Mekanisme Penyelesaian Konflik PROSIDING KNHTN 3
1078 Selanjutnya adalah perlu dicari penyelesaian sebuah konflik apabila konflik tersebut
tidak menemukan titik temu dan semua pihak yang berselisih masing-masing memaksakan kehendaknya dan menggunakan segala kekuatan dan kekuasaannya
untuk mencapai tujuan subjektif masing-masing. Sama seperti halnya konflik internal yang terjadi di Golkar dan PPP, dualisme kepengurusan yang terjadi akibat masing-
masing pihak berebut akan kursi kekuasaan untuk menjadi ketua umum partai dan tidak berhasil upaya untuk mempersatukan dan memusyawarahkan kepentingan
yang satu dengan kepentingan yang lain dengan tujuan adalah kemasalahatan bersama dan keberlanjutan partai politik kedepannya.
Penyelesaian konflik internal partai diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik UU Parpol, Pasal 32 menyatakan:
1 Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART
2 Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk
oleh Partai Politik. 3 Susunan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. 4 Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat
2 harus diselesaikan paling lambat 60 enam puluh hari. 5 Putusan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat fnal dan mengikat
secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.
Rumusan Pasal 32 ayat 1 UU Parpol diperjelas dengan Penjelasan Pasal 32 ayat 1 sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik meliputi antara lain:
1 Perlesihan yang berkenaan dengan kepengurusan; 2 Pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik;
3 Pemecatan tanpa alasan yang jelas; 4 Penyalahgunaan kewenangan;
5 Pertanggungjawaban keuangan; danatau 6 Keebratan terhadap keputusan Partai Politik.
Selanjutnya dalam Pasal 33 UU Parpol menentukan:
1 Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagiaman dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.
2 Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
3 Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 enam puluh hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan
pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 tiga puluh hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.
Mekanisme penyelesaian konflik internal partai politik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 32 dan Pasal 33 UU Parpol yang menyatakan bahwa perselisihan
atau konflik internal partai harus dielesaikan oleh Mahkamah Partai. Penyelesaian konflik secara internal oleh Mahkamah Partai ini merupakan pilihan yang harus
dijalankan bagi setiap partai politik yang berkonflik internal karena merupakan jalan utama yang harus ditempuh. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2003 tentang Perkara Perdata Berkaitan Pemilu dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2003 tentang Gugatan yang
Berkaitan Partai Politik. Dalam surat edaran itu Mahkamah Agung meminta agar
1079 penyelesaian yang menyangkut permasalahan internal dalam tubuh partai untuk
diselesaikan melalui mekanisme internal partai sebelum mengajukan ke lembaga peradilan. Selanjutnya dalam edaran tersebut juga meminta agar pengadilan
menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang menyangkut atau berhubungan dengan persoalan internal partai.
Apabila dilihat substansi surat edaran Mahkamah Agung tersebut, maka apabila partai politik terjadi konflik maka pengelolaannya tidak melibatkan pengadilan.
Kader politk harus mengelola konflik internalnya dan penyelesaiannya melalui mekanisme rumah tangga internal partai politik. Konflik internal partai politik dalam
penyelesaiannya agar tidak melibatkan pengadilan. Dalam hal ini bertujuan agar rangka memberikan pendidikan politik agar bisa mewujudkan tradisi mengelola
konflik internalnya secara elegan dan dewasa. Partai politk dipaksa mengatasi konflik internalnya sebagai jalan untuk mendewasakan cara berdemokrasi. Selain itu,
mekanisme penyelesaian konflik melalui mekanisme internal ini diharapkan dapat membendung bentuk-bentuk interevensi dari luar. Apabila penyelesaian konflik
melalui pengadilan, maka dapat dimungkinkan adanya intervensi atau kepentingan yang mempengaruhi putusan pengadilan tersebut.
Namun, dalam hal ini kondisi Mahkamah Partai juga harus mampu bersikap netral dan mandiri serta independen dalam memutus perselisihan konflik internal partai.
