A 2004, Sebagai sarana rekrutmen politik ;
755 Hobbes, bisa mendapatkan hak-haknya sebagai manusia.
894
Minimnya kesadaran ini sebenarnya adalah efek dari belum adanya budaya berdemokrasi yang baik di
internal partai politik. Pemilihan calon untuk maju dalam kontestasi Pemilu misalnya, sering mengambil dari orang luar partai, dari pada memberdayakan
anggota partai yang sudah lama memberikan kontribusi.
Pemilihan orang dari luar partai, sebenarnya memang bukan tanpa alasan. Seperti telah diuraikan di atas, biasanya karena tidak ada calon kuat dari internal
partai, sehingga para pimpinan partai menyasar mencari dari luar. Keadaan ini sebenarnya akibat minimnya kaderisasi partai, dalam segala aspeknya. Seperti,
pengembangan sumber daya manusia, pemantapan idelogi partai dan pelaksanannya, serta kemampuan memimpin dengan mambawa integritas dan
kepemimpinan visioner. Kalau partai mampu melahirkan kader militan, ketika menjelang momen Pemilu mereka tidak akan kelimpungan mencari calon dari
internal partainya. Karena mereka memiliki stok yang sangat banyak.
Minimnya kaderisasi partai tak hanya memiliki implikasi pada pencalonan anggota partai saat Pemilu, namun juga berkaitan dengan permainan dan langkah
politik anggota partai. Termasuk seberapa cantik permainan politik yang mereka lakukan dengan tetap menjaga etika, integritas, dan logika politik yang sangat
demokratis dengan memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap lawan politik yang berseberangan partai dan ideologi.
Merebaknya fitnah, black campaign, kekerasan, pembunuhan, dan segenap tindakan destruktif dalam berpolitik merupakan efek nyata dari minimnya
kaderisasi idelogis partai politik. Angota partai yang seperti ini, sebenarnya bukan menaikkan martabat partai politiknya, namun secara perlahan dan pasti, justru
menjungkalkan martabat partai politik ke jurang sangat dalam. Karena politik tetap harus berdiri dengan cara-cara yang beradab, tumbangnya rezim Orde Baru,
adalah fakta sejarah yang menandai betapa politik busuk yang mengingkari nilai- nilai demokrasi tidak akan pernah abadi.
Penguatan Kaderisasi Partai Politik
Penguatan kaderisasi anggota partai politk adalah langkah dasar yang harus dilakukan semua partai politik, jika partainya mengimpikan menjadi partai
bersejarah yang bisa menegakkan keadaban berpolitik yang sangat baik dengan menjadikan nilai-nilai demokrasi sebagai dasar langkahnya.
Sengkarut persoalan politik yang tak pernah selesai dari waktu ke waktu, adalah penanda paling nyata dari tidak bergeraknya mesin partai dalam mencetak
kader-kader parti yang militan dengan dasar ideologis yang kuat, kapabilitas yang mumpuni, serta memiliki integritas diri yang tinggi.
Betapa sangat sering kita menyaksikan pertarungan politik antara kader partai dengan kader partai yang lain, bahkan tak tanggung-tanggung antara kader
di internal partainya sendiri.
895
Mereka melakukan berbagai manuver politk demi menjatuhkan lawan politiknya. Di media saling kecam, saling fitnah, dan upaya
menebar kebencian sebagai sesama aktivis partai kerap kita jumpai. Bahkan
894
Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 231.
895
Edison Muchlis M, Pelembagaan Partai politik Pasca-Orde Baru: Studi Kasus Partai Golkar, PKB, PBB, dan PDS, Jakarta: LIPI, 2007, hlm. 35.
756 hampir setiap hari. Minimnya etika dalam berpolitik adalah penanda yang sangat
jelas, betapa kaderisasi tidak berjalan dengan baik. Karena mestinya, penggerak partai politik mendasarkan tindakannya pada kerangka ideologis yang menjadi
pijakan partainya.
Belum lagi sederet konflik di internal partai, seperti pernah terjadi pada Partai Kebangkitan Bangsa PKB antara kubu Gus Dur dengan kubu Muhaimin,
Partai Persatuan Pembangunan PPP antara kubu Suryadharma Ali dengan kubu Romahurmuziy, dan Partai Golongan Karya Golkar antara kubu Aburizal Bakrie
dengan kubu Agung Laksono. Dualisme kepemimpinan di internal partai tersebut menjadi petaka politik, karena klaim sama-sama sebagai pemimpin adalah
penanda dari rendahnya kesadaran berpolitik.
