Latar Belakang Masalah Sanksi bagi Partai yang gagal menyelesaikan Konflik Internal

1100 berhimpun dalam sebuah partai politik, serikat pekerja dan Organisasi Kemasyarakatan. 30 Partisipasi tersebut, secara hakiki merupakan implementasi hak asasi manusia seseorang baik dalam konteks ketatanegaraan, maupun dalam lingkup profesi. Hak asasi dalam lingkup profesi, bisa diwujudkan dalam kebebasan berasosiasi, misalnya pengembangan dan perlindungan yang berwujud dalam bentuk organisasi kemasyarakatan. Selanjutnya, baik hak asasi dalam konteks ketatanegaraan, maupun dalam konteks profesi, sesungguhnya berlandaskan pada nilai yang sama, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal UUD tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul . Masih dalam kaitan partisipasi, lebih lanjut dapat diartikan yang dimaksud partisipasi adalah setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 31 Dalam konteks sejarah, hak asasi manusia tidak diperoleh dengan begitu saja dan mudah, melainkan melalui perjuangan yang panjang, dan jalan berliku –liku. Artinya, jalan yang ditempuh untuk mencapai pengakuan hak –hak asasi manusia tidaklah dapat terlepas dari awal bumbuhnya gagasan hak asasi manusia itu sendiri, sebagai suatu fasetahap terpenting dalam sejarah ketatanegaraan. 32 Meskipun hakekat dan gagasan berkaitan dengan hak asasi manusia itu telah muncul dan mewarnai kehidupan bangsa-bangsa sejak berabad-abad lamanya, namun secara konkret manifestasinya baru dimulai sejak Magna Charta tahun 1215. Piagam Magna Charta ini, mengakhiri revolusi di Inggris dan memberi pengakuan atas hak-hak asasi bagi setiap manusia tanpa kecuali. 33 Dengan demikian, konsep hak asasi manusia muncul berawal dari adanya pergulatan antara kelompok kepentingan elit dalam negara dengan kelompok masyarakat yang berada dalam Negara bersangkutan. Artinya, sejarah hak asasi manusia berawal dari tuntutan pembebasan tindakan sewenang-wenang pengausa suatu negara terhadap rakyatnya. Menurut John Locke 1632 – 1704, konsep hak asasi manusia sesungguhnya telah ada secara alamiah dan dimiliki secara pribadi, yaitu: hak akan hidup, hak akan kebebasan atau kemerdekaan, hak akan milik, hak akan memiliki sesuatu. 34 Kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup berorganisasi. Dalam pandangan Locke dan Rousseu, kecenderungan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati nurani. Oleh karena itu dalam perkembangannya kebebasan berserikat menjadi salah satu kebebasan dasar manusia yang diakui secara universal sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan istilah kemerdekaan berserikat freedom of association. Menurut Richard H. Pildes, tanpa adanya kemerdekaan berserikat, harkat kemanusiaan dapat berkurang karena dengan sendirinya seseorang tidak dapat mengekspresikan pendapat 30 Ibid. 31 Riant D. Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evalusai, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003, hlm. 219 32 Soewargo Kartodihardjo, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983, hlm. 181. 33 SM Amin, Demokrasi Selayang Pandang, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976, hlm. 44. 34 John Locke, dalam Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta: 1980, hlm. 108. 1101 menurut keyakinan dan hati nuraninya. 35 Pengakuan kemerdekaan berserikat secara internasional dikukuhkan dalam Artikel 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Artikel 21 dan 22 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan Artikel 5 d ix Konvenan Pemberantasan Diskriminasi Rasial. Kemerdekaan berserikat semakin penting karena terkait dengan diakuinya hak-hak politik seperti hak memilih the right to vote, hak berorganisasi the right of association, hak atas kebebasan berbicara the right of free speech, dan hak persamaan politik the right to political equality. 