Catatan Terhadap Perkembangan Pengaturan Penyelesaian Sengketa

994 ini lah kemudian yang mempertontonkan bahwa terjadi pembuatan norma yang dinamis dari para pembentuk undang-undang. Dalam hal ini terkait dengan penyelesaian perselisihan internal partai politik. Selain itu, keberadaan pengaturan terkait dengan perselisihan internal partai politik, juga bisa disebut politik hukum untuk menjadikan hukum sebagai teknik sosial. Motivasinya mungkin bersifat langsung atau tidak langsung. Tata aturan dapat memberikan keuntungan tertentu untuk ketidakpatuhan, dan atau menjanjikan keuntungan atau ketakutan akan diperlakukan secara merugikan sebagai motif tindakan. 231 Hal ini, jika dikaitkan dengan pengaturan tentang perselisihan internal partai politik, maka sangat mungkin internal partai politik akan dirugikan dengan adanya mekanisme hukum untuk penyelesaian perselisihan. Namun, untuk suatu kepastian hukum dan ketaatan, ini kemudian dibuat dan diatur. Padahal, pada pembentuk undang-undang, notabene juga adalah dari partai politik. Senada dengan itu, era orde baru yang baru saja selesai dan digantikan dengan era reformasi yang menghendaki kehidupan kenegaraan yang jauh lebih demokratis juga kemudian memberikan sinyal yang baik terhadap perkembangan sipil. Catatan Stephen Holmes mislanya mengatakan bahwa dalam masa transisi beberapa petugas yang identik dengan militer dan jauh dari demokratis, telah bersedia melepaskan kekuasaan dengan cara yang damai, dan memberikannya kepada pemerintah sipil. 232 Hal inilah kemudian yang sebetulnya bisa ditarik ke kondisi Indonesia. Dimana militerisme yang sangat berkuasa selama 32 tahun, kemudian bergeser ke reposisi masyarkaat sipil, dengan cara-cara penyelesaian kenegaraan yang jauh lebih demokratis dan teratur. Kemudian, aspek lain yang juga mesti dilihat adalah, munculnya kesadaran akan hak asasi manusia pascareformasi bergulir. Sejalan dengan itu, pembentukan partai politik adalah salah satu bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam sipil dan politik. Hal ini ditegaskan pula bahwa penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan HAM oleh masyarakat dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggungjawab sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 233 Berdasarkan dari uraian diataslah kemudian, mutu hukum sangat penting, karena ia harus mengatur dan sekaligus mengarahkan banyak hal yang dianggap minus . Kapabilitasnya juga harus terjamin, karena ia harus mampu menggerakan perubahan yang awalnya minus menjadi plus. 234 Oleh sebab itu, proses pembentukan hukum terkait dengan penyelesaian perselisihan internal partai politik, adalah upaya untuk menyelesaikan hal yang minus menjadi plus. Sebagaimana disinggung pada bagian awal, bahwa ketiadaan pengaturan perselisihan internal partai politik telah membuat partai politik gaduh, 231 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, 2012, hlm. 22. 232 Satya Arinanto, Politik Hukum 1, Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001, hlm. 201. 233 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, hlm. 14. 234 Bernard L. Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hlm. 11. 995 dan berujung pada kekerasan dan penganiayaan. Padahal ini hal mestinya jauh dari kehidupan partai politik yang demokratis dan damai.

