Partai Politik Indonesia Sebagai Kenyataan
22
The multy party pattern of the pre-war nationalist movement had re-emerged in November 1945, when the Republic s government had formally called for the
establishment of parties. Influenced by the model of the Netherlands and other continental countries with multy party system, the leaders of the Republic did
not expect or hope for a system of only two parties .
17
2. Tentang peran partai tahun 1950-an.
18
2.1. to break down the political and psychological barriers with divided non s
from co s those who had not cooperated with the Dutch in the revolutionary period from those who had. And they provided the co s with a means of
clearing their names .
19
2.2. Even more important, parties now had important patronage function In
effect the parties obliged the government to distribute its stone of material and status rewards largely through them government posts, business
opportunities, overseas trips, houses, and cars tended to go chiefly to those with party connections Parties were principal channel of access to the
bureaucracy .
20
3. Tentang keanggotaan partai
21
To be a party members was to be modern, politically conscious an alert citizen
aware of the important of nationality. And to be an office bearer of a party was to be a man of prestige, for political distinction had become probably the most important
source of status in society as a whole. It was furthermore, a step toward greater
17
Pola sistem partai banyak yang ada pada masa sebelum perang kemerdekaan muncul kembali pada November 1945 saat Pemerintah Republik Indonesia menganjurkan secara resmi
pembentukan partai-partai politik. Terpengaruh oleh sistem di Belanda, dan beberapa negara Eropa daratan yang menerapkan sistem partai banyak, para pemimpin Republik ini tidak
menghendaki sistem dua partai.
18
Ibid.
19
Untuk memutus hambatan-hambatan politik dan psikologis yang terbagi antara pro dan kontra – [yaitu] antara mereka yang tidak bekerjasama dengan Belanda saat revolusi kemerdekaan dan
mereka yang bekerjasama – Pemerintah menyediakan cara untuk membersihkan nama mereka.
20
Bahkan yang lebih penting, partai-partai politik mempunyai fungsi penting sebagai pelindung…efeknya, partai politik mewajibkan Pemerintah membagi anggaran dan penghargaan
status kepada mereka [partai politik]…jabatan-jabatan pemerintahan, kesempatan-kesempatan di lapangan bisnis, perjalanan luar negeri, rumah-rumah serta mobil-mobil terutama diperuntukkan
bagi mereka yang mempunyai koneksi atau hubungan dengan partai politik…partai menjadi penghubung penting terhadap akses ke birokrasi.
21
Ibid, hlm 124.
23
prestige, both the prestige of being a higher echelon party leader and that of holding a high office of state to which one had come through nomination by one s party
party were a principal means by which one s status ambitious could be realized .
22
4. Tentang kepemimpinan partai
23
At first sight it would seem that parties were dominated by their top leaders, by the small group of men having close personal acquaintance with one another and
influenced at the highest levels of the government .
24
Bagaimana deskripsi-deskripsi di atas masih tercermin dalam kepartaian di Indonesia? Ada yang lebih suram atau lebih baik?
1. Tentang korupsi Ditinjau dari pelaku, korupsi dapat dibedakan: korupsi di lingkungan birokrasi,
korupsi di lingkungan penegakan hukum, korupsi di lingkungan lembaga politik, dan korupsi yang melibatkan pranata di luar tiga lingkungan tugas yang telah
disebutkan, seperti korupsi oleh lembaga bisnis atau luar bisnis. Walaupun tidak pasti sebagai produk sampingan , ada korupsi yang dapat dipertalikan dengan
partai politik, seperti: a. Korupsi yang melibatkan sejumlah gubernur, bupati, walikota. Meskipun
mereka pejabat di lingkungan birokrasi, tetapi sebagian mereka adalah anggota partai politik dan proses pencalonan serta pemilihan tidak terlepas
dari partai politik political appointee. b. Korupsi yang melibatkan pimpinan partai atau anggota DPR, tidak mungkin
terlepas dari partai politik. 2. Tentang jabatan politik dan jabatan lain.
