Sistem Kepartaian di Indonesia

881 karena pada era demokrasi parlementer ketika itu, suasana politik selalu gaduh. Kabinet jatuh bangun, bahkan ada yang hanya berumur tiga atau enam bulan saja. Secara legal fomal, kini tidak ada lagi partai kanan dan partai kiri. Tetapi samar-samar kita bisa lihat gejala itu muncul kembali. Ada anak-anak muda mendirikan partai kiri, kemudian mereka dicap komunis seperti partai rakyat demokrasi waktu itu. Begitu pula ada yang condong ke kanan, dikonotasikan sebagai fundamentalis seperti Masyumi Baru, PKS, Partai Bulan Bintang, dan sebagainya. Pertanyaanya siapa yang memberikan mereka visi-misi bernegara dan membuat platform untuk hidup bernegara. Bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara dan bernegara adalah berkonsitusi. Hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang. Meskipun demikian, banyak elit politik kurang paham dengan hukum besi berpolitik dan bernegara. Seharusnya kita bersepakat dengan apa yang telah diletakkan oleh founding fathers bahwa Republik Indonesia didirikan bukan saja untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umum. Seharusnya para elite partai melakukan re-edukasi terhadap istilah kiri dan kanan. Semua itu harus dijelaskan untuk pendidikan warga negara civic education. Misalanya, kita memperjuangkan kaum marjinal, buruh, petani miskin, dan nelayan miskin, tidak selayaknya kita dicap begitu saja sebagai kiri atau komunis. Jika hal itu terjadi, perjuangan untuk buruh, petani, nelayan, dan kaum marginal seolah-olah hanya perjuangan partai komunis kelompok kiri. Padalah sila kelima Pancasila berbunyi Keadilan social bagi seluruh rakyat ndonesia . Seharusnya flatform dan arah perjuangan partai-partai hasus menuju ke sana, karena orang miskin dan anak-anak terlantar masih banyak. Di era reformasi seperti sekarang ini seharusnya ideologi partai itu tidak terpengaruh, apakah nasionalis atau Islam, ia harus berjuang untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepentingan partai politik harus di arahkan kesana. Partai-partai politik harus tahu persis dengan kondisi republik ini. Dalam kondisi dimana masih banyak rakyat miskin, pengangguran, dan ketidakadilan, seharusnya ideologi partai politik menunjukkan kepentingan bangsa, mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana dicanangkan para banyak bangsa. Di masa lalu pancasila sebagai ideologi terbuka belum pernah diterjemahkan secara riil, digali dan diimplementasikan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sampai sekarang ini masih diterjemahkan dengan s erba bukan , bukan yang itu dan bukan yang ini. Bukan negara sekuler tetapi juga bukan negara Islam. Bukan liberal atau kapitalis, juga bukan komunis atau sosiallis. Seharusnya Pancasila diimplementasikan mulai sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua; Kemanusiaan yang adil dan beradab, sila ketiga; Persatuan Indonesia, sila keempat; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaanperwakilan, dan sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua ini termasuk dalam pembukaan Undang- Undnag Dasar 1945, tak pernah digali secara tuntas dan mendalam. Sebenarnya semua partai politik mempunyai visi dan platform yang dapat digali dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Seperti di Amerika Serikat Partai Demokrat memperjuangkan kepentingan blue color workers, sementara Partai Republik lebih memperjuangkan white color, yang satu 882 lelih senang dengan isu domestik, dan yang lain senang dengan isu internasional. Sementara itu di Indonesia banyak hal yang tidak jelas posisinya. Republik ini bukan negara sekuler, tapi bukan juga negara islam. Semua serba normatif, platform satu partai dengan yang lainya tidak ada perbedaan yang fundamental. Mereka sama-sama mengangkat isu ekonomi, kerakyatan, memberantas korupsi, mengurangi kemiskinan, pengangguran dan sebagainya. Akibatnya semua partai politik punya visi dan platform yang hampir mirip sehingga sulit dibedakan karakter dan ideologinya. Untuk itu, undang-undang partai politik yang ada harus bisa dipakai untuk membangun partai-partai politik yang ada agar menjadi lebih baik segingga fungsi partai politik bekerja dan mereka mampu mendidik masyarakat agar lebih cerdas dan demokratis. Kalau tidak pemimpin yang dihasilkan dari pemilu ke pemilu, sistem kepartaian dan budaya politik di Indonesia tidak akan pernah matang.

