Pendahuluan Opsi Penguatan Otonomi

1026 merupakan cerminan belum sempurnanya partai politik sebagai pilar demokrasi di Indonesia. Perselisihan internal partai politik sebenarnya bukan masalah baru dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Menelaah kembali historis perjalanan partai politik pasca kemerdekaan hingga reformasi, banyak partai politik yang tidak dapat terhindar dari pergolakan konflik internal, bahkan diantaranya mengakibatkan beberapa partai politik bersangkutan pecah. Konflik internal partai yang terjadi beberapa dekade terakhir mencerminkan sebagai proses sirkulasi elit yang terpusat pada patron tertentu. Sehingga seringkali berakhir dalam politik belah bambu yaitu satu diangkat-dimenangkan, yang lain diinjak-dikalahkan. 250 Menyebabkan orang yang kalah untuk mencari saluran politik lain, yakni membentuk partai atau pindah ke partai lain. Permasalahan internal partai dapat merugikan partai politik tersebut dari agenda politiknya. Implikasi lebih luas, dapat menyebabkan keresahan di masyarakat dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Karena konflik internal partai politik perselisihan kepengurusan tentu akan mempengaruhi kinerja kader yang duduk dalam lembaga perwakilan maupun pemerintahan. Dalam hal ini rakyat yang paling dirugikan. Melihat realitas tata-kelola partai yang tidak sehat seperti dikemukakan di atas. Resolusi dan penyelesaian konflik menjadi rumit karena hampir semua elite partai terbelah ke dalam dua kubu yang berseteru. Beberapa mekanisme penyelesaian konflik dalam Undang-Undang Partai Politik yang pernah hadir di Indonesia pasca reformasi menghendaki adanya penyelesaian secara litigasi dan non- litigasi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Undang-Undang Partai Politik mengintroduksi mahkamah partai sebagai salah satu jalur penyelesaian internal partai. Namun sebagian anggota mahkamah partai juga terbelah ke dalam pihak yang berkonflik. 251 Menyebabkan jalur hukum melalui pengadilan negeri yang memiliki otoritas menerbitkan keputusan pertama dan terakhir atas perkara konflik partai harus ditempuh. Faktanya baik penyelesaian internal maupun melalui jalur hukum tidak menjamin terselesaikannya konflik. Belum lagi mekanisme penyelesaian konflik yang tercantum dalam Undang-Undang Partai Politik saat ini dapat menimbulkan multi tafsir di antara kubu yang berselisih. Permasalahan seperti ini bisa saja terjadi kembali dalam dinamika politik di Indonesia. Sehingga perlu adanya mekanisme penyelesaian perselisihan kepengurusan partai politik yang lebih konkret dan tidak multi tafsir. Karena Undang-Undang Partai Politik saat ini tidak lagi dapat mengakomodir penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam internal partai politik. 250 Muhtar aboddin, Konflik Partai: Perbandingan antara PKB dan PDP , dalam jurnal governance, Vol.1, No.2. Mei 2011, hlm. 100. 251 Lihat Syamsuddin aris, Mengelola Konflik Partai Politik , Desember tth., ttp. 1027

B. Pembahasan

1. Dinamika Penyelesaian Perselisihan Kepengurusan Partai Politik Di

Indonesia Partai politik seyogianya merupakan sarana untuk menyampaikan aspirasi- aspirasi dari masyarakat. Namun saat ini yang dirasakan, partai politik semakin kehilangan arah dan tujuannya. Menurut Carl J. Friedrich ataupun pendapat dari La Palombara dan Anderson, tujuan sederhana dari partai politik adalah untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. 252 Pada intinya partai politik merupakan sarana untuk menempatkan para wakilnya di pemerintahan melalui mekanisme pemilu. Namun, realita yang ditemui saat ini partai politik lupa akan fungsinya karena terlalu asik dengan tujuan pragmatis tersebut. Adanya pragmatisme politik yang merupakan salah satu ciri dari politik kartel membuat partai politik dan para elite partainya bersedia menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Sebagaimana Firmanzah mendefinisikan pragmatisme sebagai orientasi jangka pendek dari para aktor politik untuk dapat memenangkan persaingan politik. 253 Ketika elite partai memperebutkan kekuasaan untuk memenangkan persaingan politik dengan berbagai cara, maka perselisihan antar anggota partai tidak dapat dihindarkan. Persaingan yang jamak dilakukan oleh para elite partai adalah memperebutkan jabatan kepengurusan partai politik. Karena kepengurusan merupakan jabatan tertingi dalam penguasaan partai politik untuk mengambil dan memutuskan berbagai kebijakan partai. Segala cara ditempuh untuk memenangkan persaingan dan acap kali terjadi perselisihan dalam setiap pergantian periode kepengurusan partai politik. Perselisihan kepengurusan partai politik tidak hanya terjadi akhir-akhir ini, untuk memperoleh gambaran perselisihan internal partai yang terjadi selama perkembangannya dan bagaiamana penyelesaiannya, kita dapat mencermati dinamika penyelesaian perselisihan kepengurusan partai politik berdasarkan historis atas dua periode pemerintahan, yaitu : pertama, periode Orde Lama [Demokrasi Liberal Parlementer 1945-1959 dan periode Demokrasi Terpimpin 1959-1965]. Kedua, periode Orde Baru 1965-1998. a. Periode Orde Lama 1945-1965 Perselisihan kepengurusan partai pada masa ini demokrasi liberal parlementer mengambil contoh dari partai besar yang dianggap sebagai satu- satunya partai politik bagi umat islam. Pertumbuhan partai Masjumi yang secara spontan dan para tokoh idealisnya yang berfariasi menyebabkan partai Masjumi 252 Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, 2015, Partai Politik Dan Sistem pemilihan Umum Di Indonesia Teori, Konsep dan Isu Strategis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 181. 253 Firmanzah. 2011. Mengelola Partai Politik, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm.22. 1028 menghadapi banyak kendala dalam mewujudkan misinya. Hal seperti ini dapat dibuktikan ketika Masjumi dihadapkan kepada pembahasan struktur yang tidak kunjung pernah selesai. Semenjak berdirinya 1945 sampai pada saat akan bubar 1960 masalah struktur dan organisasi partai Masjumi terus menjadi pembahasan dari kongres ke kongres. Pembahasan kadang-kadang menghasilkan perincian