hanya sebagai Kepala Negara semestinya tidak mencampuri jalannya pemerintahan.
Tidak demikian yang terjadi. Mengapa? Presiden yang secara konstitusional hanya sebagai Kepala Negara adalah juga pemimpin bangsa yang bertanggung jawab atas
seluruh peri kehidupan bangsa, sehingga merasa berkewajiban turut serta dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan. Campur tangan Presiden tidak hanya
terbatas pada jalannya pemerintahan, melainkan termasuk pembentukan kabinet yang mendapat dukungan mayoritas partai di DPR. Salah satu pengalaman campur
tangan tersebut adalah yang popular dikenal dengan gagasan Kabinet Kaki Empat . Kedua; acapkali juga terjadi, Kabinet mengundurkan diri karena tekanan ekstra
parlementer daripada mosi tidak percaya dari DPR. Namun perlu dicatat, sekalipun dalam sistem parlementer, sistem partai
banyak tidak serta merta identik dengan instabilitas pemerintahan. Di beberapa negara, seperti Kerajaan Belanda, sistem parlementer yang disertai sistem partai
banyak dan kabinet senantiasa dibentuk atas dasar koalisi partai-partai, namun pemerintahan senantiasa stabil. Mengapa? Pertama; tidak ada perbedaan yang tajam
antar partai politik, antara lain, karena biasanya tidak ada perbedaan yang bersifat ideologi antar anggota koalisi. Perbedaan hanya terbatas pada kebijakan, program,
dan cara-cara mewujudkan program. Kedua; kearifan berdemokrasi cq berpolitik, baik di lembaga-lembaga politik seperti partai politik, kematangan masyarakat, dan
kematangan pelaku politik. Perbedaan dimaksudkan untuk menemukan yang lebih baik, bukan untuk hegemoni kekuasaan. Ketiga; rakyat secara umum telah sejahtera,
sehingga tidak mudah dipergunakan sebagai alat politik, seperti mobilisasi politik. Kesejateraan merupakan faktor penting mewujudkan homogenitas sosial yang akan
saling menjaga dan harmoni. Keempat; partai-partai politik senantiasa meyakini krisis yang terjadi akan dibayar mahal, baik secara politik, sosial dan ekonomi.
MacIver menyatakan: Without the spirit of nationalism, or at least without the recognition of the unity of people, it is hard to lay a sure foundation of democracy.
19
Democracy did develop in areas where progressive culture and economic advantage went together .
5
Secara doktriner, dalam sistem pemerintahan presidensil, kehadiran sistem partai banyak tidak berpengaruh pada stabilitas pemerintahan karena tidak
mengenal hubungan pertanggungjawaban antara pemerintah dan parlemen yang diduduki anggota dari partai politik. Persoalan tidak pada stabilitas, melainkan pada
efektifitas pemerintahan. Beberapa waktu yang lalu, media memuat keterangan: Dalam praktik Presiden tidak mudah mendapat dukungan DPR dan hal ini yang
berpengaruh pada efektifitas pemerintahan . Ada dua sumber hambatan dalam hal ini.
Pertama; penyakit bawaan sistem pemisahan kekuasaan separation of powers. Harold J. Laski melukiskan hal ini dengan menyatakan:
American President is at odds with Congress and that even happen when his own party is in power .
6
Pernyataan ini disandingkan dengan sistem yang tidak menjalankan pemisahan kekuasaan,
melainkan pembagian kekuasaan division of powers, bahkan diffusion of powers seperti Inggris cq sistem pemerintahan parlementer: It measures an essential co-
ordination of effective government .
7
Kedua; praktik yang sedang berjalan di Indonesia yang meliputi: 1 Sistem partai banyak yang tidak memiliki coherent policy , bahkan tidak
memiliki program yang definitif, selain sekedar mempunyai wakil yang duduk dalam pemerintahan.
2 Sistem pemilihan proporsional sekalipun dengan modifikasi
menyebabkan beberapa hal, antara lain:
a. Sebaran suara pemilih yang mengakibatkan tidak ada mayoritas mutlak. b. Tidak ada hubungan antara pemilih dan wakil.
c. Meskipun dalam sistem presidensil, tetapi Presiden akan selalu menghadapi aneka ragam sikap di DPR tidak mayoritas.
5
MacIver, The Web of Government, MacMillan Company, 1947, hlm 176, 189. Tanpa semangat nasionalisme atau sekurang-kurangnya tanpa pengakuan terhadap persatuan
rakyat, sangatlah sulit meletakkan dasar demokrasi yang benar. Demokrasi berkembang dalam wilayah-wilayah dimana budaya progresif dan kemajuan ekonomi berjalan secara bersama-sama.
6
Harold J. Laski, op., cit, hlm 299.
7
Ibid.
20
Mengapa negara modern membutuhkan partai politik? Partai politik sebagai instrumen atau alat mewujudkan demokrasi
seperti ditulis Laski seharusnya
menjalankan peran: Pertama;
parties arrange the issues selection the problems as more urgent and to present solutions of them which may be acceptable to the citizen body .
8
Peran ini menurut Laski, sebagaimana disampaikan oleh Lowell sebagai the broker of ideas .
Kedua; organizes persons to advocate its own view of their meaning .
9
Dapat pula ditambahkan peran sebagai urutan selanjutnya yang diutarakan oleh David E. Apter:
10
Ketiga; offer political choices provide a peaceful selection of alternative government offer differences in view any policy priorities .
11
Selain tiga peran di atas, terdapat fungsi lain partai politk: Keempat; memilih calon-calon yang akan dipilih atau didudukkan sebagai
penyelenggara negara dan pemerintahan calon anggota DPR, DPRD, Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Bupati Walikota.
Kelima; trachtenn het overheidsbeleid te beinvloeden door kandidaten voor formeel vertegenwoordigende lichamen te stellen .
12
Peran partai politik dalam penyelenggaraan negara seperti disebutkan di atas, tidak berjalan sepihak. Di sisi lain, peran itu ditentukan oleh sistem politik
whose rise and fall is depended in large measure upon the nature of the political system .
13
Partai dalam sistem politik demokrasi akan berbeda dengan partai dalam sistem otoriter. Pertanyaannya, mungkinkah partai politik menjadi instrumen demokrasi
dan menjalankan peran di atas, apabila partai politik itu sendiri tidak demokratis? Dalam kasus Indonesia, ukuran ini ditentukan oleh kenyataan partai politik dan
sistem politik yang sedang berjalan atau dijalankan.
8
Partai-partai menata isu-isu, memilih persoalan-persoalan yang lebih mendasar dan menyampaikan pemecahan yang dapat diterima oleh warga. Bahkan dalam ungkapan Lowell
disebut sebagai perantara atau agen berbagai ide.
9
Mengajak orang-orang untuk mendukung pandangan sesuai dengan kehendak partai yang bersangkutan.
10
Harry Eckstein dan David E. Apter, op., cit , hlm 327.
11
Menawarkan alternatif-alternatif politik, menyediakan seleksi alternatif pemerintahan secara damai, menawarkan pandangan-pandangan dan prioritas kebijakan yang berbeda.
12
Berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui calon wakil di badan perwakilan rakyat. Rosenthal, et., al, Openbaar Bestuur, Tjeen Willink, Alphen, Netherlands, 1977, hlm 212.
13
Harry Eckstein dan David E. Apter, loc., cit.
21