Paradigma Bernegara dan Partai Politik

376 kegiatan ilmiah dalam suatu disiplin keilmuan. Paradigma oleh Bernard Arief Sidharta 242 diposisikan sebagai: research guidance lewat model problems and solutions yang menujukkan bagaimana ilmuwan harus menjalankan penelitian dan telaah ilmiah, dan dengan itu berfungsi normatif. Dengan demikian, paradigma itu berfungsi sebagai the central cognitive resource untuk kegiatan ilmiah yang menentukan rasionalitas ilmiah dalam disiplin yang bersangkutan. Dapat dianalogikan bahwa dengan memahami tentang paradigma, seyogyanya stakeholder yang berkedudukan pada infrastruktur politik partai politik, semestinya mampu menghindarkan dirinya dari berbagai bentuk perbuatan yang bertentangan dengan nilai, asas, dan norma yang diberlakukan. Dalam konteks bernegara, khususnya dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, seyogyanya sebagaimana yang dinyatakan oleh M. Solly Lubis 243 , bahwa ada 3 tiga bentuk paradigma, yaitu: - Pertama, paradigma filosofis philosophical paradigma, yakni berupa nilai-nilai filosofis yang terdapat mengakar sebagai satu sistem nilai dalam masyarakat bangsa, yang secara bernegara, semula diabstraksikan oleh founding fathers dari sistem budaya bangsa. Selanjutnya diulangkan menjadi ideologi atau dasar negara, seterusnya diderivasi dan dijabarkan ke dalam sistem kehidupan nasional, hingga tercermin dalam sistem kehidupan termasuk semua subsistem kehidupan nasional tersebut. Dalam konteks bangsa Indonesia, Pancasila merupakan himpunan dari nilai-nilai dan kaidah serta etikal kehidupan sehari-hari yang dianut dan dipelihara dalam masyarakat sejak jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan. - Kedua, paradigma yuridis juridical paradigma, yakni segala sesuatunya berdasarkan konstitusi 244 . Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan acuan hukum tertinggi dan membawahi aturan hukum lainnya, baik peraturan berupa produk Pusat maupun Daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memiliki political messages yakni amanat-amanat kebijakan dalam pasal-pasalnya. - Ketiga, paradigma politis political paradigma yakni berupa derivat dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berupa rumusan kebijakan mengenai pengelolaan Pemerintah dan pembangunan nasional. 242 Bernard Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm. 70 – 75. Pada kesempatan yang sama, M. Solly Lubis, menerangkan bahwa paradigma adalah suatu parameter, rujukan, acuan yang dipergunakan sebagai dasar untuk berpikir thinking dan bertindak action lebih lanjut. M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Bandung: Mandar Maju, 2009, hlm. 13 – 17. 243 M. Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Medan: PT. Softmedia, 2011, hlm. 80 – 84. 244 Konstitusi negara, yang biasanya disebut sebagai hukum fundamental negara, merupakan dasar dari tatanan hukum nasional. Konstitusi menurut pengertian hukum adalah apa yang sebelumnya disebut konstitusi dalam pengertian materialnya, yang meliputi norma-norma yang mengatur proses pembentukan Undang-Undang. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media, 2011, hlm. 363 - 367. 377 Pada prinispnya ketiga paradigma tersebut tidak dapat berjalan masing- masing, melainkan ketiga paradigma hendaknya beriringan jalan, serta senantiasa menjadi entitas antara satu dan lainnya. Sehingga tujuan bernegara dan cita perjuangan bangsa Indonesia, kiranya dapat terwujud sesuai dengan hakikatnya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara hukum, khususnya sebagaimana bunyi amanat dari Pasal 1 3 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum . Sejalan dengan uraian tentang konsep negara hukum tersebut, ada dua substansi dasar yang tentunya sangat erat kaitannya, yaitu: Pertama, Adanya paham konstitusi konstitusionalisme 245 . Kedua, Sistem Pemerintahan demokrasi. Memerhatikan rumusan mengenai konsep negara hukum Indonesia, sudah tentu dapat dianalisa bahwa hukum dan demokrasi merupakan dwi tunggal, demokrasi harus diayomi oleh hukum agar tidak mengarah ke anarki, sedangkan pada sisi lainnya, hukum harus didasari oleh demokrasi, agar tidak mengarah ke otoritarisme, atau absolutisme, atau totalitarisme. 