22
Menjadi anggota partai haruslah bersikap modern dan mempunyai kesadaran politik – seorang warga negara yang selalu sadar atas pentingnya kebangsaan. Dan menjadi pengurus sebuah
partai haruslah orang yang berwibawa, dengan mana kemampuan politik tersebut menjadi salah satu sumber penting bagi status [seseorang] dalam sebuah masyarakat secara keseluruhan.
Lebih-lebih, menuju pada tahap selanjutnya mendapatkan kewibawaan yang lebih tinggi, baik kewibawaan sebagai pimpinan tertinggi partai dan pemegang jabatan pemerintahan melalui
nominasi partainya…partai menjadi cara utama untuk merealisaskan ambisi seseorang.
23
Ibid.
24
Pada mulanya tampak partai-partai sangat didominasi oleh pimpinan-pimpinan tertinggi, oleh sekelompok kecil anggota yang mempunyai hubungan personal yang sangat dekat dan saling
mengenal satu sama lain, dan berpengaruh pada jajaran tertinggi pemerintahan
24
Dalam praktik, umum diketahui adanya jual beli jabatan politik. Keterlibatan partai politik dapat terjadi:
a. Kepada publik hampir selalu diperdengarkan ungkapan money politics , atau uang perahu yang harus disetorkan calon kepada partai, atau ungkapan-
ungkapan lainnya. b. Pengangkatan pejabat negara melalui DPR mekanisme fit and proper test ,
akan bernuansa politicking , dan dapat mendorong para calon tidak hanya mencari dukungan dari anggota DPR, tetapi juga fraksi-fraksi di DPR, bahkan
partai politik. Ada pula sebagian orang yang menggunakan partai politik dan duduk di lembaga politik atau pemerintahan melalui partai politik semata-
mata sebagai peluang untuk, misalnya, memiliki akses dengan birokrasi, pusat-pusat kegiatan ekonomi negara, dan lain sebagainya.
Mungkin dapat ditambah dengan hal-hal lain. Tetapi mengapa hal-hal semacam itu terjadi?
Pertama; faktor internal. Ada berbagai faktor internal yang menjadi kenyataan atau wajah partai politik kita sekarang ini.
1. Banyak partai Reformasi membuka kembali sistem partai banyak multi partai yang tidak
terbatas seperti yang terjadi di masa Revolusi sampai tahun 1960-an. Di masa Orde Lama ada penyederhanaan kepartaian partai menjadi 10 partai melalui
Perpres No. 7 Tahun 1960 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian dan Perpres No. 2 tahun 1962 tentang Larangan Organisasi Yang
Tidak Sesuai Dengan Kepribadian Indonesia. PSI dan Masyumi termasuk partai yang terlarang. Demikian pula, Murba yang dibekukan.
Di masa Orde Baru, Pemerintah mewajibkan partai-partai yang ada dari masa Orde Lama, bergabung sehingga hanya ada 3 partai, yakni PPP, PDI dan
SEKBER GOLKAR. SEKBER GOLKAR sangat kukuh menyatakan diri bukan partai politik. Suatu bentuk manipulasi , karena organisasi ini melakukan
kegiatan yang lazim sebagai partai politik, seperti ikut dalam pemilihan umum serta mendudukkan anggota dalam organisasi negara legislatif dan eksekutif.
Di masa Reformasi, selain yang berdiri sejak masa awal Reformasi, setiap menjelang pemilihan umum ada pendaftaran partai politik baru. Partai yang
25
dalam pemilihan umum tidak memenuhi electoral threshold tinggal
mengubah nama dan mendaftar sebagai partai baru. 2. Tidak ada konsistensi antara idelogi dengan aktifitas politik.
