Budaya Demokrasi di Internal Partai Politik

607 awam yang relatif terinformasi. Lapisan itu akan menjadi basis pendukung demokratisasi. Tanpa dukungan lapisan di atas, demokrasi hanya menjadi prinsip yang mengambang. Konsekuensinya, sebelum lapisan itu terbentuk, program demokratisasi sebaiknya ditunda. Perhatian diarahkan terlebih dahulu pada upaya pembentukan lapisan tersebut. Program pertumbuhan ekonomi, berikut mobilisasi pendidikan, dijadikan leading sector, sedangkan sistem politik disubordinasikan. Maka ujung dari pendekatan ini adalah sebuah seruan bahwa proses pembangunan yang tengah mendahulukan pertumbuhan ekonomi dan menunda demokrasi jangan diganggu. Ia ibarat angsa yang tengah mengandung telur emas. Angsa itu pertumbuhan ekonomi dan telur emas itu demokrasi politik. Jangan disembelih angsa itu hanya karena ketidaksabaran menunggu telur. b. Aliran kedua melihat persoalan secara berbeda. Demokrasi bukan sebagai hasil dari perkembangan masyarakat tertentu, yang boleh absen selama perkembangan itu belum matang. Bagi aliran ini, demokrasi adalah prinsip yang harus hadir di setiap tahapan pembangunan. Belum terbentuknya kelas menengah ataupun belum tingginya kecerdasan kolektif masyarakat, tidak menghalangi aplikasi prinsip demokrasi. Justru tanpa prinsip demokrasi, rekayasa dapat melenceng dari tujuan semula. Tujuan utama partai politik untuk melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat, maka partai politik harus dibangun atas dasar budaya demokrasi internal partai politik. Demokrasi memang lebih dahulu muncul daripada partai politik, akan tetapi dalam sistem demokrasi modern keduanya tidak dapat dipisahkan. Bahkan sistem politik demokrasi tidak mungkin eksis tanpa partai politik dan sistem kepartaian. Partai politik dalam sistem politik demokrasi memiliki sejumlah peran: a. Merupakan instrumen suksesi kekuasaan melalui pemilihan umum peralihan kekuasaan secara periodik dan tertib; b. memobilisasi pendapat public; c. menjadi sarana bagi warga negara menyalurkan aspirasinya; d. menjadi sarana partisipasi warga negara dalam proses politik dan konstitusional dan dalam melaksanakan hak sipil dan politik; e. memediasi berbagai organisasi masyarakat sipil dengan lembaga negara, f. memperjuangkan aspirasi rakyat dalam pembuatan kebijakan public; g. menawarkan calon pemimpin Negara; dan h. menawarkan kohesi dan disiplin dalam pemerintahan dan partai oposisi menuntut akuntabilitas pemerintah kepada parlemen dan rakyat. 688 Dalam demokrasi, salah satu unsur yang amat penting ialah penyertaan politik political participation yang diwujudkan dalam bentuk pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah yang demokratik. Menurut Herbert Mc Closky 1972 688 The CAPF Bill Digest, Issue 0107 Juli 2007, pp2 sebagaimana dikutip dari S.K. Simba, Internal Governance Structures of Political Parties in Democratic Governance, paper presented at the 1st EAC Consultative Meeting for Political Parties in East Africa yang dilaksanakan pada 15-16 September 2011 di Nairobi, Kenya, dalam Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto, Seri Demokrasi Elektoral, Buku 6, Mendorong Demokratisasi Internal Partai Politik, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta : 2013, hlm. 5 608 dalam International Encyclopedia of Social Sciences bahwa, the term political participation will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or indirectly, in the formation of public policy . Norman H. Nie dan Sidney Verba 1975 dalam Handbook of Political Science, menyatakan bahwa penyertaan politik ialah, those legal activities by private citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel andor the actions the take . Samuel P. untington Joan M. Nelson 1977 dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, menjelaskan bahwa penyertaan politik ialah, activities by private citizens designed to influence government decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective . 689 Setidak-tidaknya terdapat dua alasan utama mengapa partai politik perlu melakukan demokratisasi dalam pengelolaan partai secara internal. Yang pertama merupakan alasan filosofis dan normatif. Demokratisasi pengelolaan partai politik secara internal merupakan keharusan tidak hanya karena partai politik merupakan badan publik karena UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menugaskan partai politik sebagai Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD dan yang mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang- Undang tentang Pemerintahan Daerah menugaskan partai politik untuk mengusulkan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah partai politik merupakan pintu masuk jabatan politik baik secara langsung lembaga legislative dan eksekutif baik tingkat pusat maupun daerah maupun secara tidak langsung seperti MA, MK, KY, BPK, dan Direksi Bank Sentral, tetapi juga karena partai politik merupakan jembatan’ antara rakyat dengan Negara melalui pelaksanaan fungsi representasi politik, yaitu menampung, memadukan dan memperjuangkan aspirasi berbagai unsur masyarakat menjadi kebijakan publik baik melalui lembaga legislatif maupun eksekutif. 690 Di Indonesia peran Partai Politik adalah sebagai pilar penyangga demokrasi. Dalam artian bahwa, keberadaan demokrasi tanpa adanya Partai Politik adalah sebuah situasi kekuasaan tanpa legitimasi. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka sudah selayaknya jika Partai Politik diharapkan mampu menjamin demokratisasi yang sehat dan efektif. Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan efektif, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Dengan Partai Politik pula, konflik dan konsensus dapat tercapai guna mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas dijadikan alasan untuk memecah belah partai, tapi konflik yang timbul dicarikan konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional. 691 Dengan partai politik yang sehat dan akan memperkuat pondasi demokrasi pada partai politik tersebut. 689 Musni Umar., , Demokrasi Dan Komunikasi Politik Dalam Pilkada DK Jakarta , Jurnal Komunikologi Universitas Esaunggul Vol. 4 No. 2, September 2007, hlm. 92. 690 Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto, Op. Cit, hlm. 41. 691 Marchel Fernando Rolos, Fungsi Partai Politik Dalam Melaksanakan Pendidikan Politik Bagi Masyarakat Studi Di Dewan Pimpinan Cabang Dpc Partai Demokrat Kota Manado , 609

C. Political Recruitment Calon Legislatif Oleh Partai Politik

Pola rekrutmen yang terjadi pada awal pemilu yang berlangsung tahun 1999 menunjukan adanya peran dominan dari pimpinan teras partai, baik di pusat atau pun di daerah, dalam menentukan calon anggota legislative. Dalam pemilu dengan sistem proporsional daftar tertutup proportional closed list, saham suara dari pemilu mutlak menjadi hak prerogratif partai kepada siapa suara pemilih itu akan diberikan. Kondisi ini melahirkan adanya penyakit kekuasaan berupa oligarkisme di tubuh partai, dimana pengambilan keputusan terpusat hanya pada segelintir elit partai dan akan berusaha terus menerus untuk dipertahankannya. Dalam kondisi seperti itu banyak dari kader partai yang menunjukan kesetiaannya, khususnya pada pimpinan partai, agar bisa menjadi nominasi dalam pencalegan atau pun hanya sekedar menjadi pengurus partai. 692 Dengan kondisi seperti itu, maka banyak menjadikan partai politik menjadi partai elit. Partai politik di Indonesia masing-masing memiliki cara sendiri untuk merekrut kader- kader dalam keanggotaan struktur partai politik. Selain itu setiap partai politik merekrut untuk dijadikan dalam keanggotaan di kursi parlemen. Parpol merekrut berdasarkan aturan-aturan yang dimiliki oleh parpol tersebut yang berkaitan dengan perekrutan, baik keanggotaan struktur harian parpol maupun keanggotaan dalam penentuan daftar calon tetap anggota legislatif. Dasar penguat dari suatu partai politik yaitu memiliki keanggotaan yang kuat dalam hal ini dimaksudkan bahwa jumlah anggota yang dimiliki parpol semakin banyak maka dasar kekuatan nya pun juga kuat. Selain itu, untuk dapat menjalankan fungsi parpol secara maksimal harus memiliki kursi di parlemen baik daerah, provinsi, maupun pusat. 693 Dengan posisi yang kuat diparlemen, pada dasarnya tidak boleh semata-mata partai politik mengejar kekuasaan dan menjadi partai elit, tetapi pola rekrutmen calon anggota legislative perlu menjadi perhatian dasar dalam pengutana partai politik, terutama dengan membangun tatanan demokrasi internal partai dan proses seleksi calon anggota legislative berdasarkan krtieria yang ditentukan, terutama rekam jejak sebelumnya. Secara umum, ada beberapa model yang digunakan untuk merekrut kader partai politik yang pada kahirnya menjadi calon anggota legislative, sebagai berikut : 694 a. Model Seligman dan Jacob Model yang paling sederhana dan paling awal untuk studi perekrutan politik, ditegaskan oleh Seligman yang dikutip oleh Soetomo, rekrutmen terdiri dari: 1 penyaringan dan penyaluran politik yang mengarah http:ejournal.unsrat.ac.idindex.phpjurnaleksekutifarticledownload75857143 , dikses pada tanggal 27 Mei 2016. 