398 partai, sama hal-nya dengan anggota DPR atau pejabat lain nya yang diberi
mandate oleh partai. Tak heran jika saat Kongres di Bali tersebut, Jokowi sebagai Presiden tidak diberi panggung untuk pidato oleh Megawati, karena ia dianggap
sama posisinya dengan kader partai yang lainnya.
Ketunggalan dan sentralisasi kekuasaan partai yang maha besar ini tidak dapat menjunjung tinggi demokrasi dan tentu saja tidak ada demokrasi di dalam
partai. Demokrasi macam apa yang bisa diharapkan tumbuh dari suatu partai yang tak ada interupsi dan perbedaan, tidak boleh menjatuhkan pilihan yang berbeda
dengan pilihan ketua umum. Apalagi berkompetisi dan bersaing dengan ketua umum di dalam partai, jelas tidak mungkin. Maka demokrasi tak punya tempat di
PDI-Perjuangan, karena oligarki tua yang begitu tunggal dan sakral dan memberi tempat bagi tumbuh berkembangnya demokrasi.
3. Kasus Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat
Sebagai partai baru, Partai Demokrat adalah partai yang sukses mendulang suara yang begitu besar. Kemenangan Soesilo Bambang Yudhoyono, sang ketua
umum partai sebagai presiden di periode pertama tahun 2004 memberikan memberikan kredit point yang besar bagi eksistensi partai demokrat. Sebagai
presiden, Yudhoyono kemudian memenangkan pemilu kedua tahun 2009 secara telak dan kembali mengantarkannya sebagai presiden di periode kedua. Suksesnya
Yudhoyono sebenarnya di dukung oleh personalitas yang kuat serta citra diri yang sukses dibentuk melalui media massa dan mesin politik partai.
Setelah pemilu tahun 2009, Partai Demokrat menyiapkan suksesi pergantian ketua umum di Bandung pada tanggal……….
. Sebagaimana yang publik ketahui, bahwa ada tiga kandidat yang bertarung dalam Kongres di
Bandung, yakni; Andi Alfian Mallrangeng, kader dan orang terdekat Yudhoyono. Ia diharapkan oleh Yudhoyono sebagai penggantinya. Hal ini sebenarnya lebih
dikarenakan kesetiaan dan kepatuhan Mallarangeng kepada Yudhoyono serta sikapnya yang menghormati Yudhoyono. Disamping itu, Yudhoyono juga
memandang Mallarangeng bukanlah ancaman baginya apabila terpilih. Karena selama ini ia selalu mendengarkan petuah dan arahan dari sang presiden yang juga
sekaligus pimpinan oligark di partai Demokrat. Namun Mallarangeng tidak sendirian, dia dihadang oleh Anas Urbaningrum, kader yang dianggap oleh publik
memiliki potensi besar untuk menjadi calon presiden. Dia memiliki jaringan politik yang kuat serta memiliki komunikasi politik yang baik di dalam struktur partai.
Tetapi yang tidak kalah kuat juga adalah Marzuki Ali, yang juga sekaligus ketua DPR. Marzuki memiliki potensi besar untuk melawan Anas yang di dukung oleh
sejumlah oligarki tua.
Meskipun pada akhirnya pemilihan ketua umum Partai Demokrat berakhir dengan terpilihnya Anas Urbaningrum dalam gegap gempita yang cukup riuh,
namun menyisakan berbagai persoalan yang muncul di kemudian hari. Mungkin dapat dikatakan, bahwa kongres demokrat di bandung adalah kongres yang
399 menunjukan betapa demokrasi benar-benar dijalankan. Dukungan Yudhoyono, sang
presiden yang juga memimpin oligarki ke Mallarangeng tidak dapat membendung arung dukungan ke Anas.
Jelas sekali bahwa oligarki di Partai Demokrat belum terlalu kuat, namun partai ini menghimpun para aktivis dan orang-orang muda yang memiliki visi
politik yang maju. Meskipun pada akhirnya Anas terjungkal karena kasus korupsi, kongres Partai Demokrat di Bandung dapat menjadi contoh bagi diskursus oligarki
yang dinamis dan rumitnya membaca peta dominasi oleh oligark yang satu atas oligark yang lain di dalam tubuh partai Demokrat.
Setelah Anas terjungkal, dilakukan Kongres luar biasa di Bali pada 30-31 Maret 2013 yang memilih Yudhyono secara aklamasi sebagai ketua umum.
Kongres ini mengembalikan Yudhoyono sebagai ketua umum, yang berarti kembalinya sang fuhrer memimpin partai. Konsensus oligark di Bali memutuskan
untuk mengembalikan partai ke tangan Yudhoyono dengan alasan agar stabilitas partai setelah terserang tsunami korupsi dan dihantam oleh media dari berbagai
sisi dapat dikembalikan.
Mimpi pemilihan demokratis atau demokratisasi yang sebelumnya telah mulai dikembangkan dalam suksesi partai politik mulai berjalan dengan baik,
dikembalikan pada track konsensus oligark. Kongres bandung yang mengantarkan Anas menjadi Ketua Umum dengan segenap gegap gempita yang menyertainya,
telah membuat Partai ini menjadi partai yang dianggap demokratis karena Ketua Umum, yakni Yudhoyono yang juga sekaligus presiden tidak menunjukan tanda-
tanda keberpihakan. Meskipun ia menempatkan anaknya sebagai tim sukses Andi Malarangeng, namun secara terbuka, Yudhoyono membiarkan kongres di Bandung
berjalan dengan langgam demokrasi yang baik.
Hingga Kongres Partai Demokrat tahun 2015 yang digelar di Hotel Shangri- La Surabaya pada 11-13 Mei 2015, publik meyakini Yudhoyono tidak akan melepas
partainya. Ia akan terus menjadi ketua umum. Meskipun dalam kongres di Surabaya muncul nama Marzuki Alie yang akan bersaing menghadapi Yudhoyono,
namun tidak dapat membendung keinginan arus bawah pemilik suara untuk terus memilih Yudhoyono sebagai ketua umum. Hingga akhirnya yang bersangkutan
terpilih kembali secara aklamasi sebagai ketua umum.
Kecenderungan-kecenderungan aklamasi dan tanpa pemilihan ini merupakan fenomena tidak adanya consensus untuk menerima demokrasi
sepenuhnya di dalam partai. Kehendak oligarki dan aliansi-aliansi besar yang mereka bangun justru mengancurkan harapan untuk menata dan mendorong
demokratisasi partai. Partai Demokrat yang semula diharapkan untuk menjadi lokomotif pratik demokrasi di partai politik, kembali terjerembab ke dalam kutub
oligarki. Praktis pada akhirnya pemilihan ketua umum yang demokratis menjadi mimpi yang terus didendangkan oleh masyarakat sipil, meskipun partai politik
tidak hingga kini belum menerima demokratisasi pemilihan ketua umum-nya