36 Pasal UUD yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-unda ng , merupakan landasan konstitusional untuk kegiatan- kegiatan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tertulis. Atas dasar landasan konstitusional mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, manusia sebagai makhluk sosial diberikan haknya untuk dapat hidup berkelompok baik yang bersifat tetap maupun yang bersifat tidak tetap atau sementara yang di dalam Undang Undang Dasar 1945 diberi istilah berserikat dan berkumpul. Ketentuan yang bersifat pokok atau mendasar tentang berserikat atau berorganisasi tersebut membentuk landasan konstitusional untuk mendirikan organisasi-organisasi yang ada di Indonesia. Pada dewasa ini dikenal dengan istilah organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan yang terdiri dari ormas profesional dan fungsional serta berbagai macam lembaga swadaya masyarakat. Pengorganisasian secara modern ini memungkinkan diorganisasikannya kedaulatan rakyat secara efektif dan efisien. 37 Kebebasan mengeluarkan pendapat diatur dalam Pasal 28E ayat 3 Undang- undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan mengeluarkan pendapat mencakup hak untuk mencari, menerima dan menyebarkan gagasan serta informasi dalam menyalurkan aspirasi. Kebebasan ini merupakan suatu hak yang memilik banyak sisi yang menunjukkan keluasan dan cakupan hukum hak asasi manusia. Hal ini memberi konsekuensi bahwa setiap tindakan manusia atau kelompok orang, bukanlah tidak terbatas. Harus ada langkah-langkah untuk memastikan agar kebebasan mengeluarkan pendapat tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain. 38 Salah satu implementasi dari kemerdekaan berserikat dan berkumpul yaitu dibentuknya partai politik. 39 Berdasarkan sejarah, partai politik pertama kali lahir di Negara-negara eropa barat, yaitu dengn meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka 35 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik di Indonesia Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004, Jakarta: Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009, hlm. 16. 36 Ibid. 37 Nia Kania Winayanti, Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran Ormas Organisasi Kemasyarakatan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011, hlm. 11-28. 38 Rhona K.M Smith, et.al, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia, 2008, hlm. 100-101. 39 Kata Partai berasal dari bahasa latin Pars yang artinya bagian, yaitu bagian dari segolongan masyarakat untuk mencapai suatu maksud yang besar. Lihat W. Surya Endra, Kamus Politik, Surabaya: Studi Grup Surabaya, 1979, hlm. 270. 1102 secara spontan lahirlah partai politik, dan kemudian berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak, dan pemerintah di pihak lain. 40 Di Negara-negara yang menganut sistem demokrasi gagasan mengenai partisipasi mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak untuk menentukan siapa saja yang menjadi pemimpin yang nantinya menentukan public policy. Di Negara- negara totaliter, gagasan-gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing, dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langsung. Untuk mencapai tujuan itu, partai politik merupakan alat yang baik. 41 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di suatu Negara yang bersistem demokrasi, pembentukan partai politik merupakan suatu keharusan. Pembentukan partai politik di Negara-negara yang menganut sistem demokrasi biasanya berbeda antara Negara yang satu dengan yang lain. Menurut Hume, pembentukan partai politik paling tidak didasarkan pada tiga hal, yaitu: asas, kesetiaan, dan kepentingan. 42 Partai politik merupakan wadah partisipasi politik. 43 Partisipasi politik adalah kegiatan warga biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan, dan pelaksanaan kebijaksanaan umum, dan ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud antara lain, mengajukan tuntutan, membayar pajak, mengjukan kritik, dan koreksi atas pelaksanaan kebijakan umum, dan mendukung atau menentang pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin, dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini, partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong, dan mengajak para anggota partai dan anggota masyarakat yang lain untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. 