D. Catatan Terhadap Proses Sengketa Kepengurusan Partai Politik Pada

Hari Ini Salah satu hal yang menarik di dalam proses penyelesaian sengketa kepengurusan partai politik di Indonesia, adalah terdapatnya Mahkamah Partai Politik, yang merupakan forum internal partai politik untuk menyelesaian sengketa kepengurusan secara internal di partai politik, sebelum masuk ke ranah pengadilan. Setidaknya, pengaturan inilah kemdian yang diatur di dalam norma yang berlaku hari ini, yakni UU No. 2 Tahun 2011, sebagai undang-undang partai politik terbaru. Mahkamah partai politik, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 32 ayat 3 UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, susunan mahkamah partai politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan oleh pimpinan partai politik kepada kementrian. Selain itu, juga terdapat ketentuan di dalam Pasal 32 ayat 5 UU No. 2 Tahun 2011 yang mengatakan, bahwa putusan mahkamah partai politik bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan berkenaan dengan kepengurusan. Kemudian, ketentuan di dalam Pasal 33 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2011 dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari proses penyelesaian mekanisme sengketa kepengurusan partai politik. Pertama, terkait dengan komposisi mahkamah partai yang sudah ditentukan dari awal, dan semuanya adalah kader dari partai politik tersebut. Hal ini tentu sangat rentan, dalam hal tugas dan fungsi mahkamah partai ketika menyelesaikan sengketa kepengurusan. Sangat mungkin, orang-orang yang sudah ditunjuk menjadi anggota mahkamah partai, juga menjadi bagian dari fragmentasi atau pendukung dari kelompok-kelompok politik yang bersengketa di dalam internal partai. Oleh sebab itu, sebaiknya komposisi anggota mahkamah partai perlu diperbaiki dengan melibatkan orang-orang dari eksternal partai yang penunjukannya dilakukan kemudian, ketika proses sengketa partai politik sudah terjadi. Dan, jumlah dari orang eksternal partai ini sebaiknya lebih banyak dari jumlah anggota partai yang ada di dalam majelis partai. Selain itu, ketentuan yang ada di dalam Pasal 32 ayat 5, yang mengatakan putusan mahkamah partai mengikat secara internal. Namun, di dalam Pasal 33 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2011, justru proses sengketa hukum yang dilakukan di pengadilan, masih tetap dibuka. Artinya, jika hendak konsisten, apalagi mengatakan putusan mahkamah partai dikatakan sebagai putusan yang mengikat, tidak perlu lagi kemudian proses sengketa hukum di pengadilan. Atau sebaliknya, jika memnag masih dibuka untuk melakukan proses sengketa hukum ke pengadilan, maka frasa yang mengataka putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat mesti dihapus dan diperbaiki.

E. Kesimpulan dan Saran

Adapun kesimpulan yang dapat disampaikan dari tulisan ini adalah: 1. Sejak reformasi sudah terdapat empat undang-undang partai politik yang pernah berlaku dan berganti hingga kini. Dari empat undang-undang tersebut, hanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik yang tidak 996 memberikan pengaturan prihal sengketa kepengurusan partai politik. Sisanya, Undang-Undang 31 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, memberikan pengaturan terkait dengan sengketa kepengurusan partai politik; 2. Dari politik hukum para pembentuk undang-undang, menunjukkan sikap yang responsif, dan mampu berkomitmen bahwa pengaturan terkait dengan sengketa kepengurusan partai politik adalah hal yang sangat urgen dan dibutuhkan pengaturannya di dalam UU Partai Politik. Meskipun kemudian ini mengatur dapur partai, para pembentuk undang-undang mampu memberikan pengaturan terkait hal ini, meskipun terdapat catatan dan kekurangan dari pengaturan tersebut; 3. Dibutuhkan perbaikan dari mekanisme penyelesaian sengketa kepengurusna partai politik dari ketentuan ius constitutum, yakni UU No. 2 Tahun 2008, menuju kearah yang lebih baik, demokratis, dan memberikan kepastian hukum Adapun saran yang disampaikan di dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Dibutuhkan perbaikan terhadap ketentuan undang-undang partai politik, khususnya terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa kepengurusan partai politik, yang berangkat dari mekanisme yang lebih demokratis dan memberikan kepastian hukum. Sehingga, ketentuan tersebut bisa lestari dan dapat bertahan lama, agar regulasi terkait dengan partai politik tidak sering diubah-ubah; 2. Rekomendasi terkait dengan mekanisme penyelesaian yang dapat diusulkan adalah mencakup dua hal: a. Jika menggunakan majelis partai sebagai instrument penyelesaian yang dibentuk oleh internal partai, maka susunan dari Mahkamah Partai mesti diperbaiki. Hal utama yang mesti diperbaiki adalah dengan memasukkan dan orang-orang diluar partai untuk menjadi Mahkamah Partai, yang terdiri dari akademisi, tokoh masyarakat, atau negarawanan yang integritas terjamin dan dipercaya oleh kalangan internal partai politik. Penunjukkannya pun dilakukan setelah sengketa internal atau kepengurusan terjadi. Jadi, siapa orang yang akan ditunjuk disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Jumlah pihak dari eksternal pun mesti lebih banyak dari orang internal partai politik, untuk mengurangi konflik kepentingan, dan menjamin integritas Mahkamah Partai. b. Jika masih memberikan ruang kepada mekanisme penyelesaian sengketa di pengadilan, maka frasa putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat mesti dihapus dan dihilangkan di dalam penagturan UU Partai Politik. Sehingga, prose masih bisa berlanjut dengan melakukan sengketa dipengadilan, dan terdapat kepastian proses dalam penyelesaian sengketa proses. Selain itu, hal yang mesti diperbaiki adalah soal kepastian dan limitasi waktu yang diberikan untuk orang atau sekelompok orang dapat mengajukan sengketa kepengurusan partai politik. Sehingga, pengaturan ini dapat menutup kemungkinan orang atau sekelompok orang yang secara tiba-tiba mengajukan sengketa kepengurusan partai politik. Referensi