246 1. Konstitusionalisme Partai Politik Hakikatnya partai politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan wujud nyata dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengingat berbagai teknis penyelenggaraan pemerintahan memerlukan sinergitas dari keberadaan partai politik. Terlebih lagi, secara gamblang konstitusi menegaskan bahwa pada posisi kekuasaan tertentu, wajib diisi dari unsur partai politik. Perihal ini pada prinsipnya dapat dicermati dari rumusan Pasal yang tertuang pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diantaranya: - Pertama , rumusan Pasal A yang berbunyi Pasangan Calon presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum . 245 Konstitusionalisme merupakan suatu paham yang berdasarkan pada konstitusi suatu negara. Konstitusionalisme dilatar belakangi oleh cita kenegaraan dan perjuangan yang bibit- bibitnya sejak lama telah tumbuh secara evolusif, didorong oleh amanat penderitaan akibat terperkosanya hak-hak asasi, baik hak selaku individu maupun hak sebagai bangsa pada masa rezim yang menindasnya, misal oleh rezim kolonial. M. Solly Lubis, Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2011, hlm. 1 -3. Aristoteles mendefinisikan konstitusionalisme sebagai warisan politik yang bermuara dari doktrin hukum yang berdaulat, dan bahwa pemerintah merupakan pelayan hukum, sekaligus bahwa ada suatu hak yang melekat pada rakyat, berdasarkan kemampuan kolektifnya membuat pertimbangan, memilih para penguasa dan meminta pertanggungjawabannya. Arsitoteles, Politik, Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2016, hlm. xxxiii – xxxvii. 246 Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 2010, hlm. 60 – 65. Bandingkan juga, bahwa negara hukum jika tidak bersifat negara hukum yang demokratis, tidak selalu baik, karena hukum itu sendiri dapat dibuat dan diterapkan secara semena-mena oleh penguasa. Dalam hal ini, Jerman di bawah pimpinan Hitler juga menganut negara hukum rechtstaat, tetapi hukum yang diakui berdaulat itu ditetapkan secara sewenang- wenang oleh itler sebagai diktator dan demagog , oleh karenanya selanjutnya berkembang democratische rechtstaat yakni negara hukum yang demokratis. Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008, hlm. 297 – 303. 378 - Kedua, rumusan Pasal yang berbunyi Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, … Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai p olitik … . - Ketiga, rumusan Pasal E yang berbunyi Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik . - Keempat, rumusan Pasal C yang berbunyi Mahkamah Konstitusi berwenang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk … memutus pembubaran partai politik … . Berdasarkan keempat rumusan Pasal tersebut, setidak-tidaknya hal ini telah mengindikasikan bahwa konsensus bangsa Indonesia menyepakati bahwa partai politik yang diwakili oleh para kader terbaiknya, akan bertindak sebagai salah satu entitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada kesempatan yang sama, hal ini telah membuktikan bahwa eksistensi partai politik memiliki urgensitas sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan demokrasi. Oleh karena itu, salah satu upaya dalam rangka memperkuat dan mengefektifkan sistem pemerintahan yang bernafaskan asas demokrasi, maka pemerintah perlu kiranya untuk mendorong dan memberi ruang gerak yang fleksibel, dalam mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai politik, yang dilakukan secara demokratis dan akuntabel. Disamping itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, turut melegitimasi landasan filosofis dibentuknya suatu partai politik, antara lain hal ini dapat dicermati dari rumusan Pasal-Pasal sebagai berikut: - Pertama , rumusan Pasal yang berbunyi Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undan g . - Kedua, rumusan Pasal C yang berbunyi Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya . - Ketiga, rumusan Pasal J yang berbunyi setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara . Berbagai rumusan Pasal tersebut, faktanya telah berposisi sebagai paradigma dalam mengamanatkan pembentukan partai politik khususnya pasca reformasi, serta memberi ruang kepada segenap warga masyarakat yang hendak berserikat dan berkumpul, tentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketika telah dipahami bahwa dalam bernegara dan bermasyarakat, dituntut para penyelenggara pemerintahan untuk mampu bersikap paradigmatik, dengan mendasarkan perbuatannya atas paradigma filosofis, yuridis, dan politis. Sudah sepantasnya dewasa ini publik menilai, apakah berbagai bentuk perbuatan pengelolaan partai politik, baik di Pusat maupun di Daerah telah selaras dengan berbagai paradigma tersebut ? 