896
Mestinya sebesar apapun persoalan di internal partai politik, harus tidak menjadi konsumsi publik. Tokoh internal partai politik harus bisa menyelesaikan
persoalan internalnya dengan sangat baik. Sebab ketika menjadi konsumsi publik, konflik tersebut pasti akan semakin riuh. Belum lagi kemunculan penebar
kebencian, biak dari kader partisan ataupun simpatisan yang minim paham tentang akar persoalannya. Konflik internal menjadi tidak sederhana ketika
menjadi konsumsi publik, apalagi manuver kedua tokoh tak sejuk, media bakal semakin menggembor-gemborkannya.
Persoalan lain yang biasanya muncul adalah konflik terkait pencalonan anggota partai menjelang Pemilu.
897
Tak sedikit kader partai yang kecewa dengan keputusan penentuan calon yang bakal maju, baik pada kontestasi Pemilu legislatif
ataupun eksekutif. Mereka kecewa dengan beragam alasan, dari besarnya kehendak untuk maju juga dalam Pemilu, ataupun kecewa karena pandangannya
tidak didengarkan oleh pimpinan partai politik, ataupun juga tidak dilibatkan sama sekali dalam pengambilan keputusan pencalonan dari partai.
Partai dari organisasi milik bersama kini banyak yang sudah mulai beralih menjadi miliki pribadi .
898
Kekuatan figur yang sangat besar menjadikan partai politik memiliki ketergantungan yang sangat kuat kepada sosok tokoh tertentu,
biasanya ketua umum. Titah dan kebijakan tokoh sentral biasanya mirip titah Tuhan yang tak bisa dilawan oleh siapapun, kalau tidak diikuti atau melawan
kehendak tokoh bersangkutan bisa dikeluarkan dari partai, atau setidak-tidaknya dikucilkan dari gerak para kader partai.
Minimnya iklim demokrasi di internal partai sebenarnya menumpuk akibat lemahnya kaderisasi partai. Menjadi kader partai seperti sapi yang diciduk
hidungnya, lalu diarahkan sesuai kehendak pimpinannya, atau lebih tepat pemilik partainya. Kondisi yang seperti ini akan semakin mengukuhkan privatisasi partai
politik. Ketakutan melawan ataupun berseberangan dengan tokoh sentral partai politik sebenarnya lahir dari minimnya kaderisasi, yang berimplikasi pada
buruknya kondisi demokrasi internal partai politik. Sehingga tak sulit bagi tokoh partai mengukuhkan kekuasaannya di dalam partai tersebut.
Karena itulah, kalau kita membayangkan hadirnya demokratisasi di internal partai, partai politik secara berani dan cerdas harus melakukan langkah dasar
896
Masduri, Politik Pecah Kongsi , Duta Masyarakat, Juni .
897
Lili Romli, Evualsi Pilkada Langsung dalam Democrazy Pilkada, Jakarta: LIPI, 2007, hlm. 3.
898
Hamid Basyaib ed., Membela Kebebasan: Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Jakarta: Alvabet, 2006, hlm. 83.
757 menguatkan kaderisasi partai. Penguatan kaderisasi partai dapat dilakukan
melalui: Pertama, pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan
intensif dalam mengembangkan wawasan keilmuan sosial dalam membangun masyarakat yang sadar poltik dan demokrasi. Kader partai politik secara
mendalam harus memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu-ilmu sosial, ilmu politik, dan hukum. Pengetahuan ini menjadi dasar pijakan dalam mengambil
langkah politik. Sehingga tidak sembarangan melakukan langkah, yang kadang justru sangat berbahaya bagi bagi individu bersangkutan ataupun partai
politiknya.
Perseturuan politik yang kerap kali terjadi, tentu juga didasari oleh rendahnya kualitas sumber manusia bersangkutan. Mereka selalu berpikir kalau
politik adalah cara licik meraup kekuasaan. Sehingga tingkahnya tak mencerminkan seorang politisi cerdik yang bisa memainkan langkah politik
dengan sangat baik. Akibatnya mereka sering terjerumus pada langkah-langkah konyol.