Reformasi menghidupkan kembali partai atas dasar ideologi atau keyakinan tertentu. Di masa Orde Baru, hanya Pancasila yang boleh menjadi dasar
ideologi partai dan organisasi sosial. Lagi-lagi hal ini hanya sekedar supaya mempunyai hak hidup . Semua partai atau organisasi memang menyebut
berdasarkan Pancasila , tetapi biasanya ada embel-embel seperti semangat ke-Islaman ,
nasionalisme , dan lain-lain. Peluang ini memang tidak disalahkan . Selain itu, Pancasila sebagai ideologi belum berisi ajaran
doktrin, melainkan sekedar sebagai filosofische grondslag . Itulah yang terjadi hingga hari ini, sehingga baik partai maupun dalam penyelenggaraan
negara, tidak tampak adanya comprehensiveness dan kebijakan yang koheren coherent policy dalam melaksanakan Pancasila. Suatu ketika, sistem ekonomi
etatisme disebut berdasarkan Pancasila. Begitu pula sistem ekonomi yang menempatkan kapital dan pasar sebagai jalan menuju kesejahteraan dianggap
sebagai bagian dari sistem Pancasila. 3. Pendorong kelahiran partai motif mendirikan partai.
Ada sejumlah pendorong atau motif mendirikan partai, antara lain: a. Sebagai upaya pemurnian kembali ideologi yang selama ini terabaikan
atau sebagai sesuatu yang harus diwajibakan untuk dijauhi. b. Akibat ketidakpuasan atau perpecahan didalam partai yang ada. Hal ini
umumnya terjadi akibat perebutan hegemoni dan kepemimpinan didalam partai, atau ada unsur idealistik sebagai koreksi terhadap partai atau
semata-mata karena peluang internal yang tidak memadai. c. Dorongan untuk tetap mempunyai peran dan memperoleh dukungan
dalam upaya memantapkan atau memperoleh bagian kue kekuasaan. d. Hampir selalu menghadapkan figur pribadi seperti tokoh perlawanan ,
penampilan yang mempesona publik, berasal dari keturunan tokoh tertentu, dan lain-lain personal performance . Karena itu
seperti disebutkan di atas
tidaklah mengejutkan, suatu partai didirikan tanpa suatu tuntunan comprehensive policy , apalagi program yang akan
26
diperjuangkan dan dijalankan. Tidak pula mengherankan, partai-partai tumbuh menjelang pemilihan umum dan pemilihan Presiden, karena
orientasi utama adalah sekedar mendudukkan anggota atau pendukung dalam susunan organisasi negara atau pemerintahan.
4. Kepemimpinan oligarkis. Merupakan suatu kenyataan, setiap organisasi, baik negara maupun swasta,
dijalankan atau dikelola oleh sedikit orang the minority. Ada dua corak kepemimpinan oleh yang sedikit, yaitu atas dasar oligarkisme atau
elitisme . Apa bedanya? Oligarkisme bertolak dari ukuran ingroup dan outgroup yang bertolak dari spoil system , seperti berjuang bersama ,
ikatan kepentingan, keturunan, atau loyalitas. Dalam tatanan elitisme , ukuran ingroup dan outgroup dapat bergeser didasarkan pada prinsip
meritisme , terutama yang berkaitan dengan expertise, responsibility, dan accountability.
Walaupun telah cukup banyak pengelola partai kita yang dapat digolongkan sebagai elit, tetapi kepemimpinan tetap didasarkan pada tatanan oligarkisme.
Bukan expertise, responsibility, dan accountability yang berada di depan, melainkan tunduk pada pimpinan. Tidak heran, kalau kepada kita
diperdengarkan ungkapan menunggu keputusan BapakIbu pimpinan . 5. Rekruitmen keanggotaan dan representasi partai pada jabatan publik.