379 Perihal selanjutnya, dengan bersikap dan bertindak paradigmatik, diharapkan stakeholder yang berkecimpung ditataran infrastruktur politik, hendaknya bertindak sebagai panglima dalam menjalankan berbagai bentuk paradigma, baik paradigma filosofis philosophical paradigma, paradigma yuridis yuridical paradigma, maupun paradigma politis political paradigma. Khususnya paradigma yuridis, dengan bersikap paradigmatik semoga setiap keputusan yang dibuat senantiasa memiliki legitimasi konstitusional, untuk menghindari hal-hal yang bersifat semu dan bias. 2. Partai Politik di Indonesia Dewasa ini, perkembangan partai politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sepenuhnya didasari atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Maka partai politik didefinisikan sebagai: organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita- cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara. Serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik ndonesia Tahun . 247 Adapun tujuan dibentuknya partai politik di Indonesia, setidak-tidaknya dapat diklasifikasi dalam 2 dua kategori tujuan, yaitu: 248 - Pertama, tujuan umum diantaranya: Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. - Kedua, tujuan khusus diantaranya: Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, Memperjuangkan cita-cita partai politik, Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara umum partai politik di Indonesia, memiliki beberapa fungsi dalam menjalankan kompetensinya, yang diantaranya: 249 - Pertama, pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 247 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, amanat Pasal 1 1. 248 Ibid., amanat Pasal 10 1 dan 2. 249 Ibid., amanat Pasal 11 1. 380 - Kedua, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. - Ketiga, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. - Keempat, partisipasi politik warga negara Indonesia. - Kelima, rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Menurut Schattschneider 250 , bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, oleh karenanya partai politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam setiap demokrasi. Menelaah pandangan Miriam Budiarjo 251 mengenai fungsi partai politik, dalam hal ini diantaranya: - Pertama, komunikasi politik yang berperan untuk penyampaian ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. - Kedua, sosialisasi politik yang berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik, sehingga partailah yang menjadi struktur antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara. - Ketiga, rekruitmen politik, partai politik memang dimaksudkan menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. - Keempat, pengatur konflik yang berperan sebagai sarana agregasi kepentingan agregation of interests yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Lahirnya partai-partai politik, selain membawa dampak positif bagi masyarakat, khususnya menjadi wadah bagi masyarakat dalam berpartisipasi di bidang politik. Namun demikian, disisi lain partai politik juga mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya partai politik cenderung bersifat oligarkis. Hal ini dapat dianalisa terkadang partai politik bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan masyarakat, tetapi dalam kenyataannya partai politik justru hanya berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri. 252 Namun demikian, untuk mengatasi adanya beberapa kelemahan partai politik, maka ada beberapa mekanisme penangkal, diantaranya: 253 - Pertama, mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. 250 Schattschneider dalam Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 400 – 405. 251 Ibid., hlm. 405 – 410. 252 Ibid., hlm. 407 – 413. 253 Ibid., hlm. 409 – 415. 