Penyelesaian Konflik Internal Parpol di Mahkamah Partai: antara Sellen

946 proses pendewasaan berdemokrasi yang diperankan oleh parpol. Mekanisme penyelesaian perselisihan internal parpol ini ditujukan dalam rangka menanamkan dan menumbuhkan tradisi berpartai di kalangan fungsionaris dan anggota parpol, sehingga setiap perbedaan yang mengemuka dalam internal partai hendaknya tidak berakhir dengan perpecahan, tetapi dengan konsensus yang diperoleh melalui mekanisme Mahkamah Partai. Dalam kerangka inilah sudah saatnya bagi parpol untuk melembagakan penyelesaian konflik internalnya sebagai suatu bentuk revitalisasi peran Mahkamah Partai dalam penyelesaian konflik internal parpol. Sebenarnya harus diakui bahwa eksistensi Mahkamah Partai dalam sistem berparpol pada dasarnya tidak dapat dibebaskan sama sekali dari problem tafsir atas norma yang mengaturnya. Kenyataan ini tergambar dalam berbagai pendapat dikalangan ahli yang masih mempersoalkan norma pengaturannya yang berujung pada problem tafsir, sebagaimana diungkapkan oleh Khairul Fahmi sebagai berikut : ...terdapat sejumlah norma UU Parpol yang menimbulkan banyak tafsir dan menyulitkan bagi eksekusi putusan Mahkamah Partai. Undang-Undang menentukan ada putusan yang bersifat final dan mengingat, dan ada pula yang tidak. Sementara rumusan yang ada justru terbuka ruang bagi banyak penafsiran. Selain itu, jenis perselisihan yang semestinya diatur dalam batang tubuh undang-undang justru hanya diletakkan pada bagian penjelasan . 156 Hal krusial yang kerap dipersoalkan terkait eksistensi Mahkamah Partai adalah penormaan putusan Mahkamah Partai yang bersifat final dan mengikat. Dalam Pasal ayat dinormakan Putusan mahkamah partai politik atau sebutan lain yang bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan . Jika menggunakan penafsiran gramatikal, maka pasal ini dimaknai bahwa putusan Mahkamah partai yang bersifat final dan mengikat secara internal hanyalah yang terkait perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan . Sementara yang berkenaan jenis perselisihan lain sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 32 ayat 2 seperti i pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, ii pemecatan tanpa alasan yang jelas, iii penyalagunaan kewenangan, iv pertanggungjawaban keuangan, dan v keberatan terhadap keputusan partai politik, tidak tunduk pada norma pasal tersebut di atas. Dalam makna ini dapat diartikan bahwa ketika Mahkamah partai misalnya memutus perselisihan seperti keberatan terhadap keputusan partai politik maka sifat putusannya adalah tidaklah bersifat final dan mengikat, dalam arti masih dapat dilakukan upaya hukum. Oleh karena itu, setiap putusan Mahkamah Partai terkait perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan bersifat final dan mengikat dan oleh karenanya tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Penormaan yang demikian terkesan ambigu dan menimbulkan komplikasi hukum dalam penerapannya. Pada satu sisi putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan sebagaimana dinormakan pada Pasal 32 ayat 5, namun pada sisi lain Pasal ayat menentukan Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri . Bagaimana mungkin putusan yang telah bersifat final dan mengikat internal parpol, pada akhirnya dapat dilakukan upaya hukum melalui mekanisme yudisial di pengadilan negeri bahkan hingga ke Mahkamah Agung. Sementara terkait jenis perselisihan selain perselisihan yang berkenaan dengan 156 Khairul Fahmi, Mahkamah partai Politik , Majalah GeoTME, Maret . 947 kepengurusan, menurut makna tafsir pasal ini tidaklah bersifat final dan mengikat manakala Mahkamah Partai memutus perselisihan tersebut sehingga para pihak yang tidak sependapat dengan putusan Mahkamah Partai masih dimungkinkan untuk melakukan upaya keberatan melalui mekanisme yudisial. Hal demikian juga ditegaskan oleh pakar Saldi Isra saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Parpol dan UU PTUN di Mahkamah Konstitusi dengan uraian sebagai berikut : Pemberian otoritas pada mekanisme penyelesaian internal partai masih setengah hati. Di satu sisi rumusan Pasal 32 menyebut putusan penyelesaian sengketa kepengurusan partai bersifat final-mengikat. Di sisi lain, justru Pasal 33 ayat 1 UU Partai Politik justru menarik kembali otoritas tersebut karena keputusan Mahkamah Partai bisa digugat ke Pengadilan jika penyelesaian tidak tercapai. Otoritas penuh partai politik untuk menyelesaikan kepengurusan partai di Mahkamah Partai justru dipangkas oleh rumusan Pasal 33 ayat 1 UU Partai Politik. Inkonsistensi ini baik prinsip kedaulatan partai politik maupun sesama norma UU Partai Politik potensi berujung pada ketidakpastian hukum yang merugikan warga negara . 