Penguatan sumber daya manusia ini juga penting dalam pengambilan kebijakan. Sehingga setiap langkah politk dan pembangunan yang hendak
dilakukan, benar-benar diarahkan bagi peningkatan kesejateraan rakyat, yang secara berkesinambungan bakal berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap
partai politik ataupun kader bersangkutan. Kemampuan sumber daya manusia yang mumpuni bakal bisa menggerakkan mesin partai politik untuk tetap eksis
dan mendapatkan konstituen yang banyak saat Pemilu. Sumber daya manusia yang mapan bakal menegakkan keadaban dalam berpolitik. Tak mungkin cara-cara
kotor dilakukan, kalau yang bersangkutan memiliki kualitas sumberdaya manusia yang bagus.
Kedua, penguatan ideologisasi partai. Kehadiran partai politik didasari oleh cita-cita besar menghadirkan kesejahteraan dan ketentraman bersama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Cita-cita ini tentu memiliki landasan ideologis sebagai pijakan dalam mengambil kebijakan dan langkah politik.
Ideologi menjadi ruh partai politik.
899
Langkah politik yang tidak didasari ideologi pasti sangat rapuh, sebab tidak memiliki pijakan nilai dalam langkah
perjuangan. Sebenarnya aktif di dunia politik adalah pilihan yang sangat berat bagi setiap orang. Kalau politik dimaknai sebagai pengabdian kepada masyarakat.
900
Karena mengabdi tentu melepaskan segenap hasrat dan kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok. Kepentingan rakyat adalah dasar politik pengabdian.
Begitulah politik yang dijalankan sesuai ideologinya.
Ideologi menyediakan landasan nilai sebagai pijakan langkah politik dalam mencapai ataupun merealisasikan cita-cita luhur kehadiran partai politik.
901
899
Agung Djosoekarto Utama Sandjaja, Transformasi Demokratis Partai Politik di Indonesia: Model, Strategi, dan Praktek, Yogyakarta: Partnership for Governance Reform dan Strategic
Transformation Institute, 2008, hlm. 318. Baca juga dalam, Abu Zahra ed., Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung: Pustaka Al-Hidayah, 1999, hlm. 266.
900
Aloys Budi Purnomo, Rakyat Bukan Tumbal Kekuasaan Kekerasan, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 43.
901
A
RIFE
M
UDATSIR
M
ANDAN
, K
RISIS
I
DEOLOGI
: C
ATATAN
T
ENTANG
I
DEOLOGI
P
OLITIK
K
AUM
S
ANTRI
, S
TUDI
K
ASUS
P
ENERAPAN
I
DEOLOGI
I
SLAM
PPP, J
AKARTA
: P
USTAKA
I
NDONESIA
S
ATU
, 2009,
HLM
.
758 Sebagai landasan nilai, ideologi mestinya menggerakan nalar etis dalam berpolitik.
Politik yang mengabaikan etika adalah politik tanpa idelogi. Ketika muncul perseturuan antar kader partai politik, kemudian langkah-langkahnya tak elok
disaksikan publik. Maka narasi politik yang mereka bangun sesungguhnya menjungkalkan martabat ideologi partainya.
Karena itulah, dalam kaderisasi partai harus ada internalisasi nilai-nilai ideologi partai. Sehingga gerak-gerik kader tersebut sesuai dengan pijakan nilai
yang ada di dalam organisasinya. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan pemahaman yang komprehensif melalui proses belajar yang tidak sederhana. Kader partai
secara utuh harus memahami landasan ideologis partainya. Pemahaman itu harus menjadi tindakan bersama yang mencerahkan guna menghadirkan politik
keadaban.
Ketiga, kaderisasi kepemimpinan berjenjang. Kaderisasi partai politik harus memberikan akses yang sama kepada semua anggota untuk terlibat dan menjadi
bagian dari kepengurusan partai. Karena itu, tahap kaderisasi kepemimpinan harus jelas. Proses pengangkatan ataupun pencalonan pengurus harus berjenjang
dari yang paling bawah sampai pada yang paling atas. Jangan sampai karena memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan tokoh sentral partai politik, orang
tertentu diangkat ataupun dicalonkan sebagai ketua pada tingkatan kepengurusan tertentu. Semua proses kaderisasi harus berdasarkan jenjang.
Kaderisasi kepemimpinan berjenjang ini diharapkan dapat memacu kualitas kader partai politik. Artinya, proses rekrutmen kepengurusan partai dari
jenjang paling bawah ke yang paling atas harus juga diikuti oleh kualitas sumberdaya manusia yang baik.