44 Menurut Jimly Asshiddiqie, di banyak Negara modern, pengisian jabatan anggota lembaga perwakilan biasanya dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum yang diikuti oleh partai-partai politik yang menghimpun, dan mengorganisasikan aspirasi, pendapat, dan suara rakyat yang berdaulat itu. Oleh karena itu, sistem demokrasi di Negara modern tidak bisa dilepaskan dari permasalahan pemilihan umum, dan partai politik. 45 Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD 1945, partai politik makin diakui sebagai bagian dari tata kehidupan bernegara. Hal itu dapat dilihat pada ketentuan Pasal 22E Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan 40 Hasil wawancara Penulis dengan Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Tanggal 24 Mei 2016, Pukul 12:00 WIB, saat Penulis mengikuti Simposium Nasional Kedaulatan Rakyat di dalam UUD NRI Tahun 1945, yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian MPR RI, dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 41 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1977 hlm. 159- 160. 42 Kranenburg, Ilmu Negara Umum, diterjemahkan oleh Sabaroedin, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980, hlm. 115. 43 Seperti yang dikatakan Ismail Suny: tak diragukan lagi, kemerdekaan berserikat, dan berkumpul meliputi hal mendirikan partai politik, yang akan menyokong atau mengoposisi secara loyal pemerintah yang sedang berkuasa, dan membentangkan kebijaksanaan partai politik itu kepada rakyat . Lihat smail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Aksara Baru, 1977, hlm. 23. 44 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1992, hlm. 118. 45 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi, dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtisar Baru Van Hoeve, 1994, hlm. 68. 1103 Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik . Berdasarkan ketentuan tersebut ditentukan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu, Pasal 6A UUD 1945 juga menetapkan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat yang pasangan calonnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. 46 Ketentuan dalam Pasal 6A Ayat 1 UUD 1945 adalah sebagai berikut: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum . Bahkan, berdasarkan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk selanjutnya Penulis sebut Pilkada : calon gubernur atau calon wakil gubernur adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum Provinsi . Kemudian dalam Pasal 1 butir 4 Undang- Undang No. Tahun : calon bupati atau wakil bupati, calon walikota, dan calon wakil walikota adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan atau mendaftar di Komisi Pemilihan Umum KabupatenKota . Sebagai perwujudan kemerdekaan berserikat, dan berkumpul melalui partai politik yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945, pasca Reformasi 1998, DPR sudah mengundangkan empat Undang-Undang tentang Partai Politik, yaitu Undang- Undang No. 31 Tahun 2002 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang- Undang No.2 Tahun 2008 yang kini disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tujuannya untuk penguatan kelembagaan dalam peningkatan fungsi dan peran partai politik terhadap negara maupun terhadap masyarakat serta membangun integritas partai politik di Indonesia menjadi lebih efektif dan efesien. Dengan diundangkannya Undang-Undang Partai Politik diharapkan fungsi-fungsi partai politik adalah; sarana komunikasi politik; sarana sosialisasi politik; rekruitmen politik; pengatur dan dan pengelola konflik dapat terwujud. Terkait fungsi keempat partai politik adalah sarana pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyaraka conflict management. Seperti telah disebut diatas, nilai-nilai values dan kepentingan-kepentingan interests yang tumbuh dalam internal partai politik yang sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika kadernya banyak, berbagai kepentingan yang beranekaragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi faksi-faksi di internal partai politk yang menawarkan ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik conflict management partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan agregations of interest yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Parpol mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan pada umumnya, dan partai politik pada khususnya. 