Mekanisme yang digunakan oleh Parpol

1185 pihak tidak puas atas keputusan pengadilan, dapat dilakukan kasasi ke Mahkamah Agung. 178 Pertanyaannya, apakah pengadilan memiliki hakim yang kompeten mengadili perkara konflik internal parpol? Pertanyaan yang sama bisa diajukan kepada Mahkamah Agung sebagai pemutus akhir. Artinya, penyelesaian konflik parpol secara hukum tidak menjamin terselesaikannya konflik secara politik. 178 Lihat https:syamsuddinharis.wordpress.commengelola-konflik-partai-politik , diakses pada 2 Juli 2016 1186 Sama halnya seperti perselisihan yang terjadi dalam tubuh golkar, Perselisihan yang pada mulanya hanya menimbulkan terbentuknya dua kubu dalam satu struktur kepengurusan kini bahkan secara terang- terangan terbentuk dua struktur kepengurusan baru yang kemudian didaftarkan kepada Kementerian Hukum dan HAM pada hari yang sama yakni 8 Desember 2014. Konflik masih terus berlanjut ketika kedua belah pihak saling menggugat satu sama lain. Pada tanggal 5 Januari 2015 pihak dari Agung Laksono menggugat Munas bali yang dilaksanakan oleh kubu Aburizal Bakrie ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan bahwa masalah seharusnya bisa diselesaikan di internal partai sehingga tidak perlu lagi dibawa ke Mahkamah Partai Golkar. Satu minggu kemudian, yakni pada tanggal 12 Januari 2015 kubu dari Aburizal Bakrie balik menggugat Munas Ancol yang dilaksanakan oleh kubu Agung Laksono ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat namun gugatan Aburizal Bakrie juga ditolak karena gugatan Aburizal Bakrie dianggap terlalu prematur. Majelis Hakim berpendapat bahwa penyelesaian konflik lebih baik diembalikan kepada mekanisme internal Partai Golkar sendiri. Aksi saling menggugat masih terus berlanjut diantara kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie. Pada tanggal 10 Maret 2015 Munas Ancol yang dilaksanakan oleh kubu Agung Laksono disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM dan pad tanggal 17 Maret 2015 Ketua Mahkamah Partai Golkar juga menerima pengesahan tersebut. Namun kubu Aburizal Bakrie tidak bisa menerima keputusan dari Menteri Hukum dan HAM dan ketua Mahkamah Partai Golkar tersebut, sehingga ia melayangkan gugatan terkait Surat Keputusan Menteri Hukum dan Ham No: M.HH-01.AH.11.01 tahun 2015 yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN. Dan hasilnya pada tanggal 18 Mei 2015, PTUN mengabulkan sebagian gugatan Aburizal Bakrie. Gugatan yang dikabulkan adalah mengenai pembatalan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang ADART Partai Golkar dan mewajibkan tergugat intervensi yakni Agung Laksono untuk mencabut SK Menkumham tersebut. Setelah muncul keputusan dari PTUN, kubu dari Agung Laksono pada akhirnya mengajukan banding karena merasa ada beberapa hal yang ganjil dalam keputusan tersebut. ISLAH Perundingan islah pertama dilaksanakan pada tanggal 23 Desember 2014 dengan hasil:  sepakat untuk melokalisasi kepengurusan kembar hanya di DPP saja;  sepakat untuk menghindari Mahkamah Partai dan Pengadilan;  sepakat untuk tidak melakukan penggalangan dukungan;  sepakat untuk mendukung pemilihan Kepala Daerah secara langsung;  tidak menyepakati posisi Partai Golkar di KMP Koalisi Merah Putih. Kemudian perundingan kedua dilaksanakan pada tanggal 8 Januari 2015 dengan hasil:  sepakat dengan sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung;  sepakat ingin memenangkan pemilihan umum 2019; 1187  sepakat untuk menyerahkan urusan mengenai pemilihan Kepala Daerah kepada masing-masing DPD;  sepakat untuk tidak menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi lima tahun kedepan;  tidak menyepakati posisi Partai Golkar di KMP. Lalu perundingan yang selanjutnya dilaksanakan pada tanggal 14 Januari 2015 dengan hasil:  sepakat merger kepengurusan Partai Golkar;  sepakat untuk menerima siapapun yang akan menjadi Ketuan Umum Partai Golkar yang baru;  sepakat untuk tidak melahirkan partai baru;  untuk sementara abaikan posisi Partai Golkar di KMP. 179 Hampir satu bulan sudah Perundingan Islah dilaksanakan, namun belum menemukan jalan keluar untuk menetapkan siapa yang akan menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar. Proses islah dapat dipastikan gagal karena kedua kubu tetap memutuskan untuk menggugat ke Pengadilan Negeri , Agung Laksono menggugat pada tanggal 5 Januari 2015 dan Aburizal Bakrie menggugat pada tanggal 12 Januari 2015. Setelah Perundingan Islah gagal dilaksanakan, pihak-pihak terkait masih terus melakukan upaya-upaya dan perundingan lanjutan untuk mencari jalan keluar dalan konflik dualisme kepengurusan DPP Partai Golkar. 