Kasus Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar.
395 memegang simpul-simpul kekuasaan. Sementara yang muda diproses melalui
berbagai instrumen untuk dipersiapkan sebagai pengganti yang tua. Oleh karena itu, kaderisasi partai berjalan bukan untuk membuka kran demokrasi dan
meningkatkan kualitas elit partai dalam upaya untuk mempersiapkan mereka sebagai kader politik , tetapi mereproduksi oligarki baru sebagai penopang partai
di kemudian hari, sebagai upaya preventif bila oligarki tua sudah tidak lagi dapat diharapkan.
Untuk saat ini ada dua oligark yang saling berhadapan, yakni kubu oligark yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie di satu sayap dan kubu Oligark yang dipimpin
oleh kubu Jusuf Kalla di pihak lain. Meskipun ada kubu lain, seperti Akbar Tanjung, namun kekuasaan nya makin lama makin melemah dan tergerus. Hal ini terjadi
karena skala pragmatisme yang dikembangkan oleh kubu Akbar yang terlalu dominan sementara sumber harta sebagai basis utama penguasaan infrastruktur
partai tidak terlalu kuat. Di kubu Akbar saat ini, tidak ada pengusaha ultra kaya yang menjadi penopang kekuasaan nya, padahal apabila di topang oleh basis
ekonomi yang kuat, dengan pengalaman organisasi dan kemampuan manajerial yang baik, Akbar dapat menguasai infrastruktur partai secara signifikan.
Oligark yang awet dan terus bertahan adalah oligark yang menguasai asset ekonomi dan mereka yang penulis sebut sebagai individu ultra kaya di atas.
Representasi yang paling kuat dari kedua hal tersebut adalah Bakrie dan Kalla, sebagai pengusaha dengan asset yang dapat diperhitungkan. Keduanya memimpin
kekuatan yang berimbang dari komposisi harta, meskipun besar-kecilnya harta mereka tidak ada yang tau persis. Namun yang tampak ke publik, keduanya
mewakili oligarki tua yang amat kaya, dan tentu saja memiliki basis penguasaan infrastruktur partai mumpuni.
Kongres Partai Golkar di Bali pada tanggal 30 November sampai 2 Desember 2014 yang menyebabkan terpilihnya Bakrie secara aklamasi telah di
dahului oleh perseteruan panjang di antara kubu-kubu oligarki yang corak kekuatannya beragam. Semua orang menduga hanya beberapa kekuatan yang akan
tampil dan saling berhadapan, namun secara faktual pertengkaran diperburuk oleh bangkitnya aliansi oligarki muda yang semula tidak berani menghadapi
tekanan oligarki tua. Tampilnya Priyo Budi Santoso, Zainuddin Amali, Airlangga Hartarto, Agus Gumiwang, Agun Gunanjar, dan Gusti Iskandar dalam Kongres
tandingan di Ancol, Jakarta, pada tanggal 6-8 Desember 2014 telah memperlihatkan asumsi sebelumnya, bahwa Kalla terlibat di dalam perseteruan
Golkar, meskipun melalui tangan orang lain. Meskipun Agung Laksono, ketua terpilih dalam munas Ancol adalah salah satu oligarki tua, namun dia ditopang
penuh oleh aliansi oligarki muda yang sudah lama berkuasa di partai Golkar dan beberapa oligarki tua yang tidak sejalan dengan aliansi yang dibangun oleh Bakrie.
Terbelahnya Golkar menjadi dua kubu telah melahirkan kegamangan politik bagi sebagian kader. Diperburuk lagi dengan keputusan Menteri Hukum
dan HAM yang melegitimasi Kongres Ancol sebagai Kongres yang sah. Publik
396 menduga, keputusan tersebut muncul karena intervensi langsung dari Kalla yang
menjabat sebagai Wakil Presiden. Mengingat kubu Bakrie adalah kubu oposisi terhadap pemerintahan terpilih Jokowi-Kalla, maka sangat beralasan, Kalla
dituding terlibat di dalamnya.
Pertanyaannya, adakah proses demokratisasi dalam pemilihan ketua umum partai Golkar?. Secara sepintas, bahwa demokrasi dibangun di atas puing-puing
demoralisasi politik. betapa tidak, kekuasaan sepenuhnya dikendalikan oleh oligarki rakus yang saling menerkam di antara mereka. Pada Munas gabungan
yang berlangsung di Bali pada tanggal 15-17 Mei 2016 terlihat dengan jelas bagaimana perseteruan oligarki muncul dalam skema kampanye kandidat calon
ketua umum yang akan maju. Mereka adalah Ade Komarudin, Setya Novanto, Airlangga Hartarto,Mahyudin, Priyo Budi Santoso, Aziz Syamsudin, Indra Bambang
Utoyo, Syahrul Yasin Limpo.
Skenario demokrasi internal partai tidak dapat berjalan mulus, dan tentu saja publik sudah menduga sebelumnya, bahwa posisi Novanto sangat kuat, karena
ia dekan dengan ketua umum, Bakrie. Relasi kuasa dan kedekatan keduanya dalam waktu lama tidak dapat dipungkiri. Posisi Novanto pasca Pemilu 2014 sebagai
ketua DPR sebelum mengundurkan diri dan kembali lagi menjadi ketua Fraksi adalah karena jalinan persahabatan, politik dan bisnis keduanya yang saling
menopang satu sama lain.
Dalam konteks sejarah, rumit memaknai demokratisasi di partai Golkar dan penulis mengambil posisi untuk mengatakan bahwa demokrasi dikendarai
sepenuhnya oleh kekuatan oligarki. Pasca Orde Baru, naiknya Akbar Tanjung sebagai ketua umum tidak terlepas dari posisi politiknya, begitu juga juga
terpilihnya Jusuf Kalla, disebabkan karena kekuasaan Wakil Presiden serta bisnis raksasa yang ia miliki. Tentu saja faktor lama nya seseorang di partai dan di kader
tidak dapat pula dinafikan, tetapi itu semua itu hanyalah faktor pendukung dari faktor utama, yakni kepemilikan uang dan kekuasaan.
Karena uang dan kekuasaan yang dimilikinya pula maka dalam Munas Riau, pada Oktober 2009, Bakrie terpilih sebagai ketua umum menggantikan Jusuf Kalla.
Tentu saja keterpilihan-nya tersebut disebabkan oleh kekuatan uang yang dimiliki, di samping jaringan persahabatan dan lama-nya waktu ia menjadi kader partai.
Tidak dapat dipungkiri, kepemimpinan Bakri berjalan penuh dinamika dan
interupsi dari dalam, tetapi ia dapat mengendalikan dinamika politik tersebut hingga akhir kekuasaan periode.
Dinamika politik dan demokrasi di dalam partai sangat ditentukan oleh kekuatan uang dang kekuasaan. Karena hanya mereka yang mampu mengatur dan
membiayai ongkos akomodasi dan belanja untuk kepentingan politik. Pada akhirnya terlihat dengan jelas, siapa yang akan selalu berkuasa di partai, akan
ditentukan oleh kepemilikan capital dan kekuasaan.
397