47 46 Reni Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 285-286. 47 Redi Pranuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009. 1104 Dengan semakin berperannya partai politik dalam kehidupan Negara yang demokratis, konflik-konflik di dalam tubuh partai politik sulit untuk dihindari. Pembentukan Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik paham sekali terhadap menyelesaikan sengketa partai politik, terutama sengketa kepengurusan. Itulah sebabnya dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2011 dibentuk mahkamah partai politik sebutan lain yang dibentuk oleh partai politik yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa internal yang berada di tubuh suatu partai politik, mengingat di Indonesia banyak sekali kasus sengketa internal partai politik yang menyebabkan perpecahan di kubu Partai Politik. Implikasinya yang paling sering dirasakan masyarakat adalah apabila ada kubu yang merasa tidak senang dengan kubu lainnya di internal partai politik bukannya diselesaikan, akan tetapi kubu yang tidak senang tersebut seringkali membuat partai politik baru sehingga menjelang Pemilu, tugas KPU semakin berat karena semakin banyak partai yang diverifikasi, dan juga jika partai baru tersebut lolos verisfikasi KPU, ada juga kewajiban Negara untuk membiayai partai tersebut dalam mengikuti kontestasi pemilu. Di samping itu, semakin banyaknya partai yang mengikuti pemilu, semakin menjauhkan Indonesia dari ciri-ciri Sistem Pemerintahan Presidesiil 48 yang Indonesia anut. Sengketa Internal Partai Politik pertama pasca reformasi terjadi di internal PKB adalah persoalan penurunan KH. Abdurrahman Wahid untuk selanjutnya Penulis sebut Gus Dur dari jabatannya sebagai Presiden RI Tahun 2001. Kala itu, Mathori Abdul Djalil, yang menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB tidak mengindahkan perintah Gus Dur untuk tidak menghadiri rapat paripurna di DPR. Imbasnya, Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro merasa berhak untuk mencopot jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB. Gus Dur pun mengangkat Alwi Shihab sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB. Matori tidak tinggal diam, dia juga menggalang kekuatan struktural PKB untuk membendung seruan Gus Dur tersebut. 49 Sengketa internal partai politik yang kedua, masih di partai politik yang sama di PKB. Setelah konflik dengan Mathori. Gus Dur pun berkonflik dengan Alwi Shihab, 50 orang yang diangkatnya untuk menggantikan posisi Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum DPP PKB. Gus Dur memilih menggandeng Muhaimin Islkandar menggantikan Alwi Shihab. Di fase berikutnya, Gus Dur lagi-lagi bermanufer. Beliau menganggap bahwa Muhaimin cacat dalam memimpin PKB. Kemudian beliau mengangkat Ali Maskur Moesa untuk menggantikan posisi Muhaimin Iskandar untuk selanjutnya Penulis sebut Gus Dur. Meskipun, di ranah hukum Gus Dur dikalahkan 48 49 Konflik kedua kubu ini juga memecah percaturan kiai NU di dalam politik PKB. Gus Dur bersama dengan para pendukungnya melaksanakan Musyawarah Nasional Alim Ulama‟ 13-14 Nopember 2001. Sedangkan Mathori menyelenggarakan Musyarah Kerja Nasional Pengurus PKB yang didalamnya juga diikuti oleh Kiai 12-13 Nopember 2001. Lihat : Tim Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia, Jakarta: Kompas Media Nusantara 2004, hlm. 257. 50 Konflik dengan Alwi Shihab, konon disebabkan perbedaan pandangan antara Gus Dur dan Alwi Shihab tentang Pemilu Presiden 2004. Alwi Shihab, kala itu, memberikan dukungan SBY-JK, sedangkan Gus Dur sendiri berusaha mencalonkan diri sebagai calon presi den dari PKB, namun „digagalkan‟ oleh Komisi Pemilihan Umum. Konsekwensi pengalihan dukungan tersebut kemudian berbuntut pada pengangkatan Alwi Shihab sebagai Menkokesra dan Gus Ipul sebagai Mentri PDT. Tapi, setelah Gus Dur mampu mengambil alih kekuasaan Alwi-Saifullah Yusuf. Gus Ipul ditarik Gus Dur dari kementrian dan digantikan Lukman Edy. 1105 Muhaimin. 