180 Oleh karena itu, salah satu pilihan bagi Golkar dan PPP adalah melakukan rekonsiliasi di luar pengadilan, yakni dengan cara mengembalikan partai pada posisi status quo, dalam arti legalitasnya didasarkan atas hasil munas atau muktamar terakhir sebelum konflik. Namun karena masa jabatan pengurus telah melampaui lima tahun, kepengurusan tersebut semestinya dalam status sudah demisioner. Dengan demikian pihak-pihak yang bertikai bisa berkedudukan setara dalam menyelesaikan perbedaan di antara mereka. Jika masih ada, tokoh senior partai yang berwibawa dan tidak berpihak bisa menjadi mediator penyelesaian konflik. Pilihan kedua, dilakukan munas ataupun muktamar luar biasa yang penyelenggaraannya diorganisasikan oleh kedua pihak yang bertikai, tentu dengan syarat dua kubu kepengurusan dinyatakan bubar secara sukarela. Pertanyaannya, apakah dua kubu mau berlapang dada membubarkan kepengurusan hasil munas atau kongres. Singkatnya harus ada sikap kenegarawanan di antara pimpinan kubu pihak-pihak yang bertikai untuk memaksimalkan persamaan, dan sebaliknya meminimalkan perbedaan di antara mereka. Jika tidak, bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa para politisi yang bertikai 179 Lihat http:www.pejabatpublik.comwpkronologi-panjang-dualisme-golkar-kapan selesai diakses pada 1 Juli 2016 180 Lihat http:septa51.web.unej.ac.idkonflik-internal-partai-golkar , diakses pada 1 Juli 2016 . 1188 dapat mengurus negara jika konflik di antara mereka sendiri tak sanggup diselesaikan.

B. Problem Penyelesaian konflik Internal Gokar dan PPP

Hal yang hingga kini masih terjadi sebagaimana yang dikatakan oleh Nucholis Madjid adalah belum adanya kedewasaan berpolitik dalam parpol. Perpecahan dalam parpol pada umumnya disebabkan egoisme politik yang begitu besar. Hal ini merupakan indikasi ketidakdewasaan partai tersebut. Ketidakdewasaan partai ini juga ditunjukkan dengan ketidakberanian partai politik terkait untuk menjadi independen dalam ideologinya. Perebutan kekuasaan selalu erat hubungannya dengan konflik politik dan konflik internal yang telah melanda Partai Golkar telah menimbulkan dualisme kepengurusan Partai Golkar. Hambatan yang sama pun terajadi dalam tubuh PPP. Perseturuan antara kubu Romy, pimpinan partai versi Muktamar Surabaya, dengan Djan Faridz, pimpinan partai versi Muktamar Jakarta, merupakan konflik terpanjang dalam sejarah PPP. Ini menandakan bahwa konflik internal yang dihadapi PPP dua tahun belakangan bukanlah persoalan biasa. Beberapa upaya telah dilakukan baik dengan atau tanpa intervensi pemerintah untuk menyelesaikan konflik PPP. Mahkamah Partai dan Tokoh Senior PPP telah lama menyerukan agar segera diadakan muktamar islah. Kedua kubu bahkan sudah bertemu dan menjajaki kemungkinan Islah dalam pertemuan di kediaman Djan Faridz. Namun demikian, hingga saat ini, bahkan setelah Mukernas Ancol, bibit perpecahan masih saja tertanam di dalam tubuh PPP. Titik islah menjadi sedemikian sulit untuk digapai oleh PPP. Mengapa sulit? Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadikan islah begitu sukar ditempuh PPP. 181 Pertama, perpecahan partai bukan persoalan ideologis, tetapi soal personalisasi partai. Keributan internal antara faksi Romy dan faksi Djan Faridz memperdebatkan kepentingan kelompok atau individu elit yang bersifat jangka pendek. Mereka berseteru tentang preferensi elit terhadap siapa yang menjadi calon presiden dan ketua umum partai. Artinya, masalah konflik PPP ada karena elit-elit di dalamnya memperebutkan potongan kue kekuasaan partai. Pembelahan faksi PPP bukan dilandasi oleh hal-hal yang ideologis dan menyangkut kepentingan partai secara lebih luas. Padahal, menurut Key 1966, ideologi lah yang seharusnya menjadi elemen penting untuk menentukan aktivitas elektoral partai dan kerja organisasi Partai. Ideologi ini pula yang akan menjadi elemen perekat partai politik. Tanpa ideologi sebagai dasar partai yang kuat, PPP seolah tak punya landasan berpijak sehingga mudah terombang-ambing dan akhirnya terjebak dalam pusaran konflik antar elit. Kedua, kekosongan tokoh partai yang mampu memediasi konflik internal PPP. Dari pengalaman Golkar, Jusuf Kalla menjadi mediator yang 181 Lihat http:www.politik.lipi.go.idkolomkolom-2politik-nasional1052-kemungkinkan-islah-ppp diakses pada 2 Juli 2016 . 1189 efektif untuk meredam pertikaian konflik antara kelompok Agung Laksono dan Aburizal Bakrie. Beruntung bagi Golkar yang memiliki Jusuf Kalla karena Ia masih dinilai sebagai figur besar Golkar yang berpengaruh, netral dan memiliki kekuatan politik yang kuat pula, baik untuk internal Golkar maupun pemerintahan. Oleh karenanya, tidak mengherankan ketika Kalla mempertemukan Agung Laksono dan Aburizal Bakrie pada awal Februari lalu akhirnya berhasil menyelesaikan konflik Golkar. Berbeda dengan Golkar, PPP tidak memiliki sosok seperti Jusuf Kalla yang dapat diterima kedua pihak yang berkonflik. Sebagian besar tokoh senior PPP telah memperlihatkan keberpihakannya kepada salah satu kubu yang berkonflik, sehingga sulit menemukan sosok yang netral. Sebut saja beberapa tokoh PPP seperti Hamzah Haz, Zarkasih Noor, dan Mukhtar Azis yang dinilai sebagian kader PPP telah berpihak kepada salah satu kubu partai. Sementara itu, Suryadharma Ali, sebagai Ketua Umum PPP yang diakui oleh Kemenkumham, tidak bisa bertindak banyak sebagai penengah karena sedang berada di dalam Rutan Guntur, Jakarta. Kehendak Suryadharma Ali yang meminta Majelis Islah PPP dibentuk paling lambat 27 Februari, bahkan diabaikan oleh kedua kubu yang bertkonflik. Ketiga, mekanisme penyelesaian konflik partai yang samar dan lemah legitimasi. Dibandingkan dengan konflik PPP sebelumnya, situasi saat ini memberikan keuntungan karena UU Partai telah memberikan peluang bagi partai untuk menyelesaikan persoalan perpecahan secara internal melalui mahkamah partai, dan tidak hanya melalui prosedur formal hukum melalui pengadilan. Namun demikian, sebagai lembaga baru, mahkamah partai, masih belum memiliki skema penyelesaian konflik yang ajeg. Hal ini diperburuk dengan keberpihakan anggota-anggotanya terhadap kubu-kubu yang bertikai sehingga sulit menjadi netral dan objektif dalam menyelesaikan konflik. Akibatnya, hasil keputusan mahkamah pun tidak mendapatkan legitimasi kuat dari kader-kader partai, hingga cenderung diabaikan. Di sisi lain, proses hukum formal juga seringkali menghasilkan keputusan yang membingungkan dan menciptakan celah hukum sebagai sumber konflik baru. Djan Faridz, misalnya, menilai Mukernas Ancol ilegal karena kegiatan ini didasarkan pada SK Kemenkumham yang dinilai tak berkekuatan hukum dan bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung MA. Bila penyelesaian konflik melalui proses internal partai dan hukum sudah bermasalah, bagaimana mungkin dua metode ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah pembelahan partai. Mekanisme penyelesaian konflik yang ada nyatanya tidak efektif dan cenderung memperumit persoalan.

IV. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, pertama, penyelesaian konflik internal parpol dapat dilakukan melalui 2 mekanisme, yaitu mekanisme internal parpol melalui mahkamah partai atau sejenis dan mekanisme eksternal melalui sengketa di pengadilan negeri. Kedua, Undang- Undang Parpol pada hakekatnya mendorong parpol menyelesaikan konflik internal parpol diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme internal parpol, yaitu mahkamah partai. Jika penyelesaian secara internal tidak tercapai, maka