902
Biasanya melalui proses belajar dari bahwa kemudian naik ke tingkat yang lebih atas, secara logis tingkat pengetahuannya
semakin bagus. Hal ini tentu sebagai upaya membangun kelembagaan partai politik agar gerak di internalnya berjalan dengan sangat dinamis melalui
penanaman nilai-nilai ideologis yang sangat kuat.
Keempat, partai politik harus membuat kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan secara langsung dengan rakyat. Hal ini penting dilakukan untuk
merekatkan hubungan emosional partai dengan rakyatnya, serta juga mendekatkan secara personal kader partainya dengan rakyat. Agar ketika nanti
butuh dukungan rakyat, dengan sangat mudah calon dari partai bersangkutan mendapat konstituen ketika maju dalam kontestasi Pemilu, baik pada Pemilu
legislatif ataupun eksekutif.
Lebih dari itu, kegiatan sosial yang melibatkan kader partai politik diharapkan mampu melatih kepemimpinan kader partai politik yang
bersinggungan secara langsung dengan rakyat. Proses ini tentu menumbuhkan kepekaan sosial yang tinggi, karena secara langsung dapat merasakan persoalan
riil yang dihadapi oleh rakyat. Sehingga kelak, kalau jadi pemimpin atau terpilih dalam kontestasi Pemilu, baik sebagai anggota dewan, bupatiwali kota, gubernur,
hingga sampai pada tingkat presiden kader bersangkutan mampu membawa
XVIII
. B
ACA JUGA DALAM
, T
IM
P
ENELITIAN DAN
P
ENGEMBANGAN
K
OMPAS
, P
ARTAI
-P
ARTAI
P
OLITIK
I
NDONESIA
: I
DEOLOGI
, S
TRATEGI
,
DAN
P
ROGRAM
, J
AKARTA
: K
OMPAS
, 1999,
HLM
. 196.
902
Suwoto Mulyosudarmo, Abdul Mukthie Fadjar, Harjono, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Malang: Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In-TRANS, 2004,
hlm. 303.
759 kepemimpinan yang berintegritas dengan kadar pengetahuan yang luas tentang
bangsanya dan dunia internasional. Itulah beberapa garapan yang bisa dilakukan oleh partai politik untuk
mencetak kader partai yang militan dengan kapabilitas yang mumpuni serta integritas kepemimpinan yang tinggi. Setidak-tidaknya secara mendasar dapat
membangun organisasi partainya dengan sangat baik. Terutama berkaitan dengan nilai-nilai demokrasi yang mesti ditegakkan dalam partai politik demi
mewujudkan partai politik yang modern tanpa ketergantungan pada figur tertentu, tanpa konflik internal yang mewabah pada dualisme kepemimpinan, serta tidak
adanya kekecewaan anggota partai terkait keputusan dan kebijakan partai, terutama berkaitan dengan pencalonan pada saat Pemilu legislatif ataupun
eksekutif.
Keterbukaan Akses Pencalonan pada Pemilu Legislatif dan Eksekutif
Logika penguatan kaderisasi partai dalam konteks ini hendak digunakan sebagai dasar membangun demokratisasi di internal partai politik terkait dengan
pencalonan anggota partai politik dalam kontestasi Pemilu legislatif ataupun eksekutif. Dasarnya adalah kualitas sumber daya manusia kader politik dengan
kapabilitas dan integritas kepemimpinan yang sangat bagus. Artinya, kaderisasi partai penting dikuatkan untuk menumbuhkan sosok kader partai sebagai wajah
baru kepemimpinan baik pada tingkat lokal maupun nasional. Sehingga ketika mendekati Pemilu, partai politik tidak kebingungan memunculkan calon
pemimpin, karena memiliki stok yang sangat banyak dengan kualitas yang sangat bagus.
Selama ini kebuntuan memunculkan sosok calon pemimpin untuk kontestasi Pemilu legislatif ataupun eksekutif lahir akibat lemahnya kaderisasi
partai politik. Stok kader yang tak memungkinkan membuat partai politik berpikir tujuh kali untuk mencalonkan kadernya sendiri. Karena itu, alternatif tokoh sentral
dalam masyarakat seringkali menjadi pilihan pertama, dan pengusaha sebagai pilihan berikutnya, dengan berbagai strategi politik yang dimainkan oleh elit
partai. Fakta ini sebenarnya menyumbat akses demokratisasi di internal partai politik terkait dengan pencalonan anggota partainya dalam kontestasi Pemilu
legsilatif ataupun eksekutif.
