Karya Ilmiah Buku Kesimpulan

390 HEGEMONI ALIANSI OLIGARKI DALAM PEMILIHAN KETUA UMUM PARTAI POLITIK Fajlurrahman Jurdi Abstrak Pemilihan ketua umum partai politik hampir dapat dipastikan tidak berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi kualitatif, karena kekuatan oligarkis yang begitu dominan mencampuri seluruh proses sukses pemilihan ketua umum. Secara umum, ketua umum partai politik yang terpilih dapat dipastikan berasal dari dua lapisan sekaligus, yakni orang-orang ultra kaya yang memiliki sumber uang dalam jumlah besar dan individu yang memiliki kekuasaan besar di partai. Kombinasi kedua-nya menyebabkan dengan gampang mengatur struktur partai dang menjaga stabilitas politik di dalamnya. Apabila ada yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan sumber penguasaan partai, argumentasi itu mengalami kelemahan secara kualitas, meskipun didukung oleh premis-premis formal, yakni adanya kampanye, pemilihan dan penghitungan suara. Meskipun kadang-kadang hal tersebut tidak berlaku di beberapa partai, karena konsensus peserta kongresmuktamarmunas menghendaki agar dilakukan secara aklamasi. Pemilihan ketua umum partai jelas dibangun dan direkayasa untuk memenangkan oligark yang kuat untuk memimpin oligarki lain yang lebih lemah. Dengan harapan, para oligark saling melindungi harta dan membagi jatah kekuasaan mereka. Dengan demikian, pertarungan memperebutkan ketua umum partai politik tidak pernah berjalan berdasarkan konsensus demokratis, tetapi berdasarkan konsensus oligarkis. Fajlurrahman Jurdi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 085299262424, jurdi_ngaliyahoo.co.id Kata Kunci: Ketua Umum, Partai Politik, Oligarki, Demokrasi. A. PENDAHULUAN. Salah satu studi yang mendalam tentang konsep oligarki di partai politik adalah Kuskrido Ambardi 269 . Disertasinya menggambarkan dengan sangat baik bagaimana oligarki 270 menggurita dalam sistem politik demokrasi, khususnya sistem kepartaian di Indonesia. Partai adalah sebagai entitas yang kinerjanya adalah memburu rente , apalagi pasca pemilu , dimana kekuatan oposisi mulai melemah, praktis ada alasan bagi kekuatan kartel untuk melakukan konsolidasi guna menguasai kembali arena politik. Riset yang sama dilakukan oleh Marcus Mietzner 271 yang melihat betapa buruknya sistem partai di Indonesia, terutama dari sisi pendanaan. Natalie Sambhi, 269 Kuskrodho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. 270 Kuskridho Ambardi tidak menyebutnya sebagai oligarki, tetapi mengistilahkannya dengan kartel . 271 Marcus Mietzner, Money, Power and Ideology: Political Parties In Post-Authoritarian Indonesia, Singapore, NU Press, 2013. 391 seorang analis dan Managing Editor di The Strategist, Australian Strategic Policy Institute, dalam resensinya terhadap buku yang ditulis oleh Marcus Mietzner mengemukakan dengan menarik tentang bagaimana korupsi dan buruknya pendanaan partai politik di Indonesia. Menurutnya, bahwa sistem pendanaan partai yang lemah membuat mereka rentan terhadap korupsi dan kepentingan oligarki; dan dalam jangka panjang bisa menghancurkan kepercayaan publik dalam demokrasi. Ia mengemukan bahwa The beauty of Money, Power and Ideology is that it can be read on a number of levels . Dapat dibayangkan bagaimana uang, kekuasaan dan ideology beroperasi dalam system politik Indonesia dan itu