Orientasi utama partai-partai politik adalah mempunyai orang dalam lembaga-lembaga publik badan perwakilan dan pemerintahan. Hal ini sangat
mempengaruhi rekruitmen, yaitu sekedar menemukan orang yang dapat menarik publik tanpa perlu dipertalikan dengan sistem rekruitmen sebagai
kader partai. Pola ini bertemu buku dengan orang-orang yang mencari peluang untuk ikut dalam kekuasaan karena merasa mempunyai nama,
memiliki modal, atau sebagai peluang melapangkan kepentingannya. Karena itu
seperti telah dicatat di atas orang-orang partai di badan perwakilan
DPR, DPRD, gubernur, bupati dan walikota, selain tidak paham benar mengenai pekerjaannya, juga diadili karena pelanggaran hukum. Hal ini
27
berbeda dengan deskripsi Feith tentang anggota dan pemimpin partai tahun 1950-an:
To be a party member was to be modern, politically conscious an alert
citizen aware of the important of nationality. And to be an office bearer of a party was to be a man of prestige, for political distinction had
become probably the most important source of status in society as a whole.
25
Menjadi anggota partai haruslah bersikap modern dan mempunyai kesadaran politik
seorang warga negara yang selalu sadar atas pentingnya kebangsaan. Dan menjadi pengurus sebuah partai haruslah
orang yang berwibawa dengan mana kemampuan politik tersebut menjadi salah satu sumber penting bagi status [seseorang] dalam
sebuah masyarakat secara keseluruhan.
Kedua; faktor eksternal. Seperti halnya faktor internal, dijumpai beberapa faktor yang mempengaruhi performance partai politik di Indonesia.
1. Faktor tatanan dan sistem politik a. Praktik sistem pemerintahan
Secara konstitusional, sistem pemerintahan presidensil semestinya tidak banyak pengaruh partai terhadap susunan dan kebijaksanaan Pemerintah.
Tetapi karena ada praktik wakil resmi partai dalam Kabinet, partai menjadi sangat berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan,
partai meskipun dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
tidak mencalonkan atau mendukung orang yang kemudian menjadi Presiden
dan Wakil Presiden, tetapi berlomba untuk duduk dalam Kabinet.
Akibatnya, Kabinet menjadi multi wajah yang menyulitkan adanya satu
coherent policy
yang akhirnya
berpengaruh pada
efektifitas pemerintahan. Efektifitas menjadi makin sulit karena pimpinan
pemerintahan sendiri tidak membekali diri dengan comprehensive policy dan program yang harus dijalankan oleh semua anggota Kabinet.
Akibatnya, menteri bekerja menurut gagasan dan kemauan sendiri .
25
Ibid.
28
b. Praktik sistem pemilihan umum Walaupun telah diadakan modifikasi, seperti proporsional tertutup dan
electoral threshold, sistem ini apalagi di Indonesia dengan wilayah luas
dan penduduk banyak akan tetap menimbulkan hal-hal sebagai berikut: 1 Menjadi pendorong tumbuhnya sistem partai banyak.
2 Rakyat pemilih tidak mengenal calon yang mereka pilih. Atau dengan kata lain, ada jarak antara pemilih dan yang dipilih.
3 Calon tidak memikul kewajiban mengetahui daerah pemilihannya. Akibatnya, calon lebih berorientasi pada persoalan nasional.
4 Kekuatan politik di badan perwakilan akan terpecah. Walaupun tidak mempunyai konsekuensi terhadap stabilitas pemerintahan, tetapi
mendorong terjadinya koehandel yang sangat berpengaruh pada efektifitas pemerintahan.
5 Sistem partai banyak yang disertai sistem pemilihan proporsional mendorong persaingan tidak sehat antar partai politik yang
menimbulkan money politics . 6 Didorong keinginan memperoleh suara sebanyak-banyaknya untuk
menduduki kursi badan perwakilan dan jabatan-jabatan yang dipilih langsung terutama di tingkat daerah, selain money politics, para calon
yang diutamakan yaitu para vote getter , bukan kader-kader partai yang berkualitas. Politik oligarki atas dasar spoil system tidak hanya di
lingkungan internal partai, tetapi juga dalam mengisi jabatan-jabatan publik yang dipilih. Isteri dan anak gubernur, bupati ataupun walikota,
diusahakan untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Begitu pula, keanggotaan pada badan-badan perwakilan menunjukkan praktik yang
mirip. c. Kekuasaan DPR yang hampir tanpa batas.
