Memperkuat Posisi dan Peran Mahkamah Partai Untuk dan Atas Nama

949 dapat ditempuh dengan cara melakukan perubahan UU parpol, khusus yang terkait kejelasan posisi dan peran Mahkamah Partai. Isu penguatan ini penting dalam rangka memastikan proses pendewasaan Parpol sebagai elan vital demokrasi dalam penyelesaian konflik internalnya. Pembentukan Mahkamah Partai pada dasarnya untuk menunjang bekerjanya fungsi parpol dalam sebuah negara demokratis. Tersedianya mekanisme penyelesaian konflik internal parpol ini dinilai sebagai sebuah jalan keluar terhadap beragam konflik kepentingan yang kerap menggurita dalam suatu parpol, mengingat beragamnya mosaik kepentingan yang ada dalam suatu parpol, yang sangat rentan dengan konflik kepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan. Ketiadaan mekanisme resolusi konflik justru akan membuat parpol tidak mampu menjalankan fungsinya bagi jalan menuju demokrasi yang egaliter. Justru dengan Mahkamah Partai ini akan dapat menjawab ekspektasi masyarakat yang menginginkan terciptanya parpol yang mandiri, profesional dan bermartabat, sehingga dapat berkontribusi dalam mengantar tatanan negara yang demokratis. Bagaimanapun demokrasi secara konsepsional mensyaratkan adanya kompromi dalam rangka mengatasi keberagaman dan dalam rangka melestarikan persatuan dalam pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal demikian telah diteorikan oleh Hans Kelsen bahwa : Salah satu esensi demokrasi terletak pada ada tidaknya sebuah kompromi yang menyatukan perbedaan pendapat untuk menentukan sebuah tatanan bagi landasan sebuah negara. Prinsip kompromi adalah penyelesaian sebuah masalah konflik melalui suatu norma yang tidak seluruhnya sesuai dengan kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak, tidak juga seluruhnya bertentangan dengan kepentingan- kepentingan pihak lain. 160 Tatanan yang demikian hanya akan tercipta manakala parpol secara internal membudayakan mekanisme penyelesaian konflik internal secara egaliter dengan mengedepankan kepentingan nilai-nilai demokrasi yang hidup dan berkembang dalam konteks negara hukum Indonesia yang berasaskan pada UUD NRI 1945 dan Pancasila. Prasyarat yang diperlukan untuk menuju kondisi tersebut tidak lain hanyalah kejelasan tentang posisi dan peran Mahkamah Partai dalam penyelesaian konflik intenal parpol. Kejelasan posisi dan peran ini penting mengingat negara melalui UU Parpol telah mendelegasikan kewenangan kepada Mahkamah Partai sebagai organ Parpol yang menyelesaikan semua bentuk perselisihan internal dalam partai. UU Parpol memposisikan Mahkamah Partai secara fungsional menjalankan fungsi quasi peradilan. Hanya saja hal tersebut menjadi tidak bermakna akibat ambiguitas norma pengaturan UU Parpol itu sendiri yang membuka ruang bagi tidak dipatuhi dan dihormatinya setiap putusan Mahkamah Partai dalam penyelesaian konflik internal. UU parpol pada satu sisi menyatakan setiap putusannya bersifat final dan mengikat, namun pada sisi lain dapat dilakukan upaya hukum ke pengadilan. Pola pengaturan yang demikian justru meruntuhkan kewibawaan Mahkamah Partai dalam menjalankan perannya sebagai suatu organ resolusi konflik di tubuh parpol. Mahkamah Partai hanya akan maksimal dalam menjalankan fungsinya jika proses perselisihan tersebut diselesaikan melalui mekanisme partai. Lagi pula UU Parpol 160 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2006, hlm 407. 