dijalankan sepenuhnya oleh partai politik. Melihat situasi politik dan kontestasi itu, Mietzner mempertanyakan dengan nada yang mengherankan; How has Indonesia’s democracy remained stable if its component parts are apparently dysfunctional? . Stabilitas demokrasi justru terjadi disaat korupsi berjalan secara ma ssif, kekuasaan dapat diperjualbelikan dan uang menjadi tuhan yang mengatur segalanya. Jika Ambardi dan Mietzner melihatnya dalam konteks partai, ahli yang paling otoritatif dalam melihat oligarki dan kontestasinya secara umum dan khususnya di Indonesia adalah Jeffrey A Winters 272 . Winters dengan sangat baik menguraikan pertarungan orang-orang kaya Indonesia sejak zaman Orde Baru dan pasca Orde Baru. Kekuasaan hanya dikendalikan oleh individu atau aliansi antar oligark, sementara demokrasi hanyalah sebagai gincu kekuasaan. Pembentukan oligarki dan dominasinya sudah diuraikan secara baik oleh berbagai kalangan dari ragam perspektif. Pendekatan mereka melihat partai politik secara umum sebagai bagian dari areal pembentukan dan penguatan oligarki dan lebih fok us lagi pada penguatan dinasti dan pembentukan keluarga politik . Di atas semua itu, oligarki dalam partai politik telah menjadi bagian penting bagi tumbuh berkembangnya institusi kepartaian sebagai penopang demokrasi. Tulisan ini tidak melebar pada diskursus dan dinamika kepartaian serta bagaimana jalinan kekuasaan oligarki di dalamnya, namun hanya forkus pada bagaimana kekuatan oligarki yang berseteru dalam pemilihan ketua umum partai politik. Publik berharap oligarki berhenti merusak tatanan demokrasi, namun pada saat tertentu, oligarki justru bertopeng demokrasi, dan demokrasi sukses dimanipulasi untuk kepentingan oligarki, terutama dalam proses suksesi pemilihan ketua umum partai politik. Publik disodori dengan gegap gempita pemilihan ketua umum partai, seolah-olah seperti pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen. Desas- desus, isu, berita, wacana dan ketegangan kadang dirasakan oleh publik yang tidak pernah tau apa yang terjadi dalam tubuh partai politik yang sesungguhnya. Citra diri partai diumbar ke publik seolah-olah proses suksesi pemilihan ketua umum berlangsung demokratis dan berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan dan keadilan, padahal pada dasarnya hanyalah kedok barisan oligark untuk menguasai infrastruktur partai dengan cara-cara dan standar etika yang mereka tetapkan yang menguntungkan kepentingan mereka. 272 Jeffrey A. Winters, Oligarki, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2011. Lihat juga Jeffrey A Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Prisma, Volume 33 Nomor 1 tahun 2014 392 Pada konteks inilah pemilihan ketua umum partai politik perlu dilihat secara kualitatif, yakni keterlibatan elite pemegang kekuasaan di dalam partai didasarkan pada konsensus oligark, bukan didasarkan pada prinsip dan semangat demokratis. B. PERTARUNGAN KETUA UMUM PARTAI ADALAH PERTARUNGAN OLIGARKIS Tidak dapat disangkal, bahwa suksesi kepemimpinan di partai politik pasca Orde Baru adalah suksesi yang melibatkan sebagian kecil i ndividu ultra kaya yang mengendalikan hampir sepenuhnya infrastruktur kekuasaan. Kepemilikan modal dan penguasaan atas sumber daya politik menjadi asset yang paling menjanjikan untuk memenangkan pertarungan. Sejarah suksesi dan