Mahkamah Partai harus terbebas dari intervensi para pihak yang berselisih agar putusan mahkamah partai yang bersifat final dan mengikat ini dapat memberikan
keadilan dan kemanfatan serta kepastian dan dapat dijalankan oleh para pihak yang bersengketa. Meskipun buknan organisasi resmu seperti Mahkamah Kehormatan
Dewan dalam UU MPR, DPR, DPD, DPRD MD3, Mahkamah Partai berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik internal partai. Putusan Mahkamah Partai yang
bersifat final dan mengikat ini seharusnya dapat dipahami bahwa putusan tidak bisa lagi dibawa ke ranah judikasi, baik PTUN maupun PN-MA. Hal tersebut untuk
mendorong penyelesaian secara internal yang bebas dari campur tangan kekuasaan lain seperti Pemerintah dan Pengadilan. Sehingga penyelesaian konflik dilakukan
sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu musyawarah dan mufakat konsesus. Tetapi dalam hal ini kasus yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar, terlihat bahwa mahkamah
partai tidak mampu untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, dikarenakan dalam amar putusan yang dibuatnya tidak memberikan kepastian pihak manakah yang
menang dan pihak manakah yang kalah, adapun putusan yang dibuat dengan amar berbunyi sebagai berikut:
Mengadili:
Dalam Eksepsi:
- Menerima eksepsi para Termohon dalam Perkara Nomor 02PI-
GOLKARII2015 untuk sebagaian;
- Menyatakan permohonan Para Pemohon dalam Perkara Nomor 02PI-
GOLKARII2015 tidak dapat diterima;
Dalam Pokok Permohonan
- Oleh karena terdapat pendapat yang berbeda diantara Anggota Majelis
Mahkamah terhadap Pokok Permohonan, sehingga tidak tercapai kesatuan pendapat didalam menyelesaikan sengketa mengenai keabsahan kedua
Munas Partai GOLKAR IX;
1080 Dalam amar putusan Mahkamah Partai Golkar tersebut dapat terlihat bahwa
Mahkamah Partai dengan tegas menyatakan tidak tercapai kesatuan pendapat di dalam menyelesaikan sengketa mengenai keabsahan kedua Munas Partai GOLKAR IX,
sehingga tidak ada putusan yang menetapkan salah satu dari kedua Munas IX Partai GOLKAR Bali dan Ancol sebagai Munas IX yang sah. Mahkamah Partai gagal untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut, adapun banyak faktor yang mempengaruhi salah satunya adalah karena sebagian anggota Mahkamah Partai juga terbelah
kedalam para pihak yang berkonflik. Putusan Mahkamah Partai Golkar tersebut juga dianggap tidak memberikan kepastian karena tidak adanya standarisasi dan tidak
memenuhi kaidah-kaidah dalam pembuatan putusan tersebut apakah mengacu kepada Putusan Mahkamah Agung atau Putusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut
tentunya akan menimbulkan penafsiran lain apabila putusan yang dibuat tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pembuatan putusan. Sebagaimana, hasil dari putusan
Mahkamah Partai Golkar tersebut kemudian ditafsirkan lain oleh Menteri Hukum dan Ham yang menyatakan bahwa berdasar putusan tersebut maka Kepengurusan yang
sah adalah hasil dari Munas GOLKAR Ancol. Dimana Menkumham dalam pertimbangnya mengeluarkan Surat Keputusan tersebut adalah berdasar dari
penafsiran Putusan Mahkamah Partai dalam hal ini Hakim Andi Matalatta dan Hakim Djas Marin menerima kepengurusan hasil Munas golkar yang dilaksakaan di Ancol.
Padahal Putusan tersebut diambil oleh Majelis Anggota yang berjumlah 4 empat orang, dimana kedua hakim lainnya Muladi dan Natabaya tidak memberikan
pendapat seperti penafsiran Menkumham dan hanya memberikan 4 empat rekomendasi terkait perselisihan tersebut yaitu : Menghindari bahwa yang menang
mengambil semuanya, rehabilitasi yang dipecat, apresiasi yang kalah dalam kepengurusan, dan yang kalah berjanji tidak akan membentuk partai baru.