157 Terkait pemaknaan atas frasa penyelesaian perselisihan...tidak tercapai , Firdaus dalam kapasitasnya sebagai ahli pada sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terkait Perselisihan Kepengurusan PPP pada hari Rabu-Kamis 6-7 Mei 2015, menjelaskan sebagai berikut : Kompetensi pengadilan negeri menyelesaikan perselisihan internal partai politik baru ada ketika pada tingkat Mahkamah Partai, penyelesaian perselisihan tidak tercapai. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyelesaian perselisihan tidak tercapai disebabkan oleh: pertama, Mahkamah Partai tidak sampai pada Putusan tidak ada putusan kedua, Mahkamah Partai sampai pada pengambilan putusan tetapi para pihak tidak puas dan tidak menerima putusan tersebut . 158 Pemaknaan seperti yang diuraikan oleh Firdaus pada satu sisi dapat dibenarkan menurut makna norma yang dirumuskan dalam Pasal 32 ayat 5 terkait sifat putusan yang final dan mengikat sepanjang Mahkamah Partai tidak memberikan putusan tidak ada putusan, namun pada sisi lain tidak beralasan jika penyelesaian perselisihan internal parpol diajukan ke pengadilan hanya karena para pihak tidak puas atau tidak menerikan putusan Mahkamah Partai, karena sifat putusan Mahkamah Partai itu sendiri menurut Pasal 32 ayat 5 adalah final dan mengikat. Karenanya dengan alasan apapun, ketika putusan telah final dan mengikat secara internal, maka seyogyanya tidak ada lagi alasan untuk mengajukannya ke pengadilan. Seharusnya tidak ada lagi menempatkan mekanisme penyelesaian sengketa internal partai politik melalui jalur pengadilan dan memandang sebelah mata putusan Mahkamah Partai sebagai pelengkap dari sistem penyelesaian permasalahan internal partai politik saja. Karena seyogianya, Mahkamah Partai itu dibentuk untuk memperkuat semangat pelembagaan partai politik dengan asas hukum yang demokratis dan akuntabel, sehingga dapat mewujudkan penataan dan penyempurnaan parpol di Indonesia sebagaimana tujuan UU Parpol itu dibentuk. Hal krusial lainnya, Pasal 32 ayat 1 UU Parpol mengamanatkan bahwa perselisihan partai politik diselesaikan oleh internal partai politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. Persoalannya, AD dan ART Parpol pada umumnya turut tidak memberikan penjelasan yang tegas tentang mekanisme hukum acara Mahkamah 157 Firdaus, Mekanisme Penyelesaian...op.cit., hlm. 3. 158 Aturan Mahkamah Partai Dinilai nkonsisten , www.hukumonline.com , diakses tanggal 30 Juni 2016. 948 Partai. Hal demikian dapat ditelusuri dari berbagai AD dan ART Parpol dimana mekanisme penyelesaian konflik internal tidak di atur secara konkrit dan jelas, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum. Hal demikian inilah yang membuat konflik internal parpol menjadi berlarut-larut dan bahkan berujung pada penyelesaian pada tingkat pengadilan, seperti yang dialami oleh Partai GOLKAR dan PPP. Di sisi inilah kerancuan pembentuk UU parpol yang memaksakan penyelesaian sengketa dengan berlandaskan dari AD dan ART partai saja, tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan. Model pengaturan yang demikian justru menjadi penyebab bagi pihak yang berkonflik untuk lebih mengutamakan penyelesaian sengketa internal partai melalui jalur pengadilan, karena diyakini lebih memberikan kepastian hukum, sehingga eksistensi Mahkamah Parpol bagi anggota parpol yang berkonflik tidak memberikan manfaat. Hal ini lah yang sebenarnya menjadi hambatan Mahkamah Partai untuk menjalankan kewenangannya, dikarenakan adanya unsur ketidakpercayaan terhadap partai politik dalam menyelesaikan sengketa internalnya sendiri. Oleh karena itu, problem tafsir atas penormaan eksistensi Mahkamah Partai sudah saatnya diakhiri dengan melakukan reformulasi norma pengaturan yang bersifat jelas sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam penerapannya. UU Parpol tentunya perlu diubah. Perubahan mesti dilakukan ke arah memperkuat posisi dan kewenangan, mengatur komposisi dan pengisian keanggotaan Mahkamah yang lebih objektif dan menentukan secara tegas alur penyelesaian sengketa internal yang dilakukan Mahkamah Parpol hingga keterlibatan pengadilan negara dalam penyelesaian sengketa internal partai. Dengan langkah itu, harapan penyelesaian sengketa internal yang lebih efektif melalui Mahkamah Parpol tentunya dapat disandarkan.