C. Kegagalan Partai Politik Dalam Memaknai Reformasi

Pada masa reformasi, partai-partai politik kembali muncul setelah terpakum oleh orde lama, dan distribusi kekuatan antar partai mengalami fluktuasi kembali. Keanekaragaman dalam komposisi masyarakat menjurus ke berkembangnya sistem multipartai. Dimana perbedaaan ras, agama, dan suku bangsa sangat kuat, golongan-golongan masyarakat lebih cenderung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas dalam satu wadah saja. Kejenuhan rakyat dalam bernegara pada saat ini adalah berakar dari campur aduknya antara dunia bisnis dan politik. Dua bidang ini seharusnya hanya saling memberi dukungan tetapi tidak boleh dicampur-campur. Misalnya perindustrian di Amerika Serikat banyak mendukung Partai Republik seperti Donal Trump, Warren Buffett, Bill Gates dan sebagainya. Akan tetapi mereka tidak ada pikiran untuk masuk ke dalam partai tersebut. Di Indonesia lain lagi persoalannya, para pebisnis dan pengusaha malah aktif menjadi pengurus partai politik dan merebut kursi ketua umum partai dan jabatan publik yang lain. Mereka seharusnya membangun riset dan pengembangan di sektor bisnis perusahaannya, seperti kelapa sawit, garmen, telekomunikasi, industri baja, untuk menyebut beberapa contoh, malah be rmimpi membangun gedung partai politik. ni fenomena dimana bisnis dan politik bercampur secara hampir sempurna. Akibatnya politik sebagai perjuangan untuk mewujudkan nilai-nilai keutamaan juga berubah menjadi politik yang transaksional. Sehingga fungsi dan peran partai politik justru menjadi begitu dangkal. Situasi ini semakin memperkuat kesan bahwa meluasnya ketidakpercayaan masyarakat pada kinerja partai politik. Sehingga popularitas partai politik kini berada di titik nadir yang paling rendah. Kita dapat melihat pada pemilu 1955 banyak partai yang ikut pemilu, sementara Orde Baru hanya diikuti oleh tiga partai politik. Pada pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik, pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik, pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh 43 . Kemudian pada pemilu 2014 diikuti 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal Aceh. Kalau melihat itu sebenarnya wadahnya 43 Soegeng Sarjadi, Janji Demokrasi Jandi Bernegara, Jakarta:Soegeng Sarjadi Syndicate, 2012, hlm.60. 883 sama. Hanya orientasinya saja yang berubah, yaitu partai politik cenderung pragmatis dan pemburu rente. Kalau boleh jujur sebenarnya publik sejauh ini belum mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai platform dan perjuangan partai-partai politik di Indonesia. Apalagi dengan banyaknya partai politik seperti sekarang ini, pengenalan y ang baik pada partai politik hanya didasarkan pada penampilan pimpinan partai politik tersebut saja. Sikap dan tindakan pimpinan partai politik itu mudah masuk dalam imajinasi masyarakat. Dengan demikian, maka pemebenahan ranah kepengurusan politik politik menjadi penting dilakukan, fungsi dan peran partai politik mendesak untuk diwujudkan. Mereka harus benar-benar menjalankan fungsi dan peran sebagai pendidikan dan rekrutmen politik, komunikasi politik serta artikulasi dan agregasi politik. Maka sehubungan dengan hal tersebut, maka kinerja partai politik harus terukur. Masalahnya sekarang ini belum ada good intention dan good action. Yang tidak kalah pentingnya adalah aturan main perlu diperbaiki agar semua partai politik tidak melupakan konstituennya di daerah pemilihannya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka partai politik perlu merumuskan ADART secara komprehensif agar mampu memberikan kaidah penuntun bagi para elite-elite partai politik dalam menjalankan fungsi dan perannya. Untuk itu, kini saatnya partai politik berpihak pada rakyat dan tidak mengandalkan pimpinan partai politik yang berwawasan sempit dan minim kapasitas serta integritas. Selain partai-partai politik dominan yang mempunyai infrastruktur kuat seperti partai Golkar, Partai Demokrat, dan PDI Perjuangan, hanya partai-partai yang mengusung visi dan program prorakyat yang akan mempunyai prospek di masa depan. Dengan demikian, terkonsolidasi nasip partai-partai lain seperti PKS, Gerindra, PAN, PKB, PPP, Nasdem dan Hanura partai baru yang mungkin muncul seperti Idaman dan Perindo, akan sangat ditentukan oleh kerja keras dan kreativitas mereka dalam mensosialisasikan platform Partai Politik. Intinya medan pertempuran di masa depan memang semakin tidak mudah bagi partai- partai politik tersebut. Gagal meyakinkan masyarakat yang semakin terdidik dan cerdas ini, maka gagal pula kelangsungan hidup mereka. Itu berarti mereka selama ini telah gagal memaknai reformasi dan mewujudkan janji demokrasi.

D. Struktur Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagai badan hukum partai politik tidak dapat beranggotakan badan hukum yang lain. Yang hanya dapat menjadi anggota partai politik adalah perseorangan warga negara sebagai naatulijke persons. Sebagaimana dimaklumi, subjek hukum legal subject dalam ilmu hukum adalah pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam lalu lintas atau hubungan- hubungan hukum. Subjek hukum sendiri terdiri atas dua klasifikasi, yaitu orang biasa atau yang lazim disebut dengan natuurlijke persoon dan bukan orang biasa yang lazim disebut sebagai rechtpersoon. 44 44 M. Rifqinizamy Karsayuda, Pembentukan Partai Politik Lokal di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Malang: UB Press, 2013, hlm. 389.