Penutup Analisa Efektifitas Mahkamah Partai Dalam Negara Demokrasi

984 DAFTAR PUSTAKA Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta,sinar grafika. Jeje Abd Rojak, 1999, Politik Kenegaraan Al-Ghazali Dan Ibnu Taimiyyah, Surabaya, PT Bina Ilmu J.M. Papasi, 2010, Ilmu Politik Teori Dan Praktik, Yogyakarta, Graha Ilmu Meriam Budiardjo, 2015, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama Muhammad Azhar, MA, 1996, Filsafat Politik Perbandingan antara Islam dan Barat, Jakarta Utara, PT Raja Grafindo Persada Septi Nurwijayanti Nanik Prasetyoningsih, 2009, Politik Ketatanegaraan, Yogyakarta,Lab Hukum, 2009, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta http:www.hukumonline.comberitabacalt52cff690a4a09ma-pertegas-posisi- mahkamah-partai-politik , diakses pada tanggal 17 juli 2016 https:www.tempo.coreadkolom201601252358mahkamah-partai-tak- bergigi , diakses pada tanggal 17 juli 2016 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang dirubah dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik BIOGRAFI SINGKAT Nama : Emy Hajar Abra, S.H., M.H Tempat Tugas : Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan UNRIKA, Batam Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Internasional UIB, Batam 985 Abstrak Penyelesaian Sengketa Internal Partai yang Demokratis Pembaharuan Partai Politik: Demokratisasi Penyelesaian Sengketa Kepengurusan Partai Politik Partai politik adalah salah satu instrument penting dalam demokrasi. Oleh sebab itu, segala bentuk dan aktifitas dari partai politik mesti berlangsung juga secara demokratis. Salah satu hal yang juga mesti berlangsung secara demokratis adalah proses demokratisasi di dalam internal dalam tubuh partai politik. Salah satu hal untuk dapat menguji hal tersebut adalah bagaimana demokratisasi penyelesaian sengketa internal partai politik. Dalam catatan Undang-Undang Partai Politik di Indonesia, sejak reformasi, terdapat empat undang-undang partai politik yang pernah dan masih berlaku. Dari empat undang-undang tersebut hanya satu undang-undang, yakni Nomor 2 Tahun 1999 yang tidak mengatur penyelesaian sengketa internal partai politik. Dari perjalanan tersebut, terlihat bahwa para pembentuk undang- undang di Indonesia, setidaknya sejak era reformasi menunjukan pola pembentukan hukum yang responsif. Meskipun hampir seluruh mereka pembentuk undang-undang berasal dari partai politik, dan berada di era transisi reformasi, merek a masih mau membuat pengaturan penyelesaian sengketa internal partai politik. Meskipun kemudian di dalam ketentuan hari ini terdapat catatan terhadap ketentuan tersebut. Mesti ada dua pilihan perbaikan terkait dengan penyelesaian sengketa internal partai politik. Untuk Mahkamah Partai, mesti diperbaiki komposisinya dengan memperbanyak orang dari eksternal partai politik. Kemudian, terkait dengan pemberian penyelesaian sengketa internal partai politik ke pengadilan, frasa putusan Mahkamah Partai yang final dan mengikat mesti dihapus. Kata Kunci: Partai Politik, Sengketa, Demokratis Fadli Ramadhanil Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi 085272079894 fadlifhuagmail.com 986 Pembaharuan Partai Politik: Demokratisasi Penyelesaian Sengketa Kepengurusan Partai Politik 216 Oleh: Fadli Ramadhanil Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi Perludem A. Pendahuluan Sebetulnya, kalau proses verifikasi faktual terhadap partai politik calon peserta pemilu pada tahun 1999 itu dilakukan secara konsekuen, maka tidak akan lebh dari 10 partai politik yang akan memenuhi syarat sebagai peserta pemilu Alm Adnan Buyung Nasution Mantan Anggota KPU Tahun 1999 Penggalan kutipan pernyataan Alm Adnan Buyung Nasution diatas cukup mengejutkan. Bahwa ternyata, ada langkah-langkah dan sikap tolerean terhadap partai politik yang sebetulnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu pada Pemilu 1999. Namun ternyata, dalam catatan sejarah, Kita tetap memilih 48 partai politik sebagai peserta pemilu tahun 1999. Sebagai salah satu instrument terpenting di dalam demokrasi 217 , kekuatan dan demokratisasi institusi partai politik jelas menjadi salah satu hal yang sangat penting. Namun, dalam kasus yang terjadi di Indonesia, terdapat fenomena penting yang mungkin jarang dapat dipotret terkait dengan perkembangan keberadaan organisasi partai politik di Indonesia. Kita tentu masih sangat ingat, bahwa Pemilu 1999 adalah keran pertama yang membuka kesempatan kepada banyak kelompok, banyak golongan, banyak