1012 Partai politik tetaplah sebuah institusi yang mapan dengan segala
kekuatannya sebagai penjaga peradaban demokrasi. Diamond 2003:116 mengatakan bahwa walaupun keberadaannya cenderung terkikis oleh
pertumbuhan media massa dan organisasi-organisasi sipil, partai politik tetaplah merupakan lembaga yang sangat penting bagi sistem perwakilan dan
pemerintahan demokratis lihat juga Imawan, 2011:42. Sekalipun dengan derajat penetrasi yang tumpang-tindih, partai politik tidak pernah kehilangan jati dirinya
sebagai penentu, utamanya ketika pemilihan pimpinan negara atau daerah. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa partai politik semakin cenderung mengalami distrust
dari masyarakat lantaran dianggap kurang sensitif pada urusan publik lihat Noor,
: dan cenderung menjadi komunitas birokrasi baru’ yang relatif terisolasi
dari aspirasi dan kepentingan masyarakat Haris, 2005:325, namun partai politik tetaplah menjadi kekuatan utama demokrasi. Munculnya gagasan deparpolisasi
beberapa waktu belakangan menyebabkan partai politik seperti kebakaran jenggot, padahal fakta menunjukkan mereka melalui kekuatannya di parlemen
menjadi penentu utama keputusan-keputusan strategis. Pengalaman menunjukkan bahwa permaian regulasi sangat ditentukan bagaimana perasaan’ partai politik
dikelola melalui perpanjangan tangan kadernya di parlemen.
Revisi UU Pilkada pada Juni 2016 menunjukkan kecenderungan kuat bahwa partai politik semakin bertransformasi menuju sebuah institusi yang super power.
Penyempitan peluang calon independen, yang jikapun secara konstitusional sah, namun menunjukkan bahwa partai politik kurang berkenan dengan cara-cara yang
berusaha mendekonstruksi cara berpikir kekuasaan di luar kewenangan partai politik. Tak heran, partai politik pun tumbuh dan berkembang sebagai agen yang
sangat kuat dengan jejaring partainya yang cenderung terorganisir baik dari tingkat atas.
Masalah jaringan adalah hal paling banyak menjadi sorotan dari kiprah partai politik dewasa ini. Jika semangat di awal reformasi adalah semangat desentralisasi,
maka wajah baru partai politik kini ditandai dengan menguatnya sentralisasi, utamanya dalam penentuan kandidasi. Partai politik terjebak dalam figur tokoh
nasional dan kurang memberi ruang bagi warganya di daerah untuk menentukan nasibnya berbasis inisiatif lokal. Jadilah kemudian partai politik terkungkung
dalam pasungan sentralisasi dengan kemasan jaringan pengurus di tingkat lokal.
Pada saat yang bersamaan, partai politik pun terjebak dalam upaya negosiasi yang lebih berangkat dari basis lobi yang negosiasional ketimbang ideologis. Partai
politik cenderung tenggelam dalam perburuhan rente ketimbang berbicara soal platform partai politik. Maka jadilah negosiasi, modal, dan krisis ideologi,
dilengkapi oleh semangat ketunggalan pusat dalam pengambilan keputusan.
Tulisan ini berangkat dari asumsi mendasar bahwa perlu upaya strategis untuk mendorong desentralisasi partai politik ketika membayangkan partai politik
tumbuh sebagai institusi demokratis yang sensitif terhadap kebutuhan publik, lokal dan nasional. Tulisan ini juga menempatkan jalinan lobi dan modal yang
kerapkali mendekonstruksi cara berpikir bahwa partai politik hakikatnya adalah saluran representasi ideologi. Tulisan ini mencoba mendebat cara partai politik
scara generatif dalam penentuan keputusan tertentu, lalu menghadirkan beberapa pandangan alternatif untuk mengatasi pembajakan demokrasi yang justru lahir
dari rahim partai politik; sebuah institusi yang seharusnya menjadi penjaga terbesar marwah demokrasi.
1013
B. Pembahasan
Gagasan dasar dari desentralisasi pemerintahan yang adalah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri seharusnya diikuti
secara konsisten oleh partai politik. Kebencian pada rezim Orde Baru selama kurun waktu 32 tahun pada dasarnya pula adalah kebencian pada perspektif
Jakarta yang selalu menghegemoni masyarakat lokal melalui penguasaan- penguasaan keputusan secara sepihak. Desentralisasi yang hanya berhenti pada
level-level administratif minus aspek substansial menjadikan partai politik lebih sebagai lembaga berjejaring lokal yang kurang menguntungkan jaringan bawah.
Alih-alih menjadikan partai politik semakin demokratis sampai ke tingkat lokal, partai politik justru terjebak dalam relasi yang timpang dan lebih mirip sebagai
urusan vertikal ketimbang relasi yang koordinatif.
Desentralisasi yang setengah hati berangkat dari hal-hal yang sangat krusial. Hal ini membutuhkan sebuah reformulasi baru agar partai politik mampu keluar
dari krisis relasi, yaitu penguatan otonomi. Desentralisasi partai politik diharapkan dapat membantu mendemokratiskan partai politik di Indonesia seraya
membayangkan adanya desain institusional yang mampu menggiring partai politik untuk secara afirmatif bekerja dengan logika desentralisasi; jikapun partai politik
gagal membangun pelembagaan dari dalam.