kemenangan politik elit partai tidaklah di dasari atas kompetisi sehat dan kompetisi kualitas, melainkan di dasari oleh kemampuan membeli suara dan mengatur sebagian besar sumber daya partai. Pengaturan terhadap sumber daya partai tidak murah, namun membutuhkan modal yang kuat, yang berarti topangan sumber daya ekonomi dan sumber daya politik tak terhindarkan. Sebelum menyaksikan roda perputaran elit yang dinamis di tingkat partai politik, penulis semula menduga bahwa pergeseran arus kekuasaan akan terus mengikuti siklus klasik Polybios. Siklus Polybios berurut dari Monarki, Tirani, Aristokrasi, Oligarki, Demokrasi dan berujung ke Okhlorasi. Mestinya setelah demokrasi harus ke Okhlorasi kemudian kembali lagi ke Monarki. Tetapi siklus ini hanya ada dalam teori, tidak dlam sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan mengikuti siklus zaman dan tuntutan sosial, sehingga memimpikan siklus Polybios akan menjadi nyata dalam suatu negara juga tidak mungkin terjadi. Hanya saja, siklus Polybios ini dalam konteks Indonesia – mungkin juga dalam konteks negara- negara lain di dunia – tidak memisahkan praktik demokrasi dan oligarki dalam lanskap yang berbeda. Keduanya berjalan beriringan. Pandangan ini didukung oleh Jeffrey A. Winters 273 yang mengingatkan bahwa: tak ada pertentangan inheren antara oligarki dan demokrasi, maupun oligarki dengan cara produksi apapun. Dengan alasan yang sama, tak mengherankan bila Indonesia pada tahun 2009 bisa menjadi Negara paling demokratis sekaligus paling korup di Asia Tenggara 274 . Argumentasi ini di 273 Jeffrey A. Winters, Oligarki, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011 hlm. 210. 274 Pada , Freedom ouse menyebut Thailand dan Filipina bebas dan ndonesia sebagian bebas . Sejak tahun , ndonesia telah menjadi satu-satunya Negara bebas di Asia Tenggara. Selama beberapa tahun Transparency International 2009 mencatat Indonesia, Vietnam, dan Filipina sebagai calon-calon kuat peraih gelar Negara paling korup di Asia Tenggara. Namun Political and Economic Risk Consultancy PERC 2010 yang bermarkas di Hong Kong, yang melakukan jajak pendapat kepada para eksekutif tingkat menengah dan senior Asia dan ekspatriat 393 dukung oleh fakta politik yang tak terelakkan, dimana demokrasi ditumpangi secara radikal oleh kelompok oligark. Artinya, demokrasi dan oligarki tidak menjadi siklus yang berputar, namun dapat bersatu dan saling menopang. Pada saat rezim demokrasi berlangsung, oligarki dapat menumpang di atas-nya, karena oligarki tidak mengenal pada sistem politik mana dia harus bertahan, karena semua sistem politik dapat melibatkan oligarki. Fenomena politik Indonesia setelah reformasi tidak mengubah keadaan oligarki, meksipun demokrasi menjadi salah satu fenomena yang sangat maju. Demokrasi politik yang berjalan 18 delapan belas tahun terakhir sejak reformasi digulirkan adalah merupakan salah satu kesuksesan politik terbesar bagi Indonesia, namun pada saat yang sama kelompok-kelompok oligarki yang terdeferensiasi dan partikular tumbuh mengkonsolidasikan diri. Partai-partai dipaksa untuk mengikuti UU yang dibuat melalui piranti dasar demokrasi, namun mekanisme oligarkis juga bekerja bersamaan dengan demokrasi tersebut. Keterbukaan politik yang menjadi salah satu elemen penting demokrasi memang terjadi dan dipraktikan dihampir seluruh