sekte, untuk membentuk partai politik, dan kemudian berlomba-lomba untuk bertarung mengikuti proses Pemilu 1999. Jika dilihat dari pesan yang jauh lebih dalam terhadap fenomena ini, mestinya momentum lahirnya banyak partai politik baru dalam semangat reformasi tahun 1999 adalah kesempatan yang baik juga untuk menata dan menyusun model organisasi partai politik modern di Indonesia. Hal ini tentu saja mesti berangkat dan berdasarkan pada peran dan fungsi partai yang sesungguhnya. Beberapa yang jamak Kita ketahui adalah, partai mesti menjadi organisasi yang kuat, dan menjalankan peran dan fungsi pokok, mulai dari pendidikan politik, kaderisasi partai politik, rekrutimen politik, dan sosialisasi politik. Jika dijajaki lebih lanjut, persyaratan untuk partai politik dapat menjadi peserta Pemilu tahun 1999, tidaklah mudah. Salah persyaratan berat yang mesti dipenuhi oleh partai politik adalah memiliki kepengurusan sampai ketingkat daerah, sebagai bukti bahwa partai politik tersebut memiliki kader, dan punya fondasi organiasai yang kuat, dan itu mesti diverifikasi secara faktual oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu kala itu. Namun, terdapat fakta sejarah yang cukup menarik yang mestinya Kita ketahui secara jamak sebagai pembelajaran dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. 216 Makalah disampaikan dalam kegiatan Konferensi Hukum Tata Negara Ketiga, oleh Pusat Studi Konstitusi PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, di Bukittinggi, Sumataera Barat. 217 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik edisi revisi cetakan kedua, Jakarta: PT Ikrarmandiriabadi, 2010, hlm 13. 987 Sebagaimana disampaikan oleh Adnan Buyung Nasution alm, yang merupakan salah satu anggota KPU dari utusan pemerintah pada penyelenggaraan Pemilu 1999, bahwa jika syarat kepengurusan bagi partai politik diberlakukan dan dilaksanakan secara konsisten dan tegas kepada seluruh partai politik calon peserta Pemilu 1999, menurut Buyung, tidak akan sampai 10 partai politik yang memenuhi syarat yang disebutkan di dalam peraturan perundang-undangan. 218 Namun, untuk menjaga semangat reformasi, dan merawat euforia banyak golongan yang ingin berpartisipasi dalam pemilu setelah terkungkung lama sepanjang 32 tahun dibawah rezim orde baru, tidak elok jika diperlakukan syarat verifikasi partai politik calon peserta pemilu ini secara konsekuen dan konsisten. Hal ini diakui dan dilaksanakan sendiri oleh KPU era tahun 1999, yang salah satunya dilaksanakan oleh Adnan Buyung Nausution sebagai salah satu anggota KPU kala itu. 219 Beberapa partai politik yang semestinya tidak memenuhi syarat, kemudian diberikan toleransi , sehingga akhirnya bisa ditetapkan sebagai peserta pemilu. 220 Salah satu syarat terberat yang banyak sebetulnya tidak dipenuhi oleh partai politik calon peserta pemilu kala itu adalah syarat kepengurusan yang sampai ke daerah, dan pengurus daerah mesti memiliki secretariat. Namun, hal ini kemudian yang tidak dilakukan secara konsekuen oleh tim verifikator KPU, dengan penuh toleransi dan pengecualian. Padahal, sebagai sebuah proses verifikasi administratif untuk partai politik calon peserta pemilu, langkah ini tentu saja seharusnya tidak dapat dibenarkan. Dalam artian, jika memberikan toleransi kepada partai politik calon peserta pemilu dengan menyatakan yang bersangkutan memenuhi syarat kepengurusan partai politik yang padahal sesungguhnya tidak, dalam tatanan penegakan hukum, ini jelas sebagi salah satu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan. Namun lebih dari itu, berangkat dari deskripsi yang saya sampaikan diatas, poin penting yang hendak ditekankan adalah terdapat momentum perbaikan, reformasi, dan penguatan partai politik di Indonesia yang terlewatkan. Bagi saya, momentum reformasi yang melahirkan banyak partai politik baru yang mendaftar menjadi calon peserta pemilu, semestinya betul- betul dilakukan verifikasi dan uji kelayakan secara sungguh. Sehingga, andai pada tahun proses verifikasi dan penataan, serta seleksi bagi partai politik calon peserta sudah dilakukan secara meksimal, bukan tidak mungkin, dan bisa dibayangkan bagaimana system kepartaian di Indonesia setelah 17 tahun reformasi akan jauh lebih mapan dan baik. Meskipun tidak ada jaminan terkait dengan hal ini sepenuhnya, namun setidaknya jika digunakan asumsi dengan pendekatan historis yang diceritakan dalam banyak referensi sejarah, semestinya system kepartaian di Indonesia bisa dua atau tiga langkah lebih maju dari hari ini. Dalam konsep perbaikan tersebut, tentu saja hal yang paling krusial adalah mekanisme demokratisasi proses pengajuan calon dalam setiap pemilihan umum oleh partai politik. Suatu persoalan yang masih menjadi hal yang mahal bagi partai politik untuk melaksanakannya.Selain itu, sebagai sebuah institusi utama dalam demokrasi, serta 218 Adnan Buyung Nasution, dibantu dituliskan oleh Ramadhan KH dan Nina Pane, Pahit Getir Merintis Demokrasi, Jakarta: Aksara Karunia, 2004, hlm. 52. 