1. Desentralisasi setengah hati
a. Figur Pusat sang penentu
Tak bisa ditampik bahwa elektabilitas sebuah partai politik amat ditentukan oleh figur yang menjadi tokoh utama sebuah partai politik di
tingkat pusat. Setiap partai politik mempersonifikasi jika tidak mau disebut dibayang-bayangi oleh seorang figur sentral, biasanya merekalah
pendiri atau penyokong modalnya. PDIP terkenal dengan Mega-nya, Gerindra dengan Prabowo-nya, Demokrat dengan SBY-nya, Hanura dengan
Wiranto-nya, Golkar dengan Abu Rizal-nya, Nasdem dengan Surya Paloh- nya, atau PAN dengan Amin Rais-nya. Partai-partai di atas dan sebagian
besar lainnya lagi amat menggantungkan popularitas dan elektabilitasnya pada nama baik partai politiknya di daerah. Pendek kata, bagaimana partai
politik di tingkat lokal akan sangat dipengaruhi oleh figur tertentu di tingkat nasional.
Ketergantungan partai politik pada figur pusat inilah kiranya yang menjadi ikhwal dasar mengapa partai politik di daerah bekerja dengan
logika pusat. Ketergantungan figur ini menyebabkan maju mundurnya partai politik ditentukan oleh maju mundurnya kinerja dan kiprah tokoh
sentralnya. Sedikit partai politik yang bekerja dengan logika kader dan sistem sehingga partai mau tidak mau harus menggantungkan nasib partai
mereka pada keberhasilan membangun pencitraan pengurus pusat.
Figur yang menjadi penentu pada akhirnya akan sangat menentukan arah partai politik. Di partai-partai dengan tingkat ketergantungan pada
figur, keputusan akan ditentukan berdasarkan selera sang figur. Mereka ini bisa saja menduduki jabatan ketua umum, penasihat, atau sekedar struktur
teratas sebagai pengambil keputusan tunggal partai. Begitu kuatnya, figur akan mengalahkan suara daerah, bahkan suara yang sudah diramu dari
1014 hasil musyawarah secara berjenjang. Ada istilah izin ibu’, restu Cikeas’,
atau bahkan rekom bapak’. Fenomena ini membuat partai politik terjebak dalam ritual penghambaan pada figur sang patron sehingga partai politik
kemudian berubah menjadi relasi patron and client.
Ketergantungan partai pada satu figur cenderung merusak sistem pengambilan keputusan secara demokratis. Celakanya, banyak partai
politik yang sengaja memberikan kewenangan penuh kepada sang figur untuk mengambil keputusan akhir melalui pemberian kewenangan saat
musyawarah partai. Tak heran, sejauh partai politik menempatkan figur sebagai penentu, sejauh itu pulalah partai politik akan terjebak dalam
pembajakan atas nama selera sang figur. Saya ingin mengatakan bahwa sebagian besar partai politik kini masih amat menggantungkan nasib
partainya pada ketokohan seseorang sehingga tak heran sistem seringkali tidak bekerja secara optimal. Dalam konteks ini, berbagai pengambilan
keputusan di tingkat lokal akan selalu miskin inisiatif dan selalu mengekor pada keputusan pusat.
b. Restu Pusat dalam kepengurusan
Sebagai lembaga berjejaring, partai politik memiliki mekanisme penentuan pengurus di tingkat lokal dengan beragam jenjangnya. Namun
sebagai partai yang menggantungkan nasibnya pada sokongan utama dari pusat, kepengurusan partai di daerah sangat labil untuk dikooptasi oleh
pusat. Akibatnya, partai politik di daerah tak lebih dari perpanjangan tangan dengan sedikit kewenangan pengambilan keputusan. Penentuan
kepengurusan lebih sering ditentukan berdasarkan restu pusat. Kandidat- kandidat ketua partai di daerah pada akhirnya memerlukan dukungan
pengurus pusat untuk dapat menduduki jabatan ketua sebuah partai politik di tingkat daerah.
Tak heran jika pengurus di daerah, utamanya posisi-posisi ketua, ditentukan seberapa kuat lobinya pada lingkaran utama pengurus pusat
partainya sehingga kontestasi pemilihan pengurus daerah lebih bersifat seremonial dengan dukungan utama dari pusat. Dalam situasi demikian,
peluang partai politik untuk membangun jaringan yang mapan sangat terbatas. Pengurus yang tidak searus dengan keinginan pusat rawan
diberhentikan. Dalam banyak kasus, pengurus partai yang berbeda dengan suara pusat akan buru-buru diberhentikan. Peluang demokratisasi partai
politik di tingkat lokal sebetulnya mengalami kebuntuan karena pembusukan yang distabilisasi oleh pengurus partai di tingkat pusat
sendiri. Tak heran jika kemudian subjektivitas yang lahir dari logika bisik-
bisik’ lebih dominan menjadi dasar pertimbangan ketimbang mengikuti mekanisme partai politik yang sebenarnya sudah banyak diatur dalam
berbagai perangkat anggaran dasaranggaran rumah tangga mereka.
Zam, salah satu satu mantan pengurus teras di sebuah partai politik di Bangka Belitung mengatakan :
“Saya mungkin satu-satunya anggota dewan yang saat ini tidak memegang jabatan apapun di level manapun di partai politik. Saya
diberhentikan dari jabatan saya sebagai pengurus partai tingkat provinsi karena dianggap terlalu loyal mendukung seseorang yang