Rekomendasi tersebut dalam pendapat yang tertuang di Putusan Mahkamah Golkar.
Selain itu, efektivitas Mahkamah Partai dalam menyelesiakan konflik internal partai dikur dari tingkat kepatuhan para pihak yang bersengketa terhadap putusan
Mahkamah Partai tersebut. Adapun dalam konflik internal PPP meskipun dengan adanya Putusan Mahkamah Partai namun tidak mencapai islah perdamaian, karena
putusan Mahkamah Partai tidak dipatuhi dan tidak dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa. Para pihak yang berselisih tersebut malah melanggar ketentuan
dalam putusan yakni dengan menyelenggarakan Muktamar VIII PPP di Surabaya tanggal 15-18 Oktober 2014 dan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober -2 November
2014. Meskipun sebenarnya Putusan Mahkamah Partai PPP dalam putusannya apabila islah tidak tercapai maka akan ditentukan penyelenggaran Muktamar oleh
Majelis syariah PPP dan telah ditentukan pada tanggal 30 Oktober
– 2 November 2014 di Jakarta. Seharusnya, apabila dilihat dari putusan tersebut, maka
penyelenggaraan Muktamar yang sah adalah Muktamar yang dilaksakanan di Jakarta. Namun, dengan adanya campur tangan dari Menkumham yang membuat Surat
Keputusan atas permintaan dari Muktamar surabaya untuk mengesahkan kepengurusan yang terbentuk dari hasil muktamar Surabaya tersebut, maka
sebenarnya Surat Keputusan yang dibuat itu adalah bentuk intervensi dan pemihakan politik yang mencapuradukan kepentingan politik dan kepentingan pejabat tata
usaha negara yakni Menteri.
Intervensi Politik dari Eksekutif juga dapat turut campur dalam perselisihan konflik internal Partai. Seringkali campur tangan tersebut bukannya memberikan solusi
1081 ataupun penyelesaian atas konflik tetapi malah memperkeruh keadaan dan
memperuncing perselesihan yang terjadi diantara para pihak. Sebagaimana konflik yang terjadi di Golkar maupun PPP yang dipersengketakan di pengadilan adalah
Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Ham yang mengesahkan salah satu kepengurusan dari salah satu pihak. Meskipun dalam ketentuan UU Parpol yang
menyatakan bahwa apabila penyelesaian perselisihan internal Partai melalui Mekanisme internal atau Mahkamah Partai tidak tercapai, maka penyelesaian
perselisihan dilakukan melalui Pengadilan Negeri. Dalam hal ini, sebelum mekanisme penyelesaian diselesaikan melalui Pengadilan Negeri tetapi Menteri Hukum dan Ham
malah sudah menerbitkan Surat Keputusan yang mengesahkan kepengurusan dari salah satu pihak berdasarkan keputusan Mahkamah Partai atau permintaaan
pengesahan dari salah satu pihak. Meskipun kewenangan pejabat TUN dalam hal ini Menteri Hukum dan Ham untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang Pengesahan
Kepengurusan Partai tersebut merupakan perintah Undang-Undang namun seyogyanya kewenangan tersebut tidak ditafsirkan dalam membuat norma Diskresi
dalam hal ini menentukan kepengurusan mana yang dipilih untuk disahkan. Seharusnya Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM tentang pengesahan
kepengurusan partai politik harus berdasarkan atas hasil Penyelesaian di Pengadilan baik itu Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung di tingkat kasasi. Sehingga,
Kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Hukum dna HAM bukanlah mengintervensi maupun mencampuri konflik internal yang ada di partai politik maupun
memperparah keadaan dualisme kepengurusan yang ada di dalam tubuh partai politik tersebut.