950 mengamanatkan instrumen hukum mekanisme penyelesaian konflik internal parpol adalah AD dan ART Partai, sehingga tidak relevan lagi jika dibawa ke peradilan. Bukankah Mahkamah Partai menjalankan fungsi quasi peradilan. Justru dengan fungsi yang demikian, kedudukan dari setiap putusan Mahkamah Partai merupakan produk hukum yang wajib dipatuhi oleh seluruh fungsionaris dan anggota secara internal dan secara eksternal wajib dihormati oleh semua pihak termasuk negara. Pembentukan Mahkamah Partai itu sendiri pada dasarnya selain untuk tujuan mendewasakan parpol, lebih dari itu dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi para pihak yang dirugikan oleh sesuatu sistem pengambilan keputusan yang ada di dalam mekanisme berparpol. Terkait hal ini, patut kiranya dikemukakan pendapat Jimly Asshiddiqie yang mengungkapkan hal sebagai berikut : Di samping lembaga Pengadilan Khusus yang dalam undang-undang secara tegas dan resmi disebut sebagai pengadilan, dewasa ini juga banyak tumbuh dan berkembang adanya lembaga-lembaga yang meskipun tidak disebut eksplisit sebagai pengadilan, tetapi memiliki kewenangan dan makanisme kerja yang juga bersifat mengadili. Berdasarkan ketentuan undang-undang, lembaga-lembaga demikian ini diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus sesuatu perselisihan ataupun perkara pelanggaran hukum, dan bahkan perkara pelanggaran etika tertentu dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat final and binding sebagaimana putusan pengadilan yang bersifat inkracht pada umumnya. Semua ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi para pihak yang dirugikan oleh sesuatu sistem pengambilan keputusan yang mengatas- namakan kekuasaan negara . 161 Bersandar pada pendapat Jimly, Mahkamah Partai merupakan lembaga yang bersifat mengadili’ tetapi tidak disebut sebagai pengadilan, melainkan merupakan bentuk quasi pengadilan atau semi pengadilan. Memperhatikan posisi dan peran ideal Mahkamah Partai dan kerancuan norma pengaturan Mahkamah Partai dalam UU Parpol itu sendiri, menjadi mendesak untuk melakukan revisi terhadap UU Parpol khusus yang terkait penguatan Mahkamah Partai. Dalam rangka penguatan Mahkamah Partai ke depan, gagasan untuk menjadikan Mahkamah Partai sebagai satu-satunya saluran penyelesaian sengketa internal parpol menjadi gagasan yang patut dipertimbangkan. Tegasnya, konflik internal parpol hanya menjadi yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah Partai, dan putusannya bersifat final dan mengikat, dalam arti tidak dapat lagi dibawa ke pengadilan. Gagasan demikian berangkat dari pemikiran bahwa salah satu fungsi parpol adalah sebagai sarana pengatur konflik, partai politik berperan sebagai sarana agregasi kepentingan aggregation of interests yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda melalui saluran kelembagaan partai politik . 162 Dalam konteks ini, parpol berusaha mengendalikan konflik-konflik politik yang terjadi di dalam masyarakat supaya perkembangannya tidak melewati batas kewajaran. Sebagai pangatur konflik, dibutuhkan kedewasaan parpol dan menjadikan Mahkamah Partai sebagai satu-satunya saluran mekanisme penyelesaian konflik. Dengan kata lain, konflik internal parpol harus selesai secara internal dan tidak melibatkan organ negara lain untuk terlibat. Menjadi sesuatu yang absurd manakala konflik internal parpol tidak bisa diselesaikan sendiri melalui mekanisme internal parpol, apalagi hendak menjalankan fungsi pengatur konflik dalam masyarakat. Oleh 161 Jimly Asshiddiqie, Pengadilan Khusus , www.jimly.com , diakses tanggal 5 Juli 2016. 162 Jimly Asshiddiqie, Pengantar...op.cit., hlm. 409. 951 karena itu, sudah saatnya parpol merubah paradigma penyelesaian konflik internal parpol dengan menjadikan Mahkamah Partai sebagai satu-satunya saluran dan mekanisme penyelesaian konflik. Untuk dan atas nama demokrasi, sudah saatnya Mahkamah Partai diperkuat posisi dan perannya bagi parpol. Kehendak untuk menjadikan Mahkamah Partai sebagai satu-satunya saluran penyelesaian sengketa internal parpol harus diikuti dengan penyempurnaan pengaturan mekanisme beracara dan proses pengisian jabatan hakim pada Mahkamah Partai. Karena UU Parpol mendelegasikan mekanisme penyelesaian konflik melalui AD dan ART parpol sebagai hukum acaranya, maka UU Parpol harus memberikan penegasan lebih lanjut terkait apa saja yang hendak diatur dalam AD dan ART Parpol sehingga hukum