Eksistensi Mahkamah Partai Dalam UU Parpol

944 Dalam optik UU Parpol, eksistensi Mahkamah Partai ditemukan dalam Pasal 32 ayat . Dalam pasal ini ditentukan penyelesaian perselisihan internal Partai Politik dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik . Penormaan yang demikian menempatkan Mahkamah Partai sebagai satu-satunya organ parpol yang bebas dan mandiri dalam menyelesaikan perselisihan internal partai. Mahkamah Partai oleh UU Parpol diberikan kewenangan untuk menyelesaikan konflik internal partai, yang penyelesaiannya menurut Pasal 32 ayat 1 adalah merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ADART parpol yang bersangkutan. Oleh karena itu, eksistensi Mahkamah Partai didesain sebagai suatu mekanisme penyelesaian sengketa internal parpol dengan maksud untuk memastikan penyelesaian perselisihan lebih mengedepankan semangat yang tertuang dalam ADART parpol. Terkait hal ini, Firdaus secara kritis menegaskan bahwa, kewenangan Mahkamah Partai bersifat atributif dan secara fungsional menjalankan fungsi quasi peradilan . 154 Lebih lanjut diuraikannya sebagai berikut : Sifat atributif kewenangan Mahkamah Partai secara tidak langsung dan secara fungsional menempatkan Mahkamah Partai sebagai delegasi negara dalam partai politik yang pembentukan dan pengisiannya diserahkan kepada masing-masing partai. Oleh sebab itu putusan-putusan Mahkamah Partai merupakan produk hukum yang wajib dipatuhi oleh seluruh fungsionaris dan anggota secara internal dan secara eksternal wajib dihormati oleh semua pihak termasuk negara . 155 Dengan kedudukan dan kewenangan yang demikian, Mahkamah Partai secara eksistensial diposisikan sebagai organ parpol yang dapat memastikan kedaulatan dan keutuhan parpol dapat terjaga, terpelihara dan terbina dengan baik. Mahkamah Partai berperan sebagai organ yang akan mengawal dihormatinya kekuasaan tertinggi di dalam partai dan memastikan semua proses internal sesuai ketentuan- ketentuan peraturan yang berlaku. Mahkamah Partai merupakan benteng keadilan internal dan menjadi tempat bagi seluruh fungsionaris dan anggota partai mengadu dan menggugat untuk membela hak-haknya atas tindakan pengurus, dengan menjadikan ADART partai sebagai dasar hukum dalam seluruh proses penyelenggaraan mekanisme internal parpol. Lebih dari itu, Mahkamah Partai diorientasikan untuk memperkuat independensi parpol dalam menjalankan fungsi- fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat 1 dirinci apa saja yang menjadi kompetensi absolut Mahkamah Partai, yang meliputi : 1 perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, 2 pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, 3 pemecatan tanpa alasan yang jelas, 4 penyalagunaan kewenangan, 5 pertanggungjawaban keuangan, dan 6 keberatan terhadap keputusan partai politik. Lebih lanjut dalam Pasal 32 ayat 4 ditentukan bahwa penyelesaian perselisihan internal partai politik oleh Mahkamah Partai harus diselesaikan paling lambat 60 enam puluh hari. Artinya, dalam rentang waktu tersebut, Mahkamah partai sudah harus memberikan putusan terkait perselisihan internal partai, dan putusan tersebut menurut Pasal 32 ayat 5 bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Kata bersifat 154 Firdaus, Mekanisme Penyelesaian Perselisihan nternal Partai Politik Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang- Undang Nomor Tahun Tentang Partai Politik , Makalah disampaikan pada acara mendengar pendapat ahli pada sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Terkait Perselisihan Kepengurusan PPP pada hari Rabu-Kamis 6-7 Mei 2015, hlm. 2 155 Ibid. 945 final dan mengikat secara internal berarti tidak dimungkinkan atau tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh oleh anggota maupun pengurus terhadap putusan Mahkamah Partai. Hanya saja Pasal 33 ayat 1 mengecualikan Pasal 32 ayat 5 sepanjang tercapai keputusan Mahkamah Partai. Jika dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri menurut Pasal 33 ayat 2 adalah putusan tingkat pertama dan terakhir dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Oleh pengadilan negeri, perkara tersebut diselesaikan paling lama 60 enam puluh hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 tiga puluh hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Dengan demikian apabila terjadi konflik internal suatu parpol, sesuai UU Parpol yang berlaku di Indonesia ini adalah menyelesaiakan perselisihan internal partai politik dilakukan melalui jalur Mahkamah Partai terlebih dahulu, apabila tidak tercapai dapat di diselesaikan melalui jalur pengadilan. Dalam penyelesaian melalui jalur pengadilan menyatakan bahwa hasil penyelesaian berupa putusan pengadilan negeri adalah putusan pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan perkataan lain, mengacu pada UU Parpol, prosedur penyelesaian sengketa internal Parpol harus diselesaikan terlebih dahulu secara internal melalui Mahkamah Partai Politik yaitu menyelesaikan melalui jalur internal sebelum akhirnya berkas perselisihan di ajukan kepada Pengadilan Negeri, hanya jika tidak tercapai suatu kesepakatan atau titik terang dalam penyelesaian perselisihan. Keberadaan penyelesaian internal Parpol melalui Mahkamah Partai sebagaimana dinormakan dalam UU parpol dapat ditafsirkan sebagai upaya alternatif penyelesaian sengketa melalui forum internal partai, sebelum melakukan upaya hukum ke pengadilan. Penyelesaian konflik internal parpol melalui Mahkamah Parpol merupakan sebuah pilihan utama sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang diupayakan oleh para pihak dalam partai politik yang berseteru. Dalam penyelesaian melalui Mahkamah Partai diharapkan penyelesaian suatu masalah dapat diselesaikan dengan baik, cepat, biaya yang relatif terjangkau dan mempunyai kekuatan hukum melalui putusannya berupa kesepakatan atas poin-poin tertentu.