381 - Kedua, mekanisme keterbukaan partai dimana warga masyarakat diluar partai dapat ikut serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai politik. - Ketiga, pengurus partai hendaknya jangan dicampur adu atau terlalu mudah berpindah-pindah posisi dan jalur. - Keempat, adanya jaminan berkembangnya pers secara bebas yang semakin profesional dan mendidik. Menarik untuk dicermati bahwa konstruksi partai politik, khusus mengenai proses menentukan calon pemimpin partai, sepenuhnya diselaraskan dengan mekanisme yang ditetapkan dalam aturan main masing-masing partai politik. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan melalui amanat Pasal 22 yang berbunyi Kepengurusan Partai politik disetiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD Anggaran Dasar dan ART Anggaran Rumah Tangga . 254 Berdasarkan rumusan Pasal 22 tersebut, setidak-tidaknya dapat digaris bawahi bahwa asas yang diterapkan dalam proses pemilihan pemimpin partai, adalah asas demokratis yang sejalan dengan musyawarah. Dengan kata lain, masing-masing partai politik diberi kesempatan untuk memformulasikan mekanisme pemilihan pemimpin secara internal, dalam menginterpretasikan makna demokratis tersebut. Dengan demikian, praktiknya tentu dapat dianalisa bahwa dalam proses pemilihan pemimpin partai politik, tidak akan sama antara satu partai politik dengan partai politik lainnya. Sehingga asimetris dalam penyelenggaraan struktur partai politik adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan ada partai politik yang menerapkan asas demokrasi secara langsung, dan ada yang menerapkan asas demokrasi secara tidak langsung dengan mengutamakan musyawarah dalam mencapai mufakat. C. Demokratisasi Partai Politik Perihal demokrasi sering menimbulkan perdebatan sengit, bahkan bermuara suasana debat kusir, dalam menilai makna demokrasi lebih besar sisi positif atau sisi negatifnya. Menariknya, pasca meningkatnya alam demokrasi, belakangan terdapat kekhawatiran sekaligus kecemasan, baik oleh masyarakat maupun elite yang berada pada tataran infra dan supra struktur politik, bahwa adanya dugaan kenikmatan berdemokrasi yang telah dilalui, akan dikebiri. Berwacana tentang demokrasi, belum ajeg kiranya jika tidak didasari atas pandangan sosok filsuf Plato. Untuk menyatukan persepsi, terlebih dahulu dipahami bahwa pada awalnya Plato menggidentikkan paradigma tentang negara, yang dikualifikasikan sama dengan kehidupan manusia, meskipun diakhir pemikirannya menyatakan bahwa negara yang demikian bukanlah suatu negara ideal. Oleh karena itu, pada kesempatan yang sama Plato memberi ruang bahwa 254 Amanat Pasal 22, Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sebelumnya, melalui Pasal 1 ditegaskan bahwa AD Anggaran Dasar adalah anggaran dasar partai politik, yaitu peraturan dasar partai politik. Adapun ART Anggaran Rumah Tangga adalah anggaran rumah tangga partai politik, yaitu peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran dari AD Anggaran Dasar. 382 setidak-tidaknya negara hukum dapat dikategorikan mengarah pada bentuk negara yang ideal. Uraian yang disampaikan Plato 255 , secara tegas menyatakan tentang keberadaan suatu bentuk pemerintahan yang bersifat demokrasi. Berbagai buah pemikiran Plato mengenai demokrasi, dapat dianalisa berdasarkan: - Pertama, demokrasi oleh Plato dideskripsikan sebagai suatu rangkaian siklus, setelah bentuk oligarki. Awalnya, Plato menerangkan bahwa bentuk demokrasi akan ternilai sebagai bentuk yang paling adil, dengan kata lain demokrasi dapat dianalogikan sebagai suatu jubah yang tersulam dengan dilengkapi hiasan berbagai macam bentuk kembang . - Kedua, demokrasi dikategorikan sebagai suatu bentuk pemerintahan yang paling menarik, penuh dengan keanekaragaman dan kekacauan, yang mana memberikan kesamaan derajat pada setiap individu yang berbeda. Sehingga dengan demokrasi, dapat terlihat bahwa antara rakyat biasa dan penguasa akan memiliki kedudukan yang egaliter, oleh karena itu tidak jarang ditemui adanya rakyat yang bertingkah laku mirip dengan penguasa, dan terdapat pula penguasa yang bertindak seperti rakyat. - Ketiga, Plato mengkiyaskan kelemahan demokrasi itu diibaratkan seperti sang ayah yang terbiasa merendahkan diri di hadapan