Pun ketika terjadi konflik dimana Mahkamah Partai sedang bersidang yang bersamaan dengan persidangan di Pengadilan Negeri sebagaimana terjadi di kasus
Golkar yaitu ketika Kubu Aburizal Bakrie mendaftarkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun pada satu sisi Kubu Agung Laksono gugatan
sidang Mahkamah Partainya diterima dan segera dilaksanakan. Dalam hal ini, maka seharusnya mekanisme yang didahului adalah mekanisme internal yaitu melalui
sidang Mahkamah Partai Golkar. Adapun hasil dari Putusan Mahkamah Partai dapat terbagi menjadi 3 tiga yaitu Menerima, Menolak atau Rekomendasi. Dalam hal
Putusan yang dibuat oleh Mahkamah Partai Golkar tidak menyatakan Para Pihak yang sah ataupun mengkabulkan atau menerima atau memenangkan salah satu pihak.
Selain itu, Putusan yang dibuat haruslah diambil oleh Majelis yang berjumlah ganjil, hal itu agar dapat mengambil keputusan dengan voting dalam hal tidak ditemukan
titik temu atau kesepakatan oleh para anggota Majelis. Dalam hal Anggota Majelis Mahkamah Partai Golkar yaitu Muladi dan Natabaya dengan Andi Matalatta dan
Djasri Marin memberikan pendapatnya yang berbeda sehingga tidak dapat diputus siapa yang sah dan tidak dalam perkara pengesahan pengurusan tersebut. Putusan
Mahkamah Partai yang tidak menyatakan atau menerima kepengurusan yang sah dan diambil dari pendapat dua hakim yang berbeda dengan dua hakim lainnya, maka
dapat disebut tidak ada putusan didalamnya. Ketika hal itu terjadi, seharusnya Pejabat TUN tidak bisa menggunakan dasar putusan Mahkamah Partai sebagai
pertimbangan untuk mengesahkan putusan TUN Pengesahan Kepengurusan Partai. Dalam Pasal 33 UU Parpol apabila tidak tercapai keputusan, maka perselisihan itu
diselesaikan melalui Pengadilan Negeri. Atau apabila mencontoh dari keputusan Mahkamah Konstitusi, apabila ada komposisi hakim yang sama pendapatnya, maka
1082 diambil keputusan dari pendapat ketua Majelis itu berada untuk menentukan siapa
yang menang dan kalah. Sehingga dalam hal ini, penyelesaian konflik internal Partai Politik seyogyanya adalah
dilakukan dengan mekanisme internal sebagai diperintahkan dalam Pasal 32 dan Pasal 33 UU Parpol yaitu dengan menggunakan Mahkamah Partai. Mahkamah Partai
yang kewenangannya diberikan oleh UU untuk menyelesaikan persengketaan perselisihan partai secara internal yangmana putusannya bersigat final dan mengikat.
Hal tersebut meurpakan kewenangan absolut dari Mahkamah Partai ataupun apabila tidak dapat diambil secara mufakat dapat dengan Alternative Dispute Resolution yaitu
rekonsiliasi, mediasi atau arbitrase.
Selanjutnya adalah setelah ada putusan Mahkamah Partai yang bersifat konstitutif yakni menimbulkan atau meniadakan akibat hukum baru, putusan tersebutlah
dijadikan dasar dalam menerbitkan Surat Keputusan tentang pendaftaran pengurus yang menjadi sengketa atau perselisihan tentang dualisme kepengurusan dalam
struktur partai. Surat Keputusan Menkumham tersebut sebagai wewenang yang diberikan dalam Pasal 32 UU Parpol sebagai pejabat TUN untuk menerbitkan objek
TUN yang bersifat Deklaratif yakni hanya mengesahkan tanpa merubah akibat hukum baru dari Putusan Mahkamah Partai yang bersifat konstitutif. Putusan Mahkamah
Partai yang bersifat konstitutif itu harus berisi atau Diktum yang mengabulkan atau menolak sehingga memiliki akibat hukum baru. Sehingga Putusan Mahkamah Partai
tersebut adalah Final and binding, karena atas kuasa UU Parpol putusannya diberi status oleh negara dan diakui, dan Mahkamah Partai sebagai lembaga yang
melakukan menguji to settel the dispute dan merupakan bagian dari internap partai itu sendiri yang harus memutus atas suatu perselisihan pengurus, mana yang sah dan
tidak, bukan hanya memberikan rekomendasi-rekomendasi.