acara yang mengatur bagaimana Mahkamah Partai menjalankan kewenangannya menjadi jelas dan tidak membuka ruang adanya tafsir ganda. Kebutuhan hukum acara Mahkamah Partai menjadi penting untuk dapat memastikan fungsi quasi peradilan yang menjadi kewenangan Mahkamah Partai dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki UU Parpol. Salah satu yang menjadi soal rendahnya trust terhadap Mahkamah Partai adalah terkait independensi dan imparsial hakim yang mengadili konflik internal partai. Untuk menjamin independensi dan imparsial hakim ini, maka pola pengisian hakim harus diperjelas, baik komposisi hakim maupun kriteria yang dipersyaratkan sebagai hakim Mahkamah Partai. Ke depan, jumlah hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus harus ganjil tidak seperti komposisi hakim pada Mahkamah Partai GOLKAR yang berjumlah empat hakim. Selain itu, komposisi hakim Mahkamah Partai hendaknya diisi oleh kader-kader partai yang telah mumpuni di bidang hukum dan memiliki kredibilitas yang tidak diragukan sehingga imparsialitasnya dapat terjaga. Namun demikian, patut juga dipertimbangkan untuk diisi orang-orang dari luar partai yang peduli dengan masa depan parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai elan vital demokrasi.

E. Penutup

UU Parpol secara yuridis telah mendelegasikan kewenangan dan memposisikan Mahkamah Partai secara fungsional menjalankan fungsi quasi peradilan. Mahkamah Partai diorientasikan untuk memperkuat independensi parpol dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi. Meskipun demikian, eksistensi Mahkamah Partai menjadi tidak bermakna akibat ambiguitas norma pengaturannya dalam UU Parpol. Memperhatikan posisi dan peran ideal Mahkamah Partai dan kerancuan norma pengaturan Mahkamah Partai dalam UU Parpol itu sendiri, menjadi mendesak untuk melakukan revisi terhadap UU Parpol khusus yang terkait penguatan Mahkamah Partai. Gagasan untuk menjadikan Mahkamah Partai sebagai satu-satunya saluran penyelesaian sengketa internal parpol menjadi gagasan yang patut dipertimbangkan, apalagi mengingat salah satu fungsi parpol adalah sebagai sarana pengatur konflik. Konflik internal parpol harus selesai secara internal dan tidak melibatkan organ negara lain. Semua itu ditujukan untuk dan atas nama demokrasi. DAFTAR PUSTAKA 952 Asshiddiqie, Jimly, 2006. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI. -----------, 2014. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Fahmi, Khairul, Mahkamah partai Politik , Majalah GeoTME, Maret . Firdaus, . Implikasi Sistem Kepartaian Terhadap Stabilitas Pemerintahan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD , Disertasi, Bandung: PDIH Universitas Padjadjaran. ----------- , . Mekanisme Penyelesaian Perselisihan nternal Partai Politik Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang- Undang Nomor Tahun Tentang Partai Politik , Makalah disampaikan pada acara mendengar pendapat ahli pada sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Terkait Perselisihan Kepengurusan PPP pada hari Rabu-Kamis 6-7 Mei. Huntington, Samuel P., 2003. Tertib Politik Di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa, Terjemahan dari Political Order in Changing Societies, Alih bahasa: Sahat Simamora dan Suryatim, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Kelsen, Hans, 2006. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nuansa dan Nusamedia. L., Debora Sanur, . Manajemen Konflik Partai Politik , Jurnal Info Singkat, Vol. VII, No.07IP3DIApril2015, Jakarta: Pemerintahan Dalam Negeri. Pildes, Richard ., . The Constitutionalization of Democratic Politics , Harvard Law Review, Vol. 118:1. Sukardja, Ahmad, 2012. Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika. Asshiddiqie, Jimly, Pengadilan Khusus , www.jimly.com , diakses tanggal 5 Juli 2016. Aturan Mahkamah Partai Dinilai nkonsisten , www.hukumonline.com , diakses tanggal 30 Juni 2016.