putranya dan takut terhadap putranya, sementara sang putra menganggap memiliki derajat yang sama dengan ayahnya, sehingga tidak lagi menaruh rasa hormat atau penghormatan atas ayah atau ora ng tuanya . Kelemahan lainnya juga dapat dikiyaskan dalam bentuk ketika sang guru memiliki rasa takut dan tanpa suatu hal yang relevan memuji muridnya, oleh karenanya murid memandang rendah terhadap guru- guru mereka . - Keempat, ironinya dalam demokrasi, tua dan muda semuanya sama. Sehingga antara tua dan muda saling berkompetisi baik dengan kata maupun perbuatan, bahkan mereka yang tua berkenan untuk merendahkan diri di hadapan yang muda, dengan diiringi senda gurau dan candaan. Oleh karena itu, Plato menyatakan bahwa runtuhnya demokrasi akibat besar dan dalamnya kebebasan yang dimiliki rakyatnya. Dalam hal ini kebebasan yang sangat berlebihan atau kebebasan yang demikian luas tanpa batas, adalah kebebasan yang kebablasan. 1. Kearifan Lokal Demokrasi Menelisik demokrasi Indonesia, tertuju pada buah pikiran founding fathers Moh. Hatta 256 yang menyebutkan bahwa demokrasi asli Indonesia, terdiri dari unsur: - Pertama, rapat. - Kedua, mufakat. - Ketiga, gotong royong. 255 Plato, Republik, Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2015, hlm. 352 – 360. 256 Moh. Hatta, Demokrasi Kita-Bebas Aktif-Ekonomi Masa Depan, Jakarta: UI Press, 2002, hlm. 111 – 129. 383 - Keempat, hak menyatakan protes. Dalam konteks politik dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat dengan konsep musyawarah, dan berdasarkan kepentingan umum. Dengan demikian, dapat dicermati bahwa salah satu ciri khas demokrasi Indonesia terletak pada sisi musyawarah. Lantas, bagaimana dengan eksistensi musyawarah dalam mencapai mufakat, apakah masih mampu dipertahankan diberbagai lini kehidupan ? khususnya dalam proses menjaring pemimpin partai politik, yang dipandang memiliki kapasitas, integritas, dan loyalitas. Serta bukankah musyawarah juga dapat dikategorikan sebagai demokrasi, yang bersifat tidak langsung ? Konsensus bangsa Indonesia yang dipelopori oleh founding fathers, telah melakukan abstraksi berbagai nilai yang hidup dan berkembang diseluruh wilayah Indonesia. Hingga bermuara dengan mengkristalnya falsafah hidup bangsa Indonesia, yang diaktualisasikan melalui Pancasila, khususnya sila ke-4 yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan . Memaknai sila ke-4 tersebut, pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan terus memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan. Bangsa Indonesia akan tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan demokrasi, sekaligus akan memelihara dan mempertahankan serta mengembangkan kearifan dan kebijaksanaan dalam bermusyawarah. 257 Derivasi dari Pancasila selanjutnya diimplementasikan melalui amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang- Undang Dasar , 258 benar bahwa tidak disebutkan secara tegas sistem demokrasinya. Namun dalam hal ini, kedaulatan rakyat adalah prinsipnya, wujudnya adalah demokrasi, adapun implementasinya dewasa ini menurut M. Solly Lubis 259 dapat direalisasikan dalam dua tahap, yaitu: Pertama, demokrasi yang mempunyai sifat langsung. Kedua, demokrasi yang mempunyai sifat tidak langsung. Dalam hal ini Mahfud M.D 260 berpandangan bahwa ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara, yaitu: - Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental. 257 Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012, hlm. 45 – 78. 258 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, amanat dari Pasal 1 2. 259 M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm. 60 - 70. Demokrasi yang mempunyai sifat langsung, ialah adanya pemberian suara oleh rakyat dalam pemilihan umum. Demokrasi yang mempunyai sifat tidak langsung, ialah dalam penyusunan kekuasaan, dimana adanya keharusan tanggung jawab pemerintah kepada perwakilan rakyat, dan dalam kerja sama kedua instansi tersebut mewujudkan dasar-dasar umum kebijaksanaan pemerintah. 260 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gamma Media, 1999, hlm. 3 – 8. 