Melalui penguatan kaderisasi partai, mesin partai politik akan bergerak dengan sendirinya untuk menumbuhkan iklim demokratis di internal partai
politik. Sebab partai politik yang kaderisasi partainya sangat kuat pengelolaan organisasinya pasti sangat profesional.
903
Mereka bakal menempatkan nilai-nilai demokrasi sebagai pijakan bersama. Sehingga dalam koteks pencalonan untuk
kontestasi Pemilu, posisi anggota dan haknya sama rata tanpa ada perbedaan antara senior dan junior. Karena dalam partai yang kaderisasinya kuat, tidak
mudah seorang figur menjadi penentu kebijakan partai, karena di dalamnya para kader partai sama-sama memilki kualitas sumber daya manusia yang bagus
dengan pengetahuan luas dan pengalaman yang banyak.
903
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 83.
760 Pola kedudukan yang sama ini sangat memungkinkan berkembang iklim
demokrasi. Landasan one man one vote
904
dalam demokrasi merupakan dasar persamaan hak, setiap anggota partai politik harus diberikan akses yang sama
dalam menetukan kandidat calon yang bakal maju dalam kontestasi Pemilu legislatif dari tingkat kabupatenkota, provinsi, hingga tingkat nasional, dan
ataupun Pemilu eksekutif dari tingkat bupatiwali kota, gubernur, bahkan hingga presiden. Pelibatan setiap kader partai dari bawah bakal menguatkan daya tahan
organisasi partai politik. Karena pelibatan semua kader bakal memunculkan rasa memiliki yang sangat dalam.
Hak menentukanmemilih juga harus diikuti oleh hak setiap anggota partai untuk dipilih sebagai calon yang bakal baju dalam Pemilu legislatif ataupun
eksekutif. Artinya, setiap anggota berhak memilih dan dipilih sebagai calon peserta Pemilu. Dasar demokrasi ini adalah syarat menumbuhkan etos kerjasamanya yang
kuat dalam partai politik. Karena secara mendasar sesungguhnya setiap orang memiliki kehendak yang sama untuk saling dihargai dan eksistensinya diakui oleh
orang lain. Penghargaan terhadap eksistensi setiap orang bakal memunculkan rasa percaya diri yang sangat kuat. Sehingga dalam konteks organisasi partai politik,
pengakuan dan penghargaan terhadap setiap anggota adalah jalan bersama dalam membangun organsiasi partai politik yang sangat kuat.
Kerapuhan partai politik serta konflik yang berkepanjangan akhir-akhir ini adalah bagian dari bentuk kerapuhan demokrasi di internal partai politik.
Organisasi partai yang dibangun di atas persamaan hak dan kewajiban, secara efektif bakal membentuk militansi kader. Rasa memiliki yang sangat kuat tumbuh
dari bangunan demokrasi yang sangat baik dari internal partai. Perpecahan di internal partai terjadi karena merasa tidak puas dengan kebijakan ataupun
keputusan partai, yang biasanya dieksploitasi oleh ketua umum partai.
905
Ketidakpuasan pada kebijakan partai mewujud dalam bentuk yang reaksioner, seperti keluarnya anggota dari partai, hingga membentuk kepengurusan
tandingan.
Dominasi yang sangat kuat dari ketua umum partai, terutama dalam pemilihan eksekutif, baik dalam tingkat kabupatenkota, provinsi, dan nasional,
seringkali memunculkan kecemburuan yang sangat mendalam. Apalagi ketika berbicara soal mahar politik yang harus dikeluarkan calon agar bisa diterima oleh
partai politik tertentu, tentu saja soal yang satu ini sangat sensitif. Sehingga ketika ketua umum tak bisa memberikan kesempatan dan penerimaan aspirasi dari
anggota partai, perpecahan di internal partai tak bisa dihindarkan.
Kekecewaan akibat tak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan partai, yang kemudian ditunjukkan dengan sikap-sikap reaksioner, sebenarnya
adalah hal yang wajar sepanjang tak mengganggu stabilitas organisasi. Setidak- tidaknya hal itu sebagai otokritik internal partai, terutama kepada pengurus, agar
menjalankan organisasinya secara profesional.
Tak bisa dibantah, jika selama ini pencalonan seseorang untuk maju sebagai peserta Pemilu sangat politis. Di dalamnya ada berbagai permainan yang sulit
904
Eugene Cotran Adel Omar Sherif, Democracy: The Rule of Law and Islam, London: Cimel, 1999, hlm. 288.
905
K
OIRUDIN
, P
ROFIL
P
EMILU