51 Dan, KPU menganggap bahwa kubu Muhaimin yang sah untuk mengikuti Pemilu 2009. Di masa pemilu yang sama, tantangan Cak Imin juga datang dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama‟ PKNU yang dibesut oleh kubu Alwi Shihab dan Chairul Anam. Imbasnya, PKB terlempar dari percaturan partai Islam besar. PKB berada di posisi ke-6 dari sembilan partai yang lolos ke parlemen. 52 Sengketa internal di partai politikpun banyak terjadi, ada kasus Partai Peduli Rakyat Nasional PPRN antara kubunya DL Sitorus, dan Amelia Ahmad Yani yang tidak kunjung selesai, walaupun di Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Putusan No.94KTUN2011 memenangkan kubu Amelia Ahmad Yani, dan Menteri Hukum, dan HAM 2009-2011 sudah mengeluarkan SK yang mengesahkan PPRN yang sah adalah PPRN kubunya Amelia Ahmad Yani. 53 Ada juga kasus Partai Penegak Demokrasi Indonesia PPDI yang pada tahun 2008 berproses di Pengadilan. Satu minggu sebelum menentukan caleg, Ketua Umum PPDI mendaftarkan calegnya ke KPU. Akan tetapi, satu minggu kemudian setelah daftar caleg sudah tidak bisa diganti- ganti lagi, Pengadilan memutuskan kalau Ketua Umum PPDI tersebut kalah, dan ada Ketua Umum baru yang sudah tidak bisa menggonta ganti lagi caleg yang ditetapkan Ketua Umum yang lama. 54 Kemudian Sengketa internal di partai politik yang paling hangat adalah Sengketa Internal Partai Politik di tubuh Partai Golongan Karya, dan Partai Persatuan Pembangunan. Dimana di dalam Partai Golkar, dan PPP ada dua kubu yang menggelar dua Musyawarah Nasional, dan Muktamar berbeda, dan menghasilkan Ketua Umum, dan Sekjen yang berbeda. 55 Sengketa internal dua partai politik ini walau sudah diselesaikan oleh masing-maing Mahkamah Partai Politik. Sengketa tetap saja dituntaskan oleh Pengadilan. 56 Menurut Penulis, inkostensi memang terjadi dalam 51 Perseteruan ini mungkin yang paling berbuntut panjang dan paling menarik. Selain karena harus melalui proses hukum. Ada kejadian unik imbas dari dualisme kepengurusan ini. Yakni, disaat proses pleno KPU untuk pengambilan nomor urut partai. Cak Imin dan Yeny Wahid bersama-sama mengambil nomor urut partai. Keduanya sontak menjadi bahan tertawaan ketua partai lainnya. 52 Hasil Pemilu 2009 menempatkan Demokrat sebagai pemenang pemilu, disusul Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. PKB termasuk beruntung. Meskipun, partai ini didera konflik. Partai ini mampu lolos batas ambang minimum parlemen. Naas bagi PKNU. 53 WWW.BERITASATU.COM , diunduh Tanggal 18 Juli 2016, Pukul 10:47 WIB. 54 Risalah Konsinyiring Rapat Panitia KerjaTim Perumus Komisi II DPR RI dengan Dirjen Kesatuan Bangsa, dan Politik Kementerian Dalam Negeri, dan Dirjen Administrasi ukum Umum Kementrian ukum, dan AM, ari Jum’at, Tanggal Desember , Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, hlm. 7. 55 Di kubu Partai Golkar Munas Bali menghasilkan Ketua Umum, Aburizal Bakrie, dan Sekjen Idrus Marham, dan di kubu Partai Golkar kubu Munas Jakarta menghasilkan Ketua Umum, Agung Laksono, dan Sekjen, Zainudin Amali. Di PPP juga mengalami hal yang demikian, ada kubu PPP yang menggelar Muktamar di Jakarta menghasilkan Ketua Umum, Djan Faridz, dan Sekjen Dimyati Natakusumah, dan kubu PPP menggelar Muktamar di Surabaya menghasilkan Ketua Umum, Romahurmuzzy, dan Ainur Rofiq. Penulis kumpulkan dari berbagai sumber berita. 56 Putusan Mahkamah Agung No.490KTUN2015 yang menguatkan Putusan No.62G2015PTUN-JKT untuk kasus Partai Golkar, dan Putusan Mahkamah Agung No. 504KTUN2015 yang menguatkan Putusan No.217G2014PTUN-JKT, dan membatalkan 1106 pengaturan penyelesaian sengketa internal partai politik dimana dalam Pasal 32 ayat 5 Undang- Undang No. Tahun berbunyi sebagai berikut: Putusan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan . Akan tetapi, dalam Pasal Ayat 1 justru memangkas kewenangan partai politik dalam menyelesaikan sengkata internal. Pasal 33 Ayat 1 menyatakan: Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai , dan Pasal Ayat menyatakan: penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung . Dibentuknya mahkamah partai politik sebagai badan peradilan internal menimbulkan suatu pertanyaan, mengenai kedudukan mahkamah partai itu sendiri, kedudukan putusan yang dihasilkan dan kekuatan hukum yang mengikuti hasil putusan mahkamah partai dalam menyelesaikan sengketa internal partai politik. Penjelasan Pasal ayat