384 - Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Demokrasi juga mempersyaratkan untuk mengamati apakah sebuah political order pemerintahan atau organisasi partai politik telah menerapkan sistem yang demokratis atau tidak, melalui ukuran yang berlaku secara universal di dalam suatu rezim organisasi partai politik, yakni: 261 - Pertama, akuntabilitas. - Kedua, rotasi kekuasaan. - Ketiga, rekrutmen politik. - Keempat, pemilihan umum. - Kelima, adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar. Demokrasi hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara apabila ada usaha nyata setiap masyarakat dan perangkat pendukungnya, yaitu budaya yang kondusif sebagai manifestasi dari suatu kerangka berpikir mind set dan rancangan masyarakat social setting. Bentuk kongkret dari manifestasi tersebut adalah dijadikannya demokrasi sebagai pandangan hidup way of life dalam seluk beluk sendi kehidupan bernegara baik oleh rakyat maupun oleh pemerintah. 262 Ada tiga nilai ideal yang mendukung demokrasi sebagai suatu gagasan kehidupan, yaitu: 263 Pertama, kemerdekaan freedom. Kedua, persamaan equality. Ketiga, keadilan justice. Dalam kenyataan hidup, ide tersebut direalisasikan melalui perwujudan simbol-simbol dan hakikat dari nilai-nilai dasar demokrasi. Hal itu berarti bahwa simbol demokrasi dan begitu pula makna dan hakikat demokrasi, mewakili atau diabstraksi dari kenyataan hidup yang sepadan dengan nilainya. 2. Sepintas Lalu Bercermin pada pandangan Plato, setidaknya dapat disadari bahwa demokrasi bukanlah suatu hal yang sempurna, melainkan tetap diperlukan adanya kesesuaian dengan berbagai kearifan lokal dimasing-masing bangsa. Kaitannya dengan bangsa Indonesia, yang diasumsikan sebagai bangsa timur yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika, maka penguatan kembali demokrasi bukanlah sesuatu yang keliru, dimulai dengan mempertahankan prinsip musyawarah dalam mencapai mufakat. Seperti kata pribahasa, bahwa jika ada tikus di lumbung padi, jangan lumbungnya yang dibumi hanguskan, melainkan adalah cukup dengan tikusnya yang dibasmi . Kaitannya dengan alam demokrasi, semoga ketika terdapat kekurangan dan kekeliruan atas demokrasi yang telah dijalani, setidak-tidaknya 261 Affan Ghafar, Demokrasi Politik, Makalah pada Seminar Perkembangan Demokrasi di Indonesia Sejak 1945, Jakarta: Widyagraha LIPPI, 1993, hlm. 8 – 13. 262 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 70 – 75. 263 Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1985, hlm. 23 – 28. 385 mampu diformulasikan berbagai bingkai baru, dengan tidak mengeleminir spirit dari demokrasi yang dimaksud. Euforia demokrasi sepantasnya mampu menjawab berbagai ekspektasi, sekaligus mampu merevolusi penyelenggaraan pemerintahan. Terlebih lagi hendaknya dipelopori oleh kader partai politik dalam proses memilih pemimpin partainya, mengingat bahwa partai politik dapat dijadikan cerminan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dikarenakan, berbagai amanat dari konstitusi memposisikan hanya kader-kader terbaik dari partai politik yang dapat terlibat di pusaran pemerintahan.

D. Pemimpin Partai; Berpikir dan Bertindak

Umumnya hegemoni berbangsa dan bernegara, acapkali diwarnai konsensus dalam menentukan figur yang dinilai pantas dan relevan untuk dijadikan pemimpin, yang hendak diposisikan sebagai pemilik tongkat komando sekaligus panutan dari para pengikutnya. Maka sudah sepantasnya dari jauh-jauh hari kadermasyarakat telah mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang sejalan dengan hakikatnya. Sehingga tidak akan terdengar nada sumir yang mencibir bahwa yang bersangkutan hanya pantas disema tkan sebagai pemimpin karbitan . Pemimpin yang dimaksud relevansinya dituju pada pemimpin yang berada diberbagai level kekuasaan dalam tataran infrastruktur politik, tanpa terkecuali apakah pengurus partai dilevel pusat, maupun dilevel daerah. Oleh karena, pada prinsipnya dari tingkah laku dan tindak tanduk perbuatan dari para pemimpin, dapat mencerminkan karakteristik kadermasyarakat yang mengkultuskannya. Maka mampu tidaknya pemimpin berpikir dan bertindak, keseluruhannya adalah tanggung jawab dari masyarakat itu sendiri. Tentu secara tegas jika merujuk dalam Al- Qur’an telah ditetapkan berbagai kriteria dan syarat pemimpin dalam ajaran Agama Islam, begitu juga halnya dengan amanat berbagai peraturan perundang-undangan. Namun demikian tanpa mengenyampingkan amanat dimaksud, dalam mengelola partai politik seharusnya mampu menampilkan konsistensi dirinya, berupa: Pertama, sebelum berjanji sebaiknya dipikirkan secara matang dan logis terlebih dahulu. Kedua, pemimpin partai politik harus menguatkan mental dan nyali, untuk menuntaskan berbagai tujuan, fungsi, bahkan visi dan misi sesuai dengan norma hukum yang diberlakukan. Ketiga, mampu menyelaraskan antara kerangka berpikir dengan berbagai tindakan. 