C. Penyelesaian Konflik Internal Parpol di Mahkamah Partai: antara Sellen

dan Sein Mahkamah Partai itu sendiri sebenarnya oleh pembuat UU Parpol didesain sebagai satu-satunya organ pemutus perselisihan internal parpol sebagaimana diatur dalam ADART. Semangat pembentuk UU parpol adalah sejauh mungkin menghindari adanya keterlibatan pihak luar pemerintah dan pengadilan, sebab fakta membuktikan bahwa konflik internal parpol ini dijadikan alat legitimasi kekuasaan dengan mengebiri fungsi-fungsi partai politik yang sedang berkonflik tersebut, apalagi jika partai tersebut tidak sejalan dengan pemegang kekuasaan. Parpol dipaksa mengembangkan tradisi mengelola konflik internalnya secara elegan dalam kerangka kedewasaan berdemokrasi. Bukankah salah satu fungsi dari partai politik adalah melakukan penyelesain konflik. Bila konflik yang terjadi dalam tubuhnya sendiri tidak bisa diselesaikan secara internal, lalu bagaimana parpol akan menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Oleh karena itu, mekanisme penyelesaian perselisihan internal parpol yang telah disediakan oleh UU Parpol hendaknya dimaknai sebagai suatu ikhtiar bagi 946 proses pendewasaan berdemokrasi yang diperankan oleh parpol. Mekanisme penyelesaian perselisihan internal parpol ini ditujukan dalam rangka menanamkan dan menumbuhkan tradisi berpartai di kalangan fungsionaris dan anggota parpol, sehingga setiap perbedaan yang mengemuka dalam internal partai hendaknya tidak berakhir dengan perpecahan, tetapi dengan konsensus yang diperoleh melalui mekanisme Mahkamah Partai. Dalam kerangka inilah sudah saatnya bagi parpol untuk melembagakan penyelesaian konflik internalnya sebagai suatu bentuk revitalisasi peran Mahkamah Partai dalam penyelesaian konflik internal parpol. Sebenarnya harus diakui bahwa eksistensi Mahkamah Partai dalam sistem berparpol pada dasarnya tidak dapat dibebaskan sama sekali dari problem tafsir atas norma yang mengaturnya. Kenyataan ini tergambar dalam berbagai pendapat dikalangan ahli yang masih mempersoalkan norma pengaturannya yang berujung pada problem tafsir, sebagaimana diungkapkan oleh Khairul Fahmi sebagai berikut : ...terdapat sejumlah norma UU Parpol yang menimbulkan banyak tafsir dan menyulitkan bagi eksekusi putusan Mahkamah Partai. Undang-Undang menentukan ada putusan yang bersifat final dan mengingat, dan ada pula yang tidak. Sementara rumusan yang ada justru terbuka ruang bagi banyak penafsiran. Selain itu, jenis perselisihan yang semestinya diatur dalam batang tubuh undang-undang justru hanya diletakkan pada bagian penjelasan . 156 Hal krusial yang kerap dipersoalkan terkait eksistensi Mahkamah Partai adalah penormaan putusan Mahkamah Partai yang bersifat final dan mengikat. Dalam Pasal ayat dinormakan Putusan mahkamah partai politik atau sebutan lain yang bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan . Jika menggunakan penafsiran gramatikal, maka pasal ini dimaknai bahwa putusan Mahkamah partai yang bersifat final dan mengikat secara internal hanyalah yang terkait perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan . Sementara yang berkenaan jenis perselisihan lain sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 32 ayat 2 seperti i pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, ii pemecatan tanpa alasan yang jelas, iii penyalagunaan kewenangan, iv pertanggungjawaban keuangan, dan v keberatan terhadap keputusan partai politik, tidak tunduk pada norma pasal tersebut di atas. Dalam makna ini dapat diartikan bahwa ketika Mahkamah partai misalnya memutus perselisihan seperti keberatan terhadap keputusan partai politik maka sifat putusannya adalah tidaklah bersifat final dan mengikat, dalam arti masih dapat dilakukan upaya hukum. Oleh karena itu, setiap putusan Mahkamah Partai terkait perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan bersifat final dan mengikat dan oleh karenanya tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Penormaan yang demikian terkesan ambigu dan menimbulkan komplikasi hukum dalam penerapannya. Pada satu sisi putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan sebagaimana dinormakan pada Pasal 32 ayat 5, namun pada sisi lain Pasal ayat menentukan Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri . Bagaimana mungkin putusan yang telah bersifat final dan mengikat internal parpol, pada akhirnya dapat dilakukan upaya hukum melalui mekanisme yudisial di pengadilan negeri bahkan hingga ke Mahkamah Agung. Sementara terkait jenis perselisihan selain perselisihan yang berkenaan dengan 156 Khairul Fahmi, Mahkamah partai Politik , Majalah GeoTME, Maret .