IDENTIFIKASI CELAH SELEKSI KANDIDAT

785 and the interests most likely to be heard. Candidate recruitment then represents one of the key linkages between the electorate and the policy- making process. 932 Model eksklusif ini jelas sangat membatasi untuk setiap anggota partai atau bahkan publik untuk mengakses ruang tersebut. Seleksi kandidat hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki sokongan dana besar dan linkage dengan pembuatan kebijakan publik. Individu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi kandidat, telah gugur sebelum bertanding dikarenakan syarat yang tidak dapat dipenuhi. Kedua, terkait agensi yang berwenang menyeleksi calon kandidat. Rahat dan Hazan juga membagi hal ini dengan dua model dengan rentang dua titik ekstrim juga, yaitu inklusif dan eksklusif. Celah terletak di titik ekstrim model eksklusif. Dalam model ini, penyeleksi adalah elit dan atau pimpinan partai. Anggota partai bahkan publik tidak diberi ruang untuk turut mengakses proses penyeleksian kandidat. Wewenang penuh terletak pada elit dan atau pimpinan partai. Hal tersebut akan sangat berpotensi dengan tindakan transaksional. Ini dikarenakan agensi penyeleksi kandidat terpusat di elit dan atau pimpinan partai. Sehingga urusan seleksi kandidat hanya urusan bakal calon kandidat dengan elit- pimpinan partai. Ketiga, terkait dimana kandidat di seleksi. Rahat dan Hazan melihatnya dalam derajat desentralisasi, dimana terdapat dua titik ekstrim yaitu sentralistik dan desentralistik. Celah terletak di titik sentralistik yang dalam proses seleksi kandidat dari awal hingga penentuan kandidat semua terletak di pusat. Lokal tidak diberi ruang untuk mementukan kandidatnya. Padahal lokal lebih mengetahui keadaan dan kebutuhan daerah. Sehingga kandidat terpilih sering tidak merepresentikan aspirasi lokal. Hal ini berpotensi kandidat terpilih tidak mendapat legitimasi dari grassroot. Keempat, terkait bagaimana kandidat ditentukan. Rahat dan Hazan menyebut dua model yaitu pemilihan dan penunjukan. Celah terletak pada model penunjukan yang akan berpotensi menihilkan semua proses seleksi kandidat. Dukungan dan apirasi di lebel grassroot tidak mendapatkan ruang karena semua proses menjadi tidak berarti. Kandidat yang terpilih dari model penunjukan akan minim legitimasi dan berpotensi menimbulkan konflik internal partai. Model ini juga rawan tindakan transaksional karena urusan seleksi kandidat menjadi kewenangan penuh dari elit dan atau pimpinan partai.

F. PRINSIP SELEKSI KANDIDAT IDEAL

Berbagai celah yang muncul dalam proses seleksi kandidat menunjukan belum idealnya proses seleksi kandidat tersebut. Seleksi kandidat yang ideal adalah seleksi kandidat yang menggunakan prinsip-prinsip demokrasi dalam 932 Crotty dalam William Cross, Democratic Norms And Party Candidate Selection: Taking Contextual Factors Into Account, Jurnal Party Politics Vol 14. No.5 Pp. 596 –619, London: Sage Publications, 2008 786 seluruh proses yang dilakukan, dari awal hingga kandidat ditentukan. Perumusan prinsip seleksi kandidat yang ideal ini sebagai landasan setiap partai politik dalam menyelenggarakan seleksi kandidat untuk pengisian jabatan publik di daerah atau pun pusat, legislatif atau pun eksekutif. Berangkat dari refleksi teoritis dan praktik di lapangan, maka prinsip seleksi kandidat yang ideal dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Prinsip Kebebasan dan Kesetaraan Hak Setiap warga negara yang memenuhi syarat sesuai yang ditetapkan negara, berhak untuk memilih dan dipilih. Dasar itulah yang kemudian digunakan untuk mendorong proses seleksi kandidat lebih inklusif. Kesempatan yang sama untuk mengisi jabatan publik harus di dorong agar kandidat yang muncul benar-benar individu yang mempunya kapasitas dan kredibilitas. Kebebasan dan kesetaraan hak tersebut haruslah dijamin dengan regulasi yang jelas dan tegas. 2. Prinsip Desentralisasi Kewenangan di dalam tubuh partai haruslah didistribusikan ke seluruh struktur partai sesuai tugas pokok dan fungsinya. Hal ini penting untuk menjamin aturan yang jelas di internal, kewenangan sesuai struktur organisasi, aturan pengambilan keputusan, dan transparansi di semua level. Kewenangan juga harus di distribusikan ke strukutr partai di daerah. Hal tersebut dilakukan agar struktur partai di daerah memiliki wewenang untuk mengambil keputusan sesuai kebutuhan dan kondisi di daerahnya. Anggota partai juga harus memiliki peran formal dalam pengambilan keputusan partai dalam proses seleksi kandidat. Jika kewewangan tersebut dapat disebarkan secara proporsional, maka fungsi check and balances atas proses seleksi kandidat dapat dijalankan. 3. Prinsip Transparan dan Akuntabel Proses seleksi kandidat haruslah transparan dan akuntabel agar semua elemen partai dan publik tahu proses apa yang sedang berjalan. Dengan seperti itu, kandidat yang terpilih mempunyai legitimasi yang kuat dari semua elemen partai dan publik. Selain itu, potensi konflik dapat diredam karena semua pihak dapat mengetahui proses seleksi kandidat yang berjalan. Prinsip transparan dan akuntabel juga menjadi penting, untuk meminimalisir praktik transaksional yang sebelum berpotensi terjadi. 4. Prinsip Kompetisi yang Adil dan Damai Prinsip adil dalam pengertian ini adalah dengan adanya aturan yang dibuat dan disepakati bersama, semua calon kandidat memiliki ruang yang sama untuk berkompetisi. Dengan aturan yang jelas dan tegas, proses yang demokratis dan transparan, serta kompetisi yang adil, diharapkan seluruh proses seleksi kandidat lancar dan damai. Rahat mengajukan konsep demokratisasi seleksi kandidat melalui dua logika. Pertama, demokrasi sebagai sebuah sistem yang memungkinkan semua warga berpartisipasi dalam memilih di antara calon dan kelompok yang bersaing, yang mengklaim paling mewakili kepentingan dan nilai mereka. Dalam perspektif ini, sistem yang lebih demokratis adalah yang secara optimal menyeimbangkan antara empat unsur dasar demokrasi, yaitu: partisipasi, kompetisi, representasi,