menyatakan yang dimaksud dengan perselisihan Partai Politik meliputi antara lain; a. perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; b. pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; c. pemecatan tanpa alasan yang jelas; d. penyalahgunaan kewenangan; d. pertanggungjawaban keuangan; danatau keberatan terhadap keputusan Partai Politik. Menurut Penulis, jika Penbentuk Undang-Undang menginginkan Partai Politik yang tangguh, mandiri, dan kuat, seharusnya tidak ada lagi menempatkan mekanisme penyelesaian sengketa internal partai politik melalui jalur pengadilan dan memandang sebelah mata putusan mahkamah partai sebagai pelengkap dari sistem penyelesaian permasalahan internal partai politik saja. Mengingat mahkamah partai itu dibentuk untuk memperkuat semangat pelembagaan partai politik yang demokratis dan akuntabel, sehingga dapat mewujudkan penataan dan penyempurnaan partai politik di Indonesia sebagaimana tujuan pembentukan Undang-Undang No.2 Tahun 2011. Untuk itu, Penulis tertarik untuk menulis, dan meneliti tentang Proses Pembahasan Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik untuk melihat Mengapa Pasal 32 Ayat 1, dan Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang No.2 Tahun 2011 bertentangan satu sama lain, dan dalam Penulisan ini Penulis juga merasa perlu memberikan konsep yang ideal tentang Penyelesaian sengketa internal partai politik yang demokratis di Indonesia. Putusan No.120B2015PT.TUN-JKT untuk kasus PPP menyatakan secara jelas bahwa sengketa internal masing-masing partai politik tersebut telah selesai. 1107

BAB II Pembahasan

A. Original Intent Pembentukan, dan Proses Pembahasan Pasal Tentang

Mahkamah Partai Politik dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik. Dalam melihat Original Intent Pembentukan, dan Proses Pembahasan Pasal Tentang Mahkamah Partai Politik dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik Penulis merasa perlu meneliti dengan pendekatan politik karena ketentuan undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan lainnya lahir sebagai produk kesepakatan politik yang oleh K.C. Wheare diistilahkan sebagai resultante dari berbagai kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang berjalan pada waktu pembentukan. 57 Menurut Moh. Mahfud MD, Pendekatan politik adalah pendekatan yang digunakan agar mengetahui pertimbangan elite kekuasaan politik dan partisipasi massa dalam pembuatan dan penegakan berbagai peraturan hukum. 58 Pendekatan politik akan membantu Penulis dalam melihat hukum dalam arti law in action , sebagai pelengkap dari law in the books , 59 dalam metode yuridis normatif metode penelitian hukum yang Penulis gunakan. Tanpa pendekatan politik akan menjadi sulit bagi Penulis untuk memahami maksud suatu norma dan latar belakang pergulatan politik yang akhirnya melahirkan norma tersebut sebagai suatu kesepakatan politik. 60 Pendekatan politik dapat memperkuat temuan latar belakang perdebatan yang didapat dari pendekatan historis sehingga dapat menggambarkan original intent dari pembuat undang-undang. 61 Politik Hukum 62 dibentuknya Mahkamah Partai Politik dalam Revisi Undang- Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik merupakan usul inisiatif Baleg DPR RI. Anggota Komisi II DPR RI yang pertama menyebutkan untuk membahas urgensi dibentuknya Mahkamah Partai Politik dalam Revisi Undang-Undang No.2 Tahun 2008 adalah Arif Wibowo dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk selanjutnya Penulis sebut F-PDIP dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum, dan HAM. 63 57 K.C. Wheare, Modern Constitutions, Diterjemahkan oleh Muhammad Hardani, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003, hlm. 103. 58 Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Disertasi Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, 1993, hlm. 68. 59 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980, hlm. 71. 60 Moh.Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999, hlm . 4. 