D. Memperkuat Posisi dan Peran Mahkamah Partai Untuk dan Atas Nama

Demokrasi Dalam sistem politik demokrasi, keberadaan Mahkamah Partai merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat dielakkan. Hal ini disebabkan karena Mahkamah Partai merupakan sarana yang paling realistik dan rasional untuk mewujudkan potret parpol yang mandiri dan profesional. Hanyalah parpol yang mandiri dan profesional- lah yang diyakini akan mampu mendorong terciptanya tatanan kehidupan negara yang demokratis. Demokrasi itu sendiri bagi suatu negara sangat dibutuhkan, karena diyakini akan menjadi instrumen penting yang dapat menjamin kekuasaan dilaksanakan secara bertanggungjawab melalui pemilihan untuk menentukan pemegang kekuasaan, memajukan kesejahteraan warga dengan membuat kebijakan yang responsif, memungkinkan penyebaran pembuatan keputusan, dan mengefektifkan partisipasi rakyat. 159 Diakui bahwa meskipun kehadiran Mahkamah Partai melalui UU Parpol adalah sebagai sarana resolusi konflik, namun pada kenyataannya masih belum mampu menjadi seperti yang dikehendaki oleh UU Parpol. Hal ini diakibatkan karena ketidakjelasan pengaturan terkait posisi dan perannya dalam UU Parpol. Mengingat pentingnya Mahkamah Partai dalam sistem berparpol, maka tidak ada alasan selain memperkuat posisi dan perannya dalam penyelesaian konflik internal parpol. Hal tersebut 159 Richard . Pildes, The Constitutionalization of Democratic Politics , Harvard Law Review, Vol. 118:1, 2004, hlm. 13-14. 949 dapat ditempuh dengan cara melakukan perubahan UU parpol, khusus yang terkait kejelasan posisi dan peran Mahkamah Partai. Isu penguatan ini penting dalam rangka memastikan proses pendewasaan Parpol sebagai elan vital demokrasi dalam penyelesaian konflik internalnya. Pembentukan Mahkamah Partai pada dasarnya untuk menunjang bekerjanya fungsi parpol dalam sebuah negara demokratis. Tersedianya mekanisme penyelesaian konflik internal parpol ini dinilai sebagai sebuah jalan keluar terhadap beragam konflik kepentingan yang kerap menggurita dalam suatu parpol, mengingat beragamnya mosaik kepentingan yang ada dalam suatu parpol, yang sangat rentan dengan konflik kepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan. Ketiadaan mekanisme resolusi konflik justru akan membuat parpol tidak mampu menjalankan fungsinya bagi jalan menuju demokrasi yang egaliter. Justru dengan Mahkamah Partai ini akan dapat menjawab ekspektasi masyarakat yang menginginkan terciptanya parpol yang mandiri, profesional dan bermartabat, sehingga dapat berkontribusi dalam mengantar tatanan negara yang demokratis. Bagaimanapun demokrasi secara konsepsional mensyaratkan adanya kompromi dalam rangka mengatasi keberagaman dan dalam rangka melestarikan persatuan dalam pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal demikian telah diteorikan oleh Hans Kelsen bahwa : Salah satu esensi demokrasi terletak pada ada tidaknya sebuah kompromi yang menyatukan perbedaan pendapat untuk menentukan sebuah tatanan bagi landasan sebuah negara. Prinsip kompromi adalah penyelesaian sebuah masalah konflik melalui suatu norma yang tidak seluruhnya sesuai dengan kepentingan-kepentingan dari salah satu pihak, tidak juga seluruhnya bertentangan dengan kepentingan- kepentingan pihak lain. 160 Tatanan yang demikian hanya akan tercipta manakala parpol secara internal membudayakan mekanisme penyelesaian konflik internal secara egaliter dengan mengedepankan kepentingan nilai-nilai demokrasi yang hidup dan berkembang dalam konteks negara hukum Indonesia yang berasaskan pada UUD NRI 1945 dan Pancasila. Prasyarat yang diperlukan untuk menuju kondisi tersebut tidak lain hanyalah kejelasan tentang posisi dan peran Mahkamah Partai dalam penyelesaian konflik intenal parpol. Kejelasan posisi dan peran ini penting mengingat negara melalui UU Parpol telah mendelegasikan kewenangan kepada Mahkamah Partai sebagai organ Parpol yang menyelesaikan semua bentuk perselisihan internal dalam partai. UU Parpol memposisikan Mahkamah Partai secara fungsional menjalankan fungsi quasi peradilan. Hanya saja hal tersebut menjadi tidak bermakna akibat ambiguitas norma pengaturan UU Parpol itu sendiri yang membuka ruang bagi tidak dipatuhi dan dihormatinya setiap putusan Mahkamah Partai dalam penyelesaian konflik internal. UU parpol pada satu sisi menyatakan setiap putusannya bersifat final dan mengikat, namun pada sisi lain dapat dilakukan upaya hukum ke pengadilan. Pola pengaturan yang demikian justru meruntuhkan kewibawaan Mahkamah Partai dalam menjalankan perannya sebagai suatu organ resolusi konflik di tubuh parpol. Mahkamah Partai hanya akan maksimal dalam menjalankan fungsinya jika proses perselisihan tersebut diselesaikan melalui mekanisme partai. Lagi pula UU Parpol 160 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2006, hlm 407.