Kekuasaan DPR yang hampir tiada batas merupakan alat efektif kepentingan partai. Salah satu sasaran perubahan UUD 1945 yaitu
menggeser executive heavy yang dipandang sebagai sumber kekuasaan otoritarian. Di pihak lain, untuk menjamin demokrasi, DPR diperkuat
sehingga menjadi legislative heavy , baik di bidang legislatif, anggaran,
29
maupun pengawasan. Sayangnya, dalam praktik penguatan ini hanya mengenai hak anggaran dan pengawasan. Sedangkan pelaksanaan
kekuasaan legislatif sangat tidak memuaskan, baik jumlah maupun kualitas. Penguatan DPR tidak lagi sekedar lebih menegaskan checks and
balances. Bukan saja antara Presiden dan DPR, tetapi juga dengan lembaga- lembaga negara lain, seperti prosedur pencalonan pimpinan dan anggota
lembaga negara dan lembaga pemerintahan yang harus melalui persetujuan dan konfirmasi consent and confirmation DPR.
Meskipun disebut perwakilan rakyat DPR, DPRD, tetapi secara nyata
DPR termasuk DPRD adalah representasi partai politik. Penguatan
DPR adalah penguatan partai politik. Meskipun melalui Mahkamah Konstitusi memungkinkan calon independen , dalam kenyataan, calon
Presiden dan Wakil Presiden sangat ditentukan partai politik. Partai politik menjadi lebih kuat karena dalam Kabinet diberi tempat menteri sebagai
wakil resmi partai supra. Tidak berlebihan, meminjam ungkapan Lord Bryce mengenai Parlemen Inggris: Parlemen itu kekuasaannya tidak
terbatas, kecuali mengubah kelamin perempuan menjadi laki-laki atau kelamin laki-laki menjadi perempuan . Dengan demikian kita dapat
melihat bersatunya kekuasaan DPR yang sekaligus kekuasaan partai politik. Pertanyaannya, apakah menyatunya DPR dan partai politik
berjalan paralel dengan penguatan demokrasi dalam makna pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat ?
2. Faktor sosial Dalam makna sosial, demokrasi adalah partisipasi rakyat yang dilaksanakan
secara bebas dalam penyelenggaraan negara. Kebebasan itulah yang sebenarnya menjadi galih inti dasar demokrasi. Kalau tidak ada kebebasan, partisipasi tidak
lain dari mobilisasi. Pertanyaannya, apakah keikutsertaan rakyat seperti dalam
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah suatu
bentuk partisipasi atau mobilisasi? Paling tidak, sejak Orde Lama sampai hari ini, rakyat belum berkesempatan
secara bebas menjalankan partisipasi sebagai wujud equality among the equals ,
30
yang ada adalah mobilisasi. Di masa Orde Lama, mobilisasi dilakukan atas nama revolusi belum selesai ,
melawan imperialisme dan neo-kolonialisme , melawan tujuh setan desa , dan lain-lain jargon. Di masa Orde Baru, mobilisasi
dilakukan atas nama demi pembangunan , stabilitas politik , asas tunggal , dan lain-lain.
Bagaimana di masa Reformasi? Mobilisasi dijalankan dengan money politics. Kalau di Inggris pada abad 17 dan awal abad 18 dikenal ungkapan buying and
selling political office . Sejak Reformasi, selain jual beli jabatan melalui hal-hal seperti uang perahu , juga terjadi jual beli suara pemilih buying and selling
electoral vote. Rakyat juga membangun diri menjadi political economist , kemana suara diberikan tergantung pada bayarannya.