61 Menurut Saldi Isra, original intent adalah rumusan asli tentang maksud dan tujuan si pembuat undang-undang membuat suatu norma dan peraturan perundang-undangan. Dalam original intent kita bisa melihat perumusan, penjelasan, perdebatan dan kompromi- kompromi politik pembuat undang-undang yang pastinya memiliki kepentingan yang berbeda-beda, sampai norma dan peraturan perundang-undangan disetujui dalam rapat paripurna, disahkan dan diundangkan. Hasil wawancara Penulis dengan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Prof. Dr. Saldi Isra, S.H, MPA di Kampus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jl. Cik Ditiro, No.1, Yogyakarta, Hari Sabtu, Tanggal 8 Desember 2012, Pukul 16.00 WIB. 62 63 Arif Wibowo menyatakan: yang ketiga, mengenai penyelesaian sengketa internal parpol yang masih menyisakan perdebatan, namun demikian agar tidak menghambat 1108 Perdebatan yang pertama kali mengemuka adalah pandangan yang setuju, dan tidak setuju penyelesaian sengketa internal partai politik diselesaikan oleh internal partai politik atau oleh Pengadilan. Pihak Pemerintah yang diwakili Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum, dan HAM, Aidir Amin Daud lebih setuju jika penyelesaian sengketa internal partai politik oleh Pengadilan. 64 Alexander Litaay dari F-PDIP menolak keras bahkan cenderung curiga, dan sinis menanggapi pendapat dari Pemerintah tersebut dengan mengatakan: 65 PDIP yang dulu bernama PDI adalah partai yang paling sering dibuat DPP tandingan. Bahkan sering Pemerintah melakukan intervensi luar biasa, pernah dibuat tiga kongres sekaligus. Padahal ADART di setiap partai sebagai keputusan tertinggi di Partai Politik sudah menentukan mana pengurus partai yang sah. Oleh sebab itu, sengketa internal partai politik lebih baik dikembalikan kepada partai politik, jangan ada sampai intervensi Pemerintah, apalagi Pengadilan. Siapa yang bisa menjamin Pemerintah, apalagi Pengadilan akan netral dalam menangani sengketa internal partai politik. Saya masih meragukan. Naluri alamiah Pemerintah apabila masuk mengurusi internal partai politik adalah bagaimana caranya untuk bisa intervensi, dan menguasai partai politik, apalagi partai politik oposisi. Tugas Pemerintah terhadap partai politik hanya untuk mensahkan dan melegalisasi kepengurusan partai politik yang memang sah sesuai ADART. Saya menolak pendapat Pemerintah yang mengatakan kepengurusan ketua umum yang diakui. Diakui atau tidak Ketua Umum Partai Politik tergantung dekat atau tidaknya kepada Pemerintah. Sebaiknya kita kembalikan lagi sah atau tidaknya kepengurusan partai politik tergantung kepada ADART bukan kepada Pemerintah atau lembaga manapun. Khatibul Umam Wiranu Fraksi Partai Demokrat untuk selanjutnya Penulis sebut F-PD, juga ada anggota Komisi II DPR yang menolak keras bahkan cenderung curiga, dan sinis menanggapi pendapat dari Pemerintah, dan setuju jika sengketa internal partai politik diselesaikan oleh partai politik yang bersangkutan, yang menyatakan: 66 pembahasan maka FPDIP menyetujui untuk terlebih dahulu nanti kita buka kembali mengenai kewajiban parpol untuk menyusun satu penyelesaian sengketa internal parpol dalam ADART yang prinsip-prinsipnya tertuang dalam UU Parpol . Lihat Risalah Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Hukum, dan HAM, Hari Selasa, Tanggal 30 November 2010, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2010, hlm. 5. 64 Aidir Amin Daud menyatakan: Tadi Pak Khatibul Umam Fraksi Partai Demokrat menyampaikan agar penyelesaian sengketa internal partai politik dikembalikan ke Partai Politik karena sewaktu pembahasan UU No. 31 Tahun 2002 ada keberatan dari Saifullah Yusuf untuk Pemerintah tidak turut campur urusan internal partai politik seperti yang Pemerintah lakukan saat ada sengketa antara Alwi, dan Mathori makanya dalam UU No.31 Tahun 2002 sampai keluar Pasal penyelesaian sengketa internal parpol diselesaikan oleh Pengadilan. Makanya jika ada yang mengatakan biar parpol saja yang menyelesaikan, akan tetapi jika diselesaikan oleh parpol tidak pernah selesai . Lihat Risalah Rapat Panitia Kerja Komisi II DPR RI dengan Dirjen Kesatuan Bangsa, dan Politik Kementerian Dalam Negeri, dan Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum, dan HAM, Hari Rabu, Tanggal 8 Desember 2010, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2010, hlm. 25. 65 Ibid., hlm. 26-27. 66 Ibid., hlm. 27.