1. Berpikir dan Bertindak Menyunting adagium para failasuf, bahwa aku berpikir maka aku ada hal ini mempertegas letak perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan lainnya adalah dalam kegiatan berpikir. Senada dengan anasir yang dipopulerkan oleh Jujun S. Sumantri 264 tentang manusia, maka dalam konteks ini setidak- 264 Jujun S. Sumantri mempopulerkan anasir tentang manusia, bahwa manusia dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu: Pertama, ada yang tahu ditahunya. Kedua, ada yang tahu ditidak tahunya. Ketiga, ada yang tidak tahu ditahu nya. Keempat, ada yang tidak tahu ditidak tahunya. Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta: Sinar Harapan, 2009, hlm. 19 – 22. 386 tidaknya dapat dianalogikan bahwa pemimpin partai politik itu menjadi wajar kiranya jika digolongkan dalam beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, ada pemimpin yang mampu berpikir dan mampu bertindak. Kriteria ini merupakan yang paling ideal dan dicitakan, bahkan dapat diasumsikan sebagai suatu tingkatan yang paling sempurna. Artinya pemimpin benar-benar mampu berpikir secara matang dan hati-hati dalam menentukan dan merumuskan tindakannya, sekaligus mampu mengimplementasikan berbagai buah pikirannya. Kedua, ada pemimpin yang mampu berpikir dan tidak mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai pemimpin yang tidak memiliki nyali atau oleh karena patut diduga dalam keadaan terpaksa tidak berani bertindak. Artinya pada prinsipnya pemimpin mampu berpikir secara matang dan hati-hati dalam menentukan dan merumuskan tindakannya, akan tetapi oleh karena satu dan lain hal buah pikirannya tidak mampu diwujudkan. Ketiga, ada pemimpin yang tidak mampu berpikir dan mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai pemimpin yang lemah akal, tetapi memiliki nyali dan nafsu yang besar dalam bertindak. Artinya kadangkala sering ditemui ada sekelompok pembisik tim ahlistaf ahli yang berseliweran disekitar pemimpin, untuk membantu menentukan dan merumuskan segala sesuatu, sehingga dengan penuh keberaniannya pemimpin mengimplementasikan tindakannya. Keempat, ada pemimpin yang tidak mampu berpikir dan tidak mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai kriteria yang terburuk, bahkan bukanlah sesuatu yang berlebihan betapa besarnya kerugian yang dialami oleh kader partai bersangkutan jika memiliki pemimpin dengan kriteria tersebut. Artinya setali tiga uang, bahwa selain sosok pemimpin yang lemah akal, juga tidak memiliki nyali dalam bertindak. Maka tidak jarang terdengar nada sumbang yang mengkategorikan pemimpin dengan kriteria ini sebagai boneka dari pihak yang lain. Menelisik hal tersebut, sudah tentu masyarakat mampu berasumsi bahwa berbagai pemimpin partai politik yang ada dalam kehidupan sehari-hari, baik diruang lingkup desakelurahan, diruang lingkup kabupatenkota, diruang lingkup provinsi, dan diruang lingkup negara, berada pada kriteria yang manakah pemimpin yang ada pada saat sekarang ini ? sekaligus cukupkah masyarakat dipimpin oleh para pemimpin yang hanya memiliki kriteria dengan saat sekarang ini ? Sebagai garda terdepan, para kader partai juga semestinya berpikir dengan penuh seksama dan melakukan revolusi dalam menjaring calon pemimpin. Mengingat segala sesuatunya dimulai dari kerangka berpikir yang ada dimasing- masing kader, dalam hal ini HAMKA 265 berujar bahwa Bagaimana akan dapat berpikir tinggi, bangsa yang hidupnya hanya segobang sehari, bangsa yang tinggal celana pendek sehelaipun masih bersyukur. Oleh karena jiwanya sudah semestinya tidak ada lagi dibadannya, akibat sebegitu melarat dan tertindasnya . 2. Loyalitas vs Integritas 265 Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Umminda, 1983, hlm. 10 – 20.