negeri. Namun partai-partai hanya dihuni oleh para oligark terutama mereka yang memiliki modal dan para pengusaha. Kaderisasi politik para oligark ini tidak saja pada anak-anak mereka, tetapi juga pada kader dari luar klan keluarga dengan komitmen menjaga kesetiaan. Golkar sebagai salah satu partai warisan Orde Baru dan merupakan partai yang memiliki mesin politik paling rapi, justru dikuasai oleh para oligark. Meskipun oligarki di dalamnya tidak solid secara internal, manun jika menyangkut urusan partai sebagai mesin politik bersama, mereka menjaganya. Problem terbesarnya, setiap partai politik mengandalkan uang sebagai basis konsolidasi dan pemantik soliditas internal, disamping kekuasaan. Kekuasaan tanpa ditopang dengan uang, ia keropos dan dengan mudah digerogoti oleh pihak lawan. ndividu yang memiliki uang akan dengan mudah membeli setiap orang untuk membantuk mengatur dan memadamkan api ketegangan , apabila terjadi move politic dan ketegangan-ketegangan kecil dari dalam. Tanpa pembayaran yang memadai, sulit bagi setiap orang untuk menjaga kesetiaan terhadap individu tertentu, terutama ketua umum, karena pola pikir yang dibangun adalah bagaimana cara mengambil keuntungan sebesar mungkin dari proses dan dinamika kepartaian yang bergulir. Seorang ketua umum yang baik harus memiliki dua modal sebagaimana tersebut di atas untuk terus menjaga stabilitas kekuasaan di dalam partai politik. begitu sentralnya kekayaan di dalam perebutan kursi ketua umum, setiap calon diperhadapkan pada pembiayaan sukses yang begitu besar. Ia harus menyiapkan uang transportasi, konsumsi dan akomodasi pemilik suara yang akan menjadi yang bekerja di kawasan tersebut selalu lebih konsisten menempatkan Indonesia di Bawah, sebagai Negara terkorup Catatan kaki Winters, 2011; 210 394 voters nya pada saat pemilihan berlangsung. Selama konsolidasi di berbagai kota, tim sukses di biayai sepenuhnya oleh kandidat, termasuk uang hariannya. Secara sederhana, jika bukan orang kaya, sulit untuk membiayai ticket pesawat, ticket hotel dan memberi uang makan kepada ratusan voters, belum juga ditambah dengan suara yang kadang diperjualbelikan. Fenomena ini menuntut oligarki yang kuat secara finansial untuk menduduki posisi ketua umum partai politik, sehingga suksesi yang semula dilakukan secara demokratis hanyalah menjadi gincu semata , karena pada akhirnya akan jatuh ke tangan oligarki. Mereka hanya mengendarai slogan demokrasi untuk kepentingan individu dan aliansi mereka. Dalam analisis kasus di bawah mengenai kekuatan oligarki dalam pemilihan ketua umum partai politik, penulis mengambil sample pada Partai Golkar, Partai Demokrat, PDI-P dan PAN. Hal ini dengan pertimbangan, bahwa apa yang terjadi pada PPP mirip dengan yang terjadi pada Partai Golkar, terkait dengan konflik oligarkinya. Sementara Partai Gerindra dan Partai Hanura memiliki oligarki tunggal yang mirip dengan apa yang terjadi pada PDIP. PAN, PKB dan PKS memiliki kecenderungan yang sama, karena dari segi kultur partai-partai tersebut berbasis massa Muslim serta dalam proses pergantian kekuasaan-nya tidak memiliki basis sejarah oligarki yang kuat dan mapan serta berusia panjang. Itulah sebabnya penulis hanya mengambil empat partai sebagai sampling untuk di analisis. Beberapa kasus pemilihan ketua umum partai politik dapat diulas sebagai berikut:

1. Kasus Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar.

Partai Golkar adalah contoh partai politik yang paling dinamis. Hal ini disebabkan oleh merata-nya kekuatan oligarki di dalamnya. Para pengusaha, birokrat, mantan militer merupakan aliansi penting yang menyatukan Golkar. Fenomena ketegangan partai Golkar belum pernah terjadi di partai politik lain. Ketegangan-ketegangan di Golkar terjadi dalam dua skema, yakni perebutan kekuasaan dari dalam yang menciptakan neraka politik , namun konsolidasi dan perlindungan politik keluar yang begitu kuat. Akibatnya, penghancuran politik sesama kader terjadi secara signifikan, namun di saat yang lain, apabila ada isu bersama dari luar yang mengguncang partai, mereka tiba-tiba bersatu dan mengangkat senjata untuk menghadang. Terlepas dari kemampuan manajemen konflik politik yang dikelola oleh partai, Partai Golkar menempatkan proses sebagai langgam utama pengembangan institusi. Proses yang dimaksud adalah; tidak mudah menjadi pengurus partai, karena terjadi antrian panjang. Kecuali dalam beberapa kasus tertentu, beberapa tokoh atau Oleh sebab itu, para pengurus dan pimpinan partai adalah barisan lama yang terus- menerus menjadi penjaga dominasi kekuasaan. Penulis melihat ada dua lapisan oligarki di dalam partai Golkar, yakni; old oligark oligarki tua, dan new oligarki oligarki baru. Kedua lapisan ini saling mengisi satu sama lain, meskipun pada kenyataanya, oligarki tua-lah yang 395 memegang simpul-simpul kekuasaan. Sementara yang muda diproses melalui berbagai instrumen untuk dipersiapkan sebagai pengganti yang tua. Oleh karena itu, kaderisasi partai berjalan bukan untuk membuka kran demokrasi dan meningkatkan kualitas elit partai dalam upaya untuk mempersiapkan mereka sebagai kader politik , tetapi mereproduksi oligarki baru sebagai penopang partai di kemudian hari, sebagai upaya preventif bila oligarki tua sudah tidak lagi dapat diharapkan. Untuk saat ini ada dua oligark yang saling berhadapan, yakni kubu oligark yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie di satu sayap dan kubu Oligark yang dipimpin oleh kubu Jusuf Kalla di pihak lain. Meskipun ada kubu lain, seperti Akbar Tanjung, namun kekuasaan nya makin lama makin melemah dan tergerus. Hal ini terjadi karena skala pragmatisme yang dikembangkan oleh kubu Akbar yang terlalu dominan sementara sumber harta sebagai basis utama penguasaan infrastruktur partai tidak terlalu kuat. Di kubu Akbar saat ini, tidak ada pengusaha ultra kaya yang menjadi penopang kekuasaan nya, padahal apabila di topang oleh basis ekonomi yang kuat, dengan pengalaman organisasi dan kemampuan manajerial yang baik, Akbar dapat menguasai infrastruktur partai secara signifikan. Oligark yang awet dan terus bertahan adalah oligark yang menguasai asset ekonomi dan mereka yang penulis sebut sebagai individu ultra kaya di atas. Representasi yang paling kuat dari kedua hal tersebut adalah Bakrie dan Kalla, sebagai pengusaha dengan asset yang dapat diperhitungkan. Keduanya memimpin kekuatan yang berimbang dari komposisi harta, meskipun besar-kecilnya harta mereka tidak ada yang tau persis. Namun yang tampak ke publik, keduanya mewakili oligarki tua yang amat kaya, dan tentu saja memiliki basis penguasaan infrastruktur partai mumpuni. Kongres Partai Golkar di Bali pada tanggal 30 November sampai 2 Desember 2014 yang menyebabkan terpilihnya Bakrie secara aklamasi telah di dahului oleh perseteruan panjang di antara kubu-kubu oligarki yang corak kekuatannya beragam. Semua orang menduga hanya beberapa kekuatan yang akan tampil dan saling berhadapan, namun secara faktual pertengkaran diperburuk oleh bangkitnya aliansi oligarki muda yang semula tidak berani menghadapi tekanan oligarki tua. Tampilnya Priyo Budi Santoso, Zainuddin Amali, Airlangga Hartarto, Agus Gumiwang, Agun Gunanjar, dan Gusti Iskandar dalam Kongres tandingan di Ancol, Jakarta, pada tanggal 6-8 Desember 2014 telah memperlihatkan asumsi sebelumnya, bahwa Kalla terlibat di dalam perseteruan Golkar, meskipun melalui tangan orang lain. Meskipun Agung Laksono, ketua terpilih dalam munas Ancol adalah salah satu oligarki tua, namun dia ditopang penuh oleh aliansi oligarki muda yang sudah lama berkuasa di partai Golkar dan beberapa oligarki tua yang tidak sejalan dengan aliansi yang dibangun oleh Bakrie. Terbelahnya Golkar menjadi dua kubu telah melahirkan kegamangan politik bagi sebagian kader. Diperburuk lagi dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM yang melegitimasi Kongres Ancol sebagai Kongres yang sah. Publik