692 Asep Nurjaman, http:asepip.staff.umm.ac.idfiles201208ISI-BUKU-PARTAI-POLITIK4.pdf , diakses pada tanggal 28 Mei 2016, hlm. 77-78 693 Fitri Rahmadania, Rekrutmen Calon Legislatif Pada Pemilu Studi Kasus Mengenai Rekrutmen Politik PPP di Dapi l dan Vdi Kabupaten Sampang, Jawa Timur , http:journal.unair.ac.iddownload-fullpapers-jpmd3ee8c898cfull.pdf , dikases pada tanggal 20 Mei 2016. 694 Hendra Sukmana dan A rsiyah., , Model Rekrutmen Calon Anggota Legislatif Oleh Partai Politik Di Dpd Partai Golkar Kabupaten Sidoarjo , Jurnal JKMP Universitas Muhammadiyah Sidoardjo, Volume 1, Nomor 2, September 2013, hlm. 157-158. 610 pada sifat memenuhi syarat bagi pencalonan; 2 pencalonan yang mana merupakan proses dua tahap, yaitu inisiatif dan penguatan; dan 3 pemilihan. Jacob telah memperluas model Seligman dengan menambahkan sifat kepribadian dan posisi relevan perekrutan. Perekrutan awal adalah suatu proses dengan mana individu memiliki sifat kepribadian tertentu dan menempati posisi sosial yang dikhususkan dalam masyarakat yang disaring oleh institusi politik selama pemilihan jabatan. Proses rekrutmen menurut Jacob dap at dilakukan secara tertutup , yakni dengan menempatkan organisasi partai politik pada posisi yang kuat untuk mengontrol pada pemilihan kandidat secara terbuka dimana partai-partai adalah lemah dan memiliki sedikit kontrol pada pemilihan kandidat. b. Model Barber Menurut Barber ada tiga dimensi variabel utama rekrutmen, yaitu: motivasi, sumber daya, dan kesempatan. Dampak mereka adalah kumulatif dan mereka tidak dapat dioperasionalkan secara sendiri-sendiri satu sama lain. Kandidat yang potensial perlu dimotivasi untuk mencari jabatan, tapi berbagai motivasi dapat mengarah pada suatu pencalonan, sumberdayanya dapat terdiri dari aset-aset tersebut seperti fleksibilitas pekerjaan dan kemampuan untuk membuat pengorbanan finansial yang diperlukan; akhirnya, kesempatan membandingkan kompatibilitas dengan kriteria pemilihan dari perwakilan perekrutan dan tingkat ketidakpastian mengenai hasil dari pemilihan. Browning 1968, memperkuat model Barber, yang menurutnya perilaku perekrutan ditentukan oleh sindrom motivasional dan pengharapan. Pengharapan diperoleh dalam proses sosialisasi, dan mereka menyalurkan motivasinya pada arena politik, tapi tipe dari para pejabat mencari dan perilaku politikus ditentukan oleh motivasi dominannya. c. Model Snowiss Model Snowiss 1966 sebagaimana dikutip oleh Edinger, mengemukakan model perekrutan politik dengan memusatkan dalam aspek- aspek yang relevan terhadap kebutuhan organisasi. Terdapat empat variabel dalam metode ini: 1 dasar sosial, yang mana untuk partai merupakan hal yang utama dibandingkan elektoral umum; 2 sumberdaya organisasi yang dapat digunakan sebagai insentif untuk memobilisasi pekerjaan partai dan menarik para elite politik, material atau nonmaterial; 3 struktur, hirarki, kepemimpinan tersentral, tidak dapat dipengaruhi oleh dunia luar; 4 etos organisasi. Struktur hirarki dari organisasi partai mempromosikan suatu etos persetujuan politik; partai-partai yang kurang terstruktur mempromosikan orientasi persoalan; dan etos ideologi. d. Model Rush Althoff Menurut Michael Rush dan Philip Althoff model perekrutan politik meliputi lima proses kegiatan yaitu: penyediaan dan permintaan, agensi, kriteria, kontrol, dan tuntutan. Daya penyediaan dan permintaan dipengaruhi oleh berbagai lembaga yang berfungsi sebagai agensi perekrutan politik, kriteria yang mungkin digunakan, dan oleh kadar sejauh mana proses itu dapat dikontrol. Agensi perekrutan politik menetapkan beraneka ragam kriteria, meliputi ciri-ciri dan keterampilan yanag mereka anggap layak dan harus dikuasai oleh calon pejabat yang bersangkutan. Kriteria ini, tentu saja akan mencerminkan permintaan yang merupakan representatif atas tuntutan dan harapan masyarakat, tetapi mereka juga akan