219 Ibid, hlm 56. 220 Ibid, hlm. 57. 988 memiliki peran penting dalam melakukan agregasi terhadap kepentingan masyarakat banyak, partai politik semestinya juga memiliki mekanisme penyelesaian sengketa kepengurusan atau sengketa internal di dalam tubuh partai politik secara demokratis dan kompromistis yang elegan. Secara spesifik, jika dilihat bahwa keberadaan partai politk adalah bentuk kebebasan dan penghargaan kepada kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 221 Artinya, keberadaan dan hadirnya pengaturan tentang partai politik di Indonesia, adalah bentuk penghargaan terhadap hak sipil dan politik warga negara, terutama dalam hal berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pada bagian berikutnya, penegasan yang jauh lebih spesifik disebutkan di dalam konsideran keberadaan partai politik. Bahwa partai olitik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. 222 Hakikat yang jauh lebih penting juga disebutkan di dalam landasan idil UU Partai Politik tersebut. Bahwa kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab, dan perlakukan yang tidak diskriminatif dalam negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diberi landasan hukum. 223 Berdasarkan dari tiga poin penting yang memberikan penjelasan bahwa partai politik adalah instrumen penting dalam proses pembangunan demokrasi beserta kaidahnya, yang berkeadilan, dan bertanggung jawab. Oleh sebab itu, keberadaan undang-undang partai politik menjadi penting untuk lebih merinci pengaturan partai politk secara organisatoris. Berdasarkan hal tersebut, kepada partai politik diberikan defenisi sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. 224 Kemudian, di dalam Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 menyebutkan tujuan dan fungsi partai politik. Kepentingan utamanya adalah menciptakan dan membangun keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang jauh lebih demokratis dan sejahtera. Apalagi, partai politik adalah salah sau institusi yang memiliki peran penting untuk menciptakan dan menelurkan calon pemimpin politik dan tentu juga pemimpin negara. Oleh sebab itu, organisasi partai politik dituntut juga untuk berlaku secara demokratis dari sisi internalnya. Salah satu indikator yang dapat dikur untuk melihat demokrasi internal partai politik adalah, bagaimana partai poltiik menyelesaikan 221 Lihat Poin a konsideran menimbang pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 222 Lihat poin d konsideran menimbang pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik 223 Lihat poin c konsideran menimbang pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik 224 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Pasal 1 angka 1. 989 persoalan di dalam organisasinya. Sebagai organisasi yang memiliki kepentingan., apalagi untuk mendapatkan kekuasaan, tentu saja banyak kelompok dan kepentingan yang ada di dalam partai politik. Hal itulah kemudian yang membuat konflik dan sengketa internal partai politik tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, tulisan ini, akan coba melihat, dari empat undang-undang partai politik yang pernah belraku sejak era reformasi, bagaimana kemudian perkembangan proses penyelesaian sengketa partai politik.

B. Perkembangan Pengaturan Penyelesaian Sengketa Partai Politik Dari

1999-Sekarang Reformasi 1999 ditandai dengan dengan berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya. Pengunduruan diri Presiden Soeharto kemudian menjadi pemulai runtuhnya orde baru. Sejak saat itu, lahirlah kemudian orde baru di Indonesia, yakni orde reformasi. Sejak reformasi 1998, banyak aspek yang berubah dengan sangat cepat. Salah satu hal yang berubah dengan sangat cepat adalah termasuk salah satunya terkait dengan perkembangan organisasi partai politik. Sejak reformasi, sudah terdapat empat undang-undang partai politik yang sudah berlaku. Dari empat undang-undang itu, masing-masing undang-undang juga mengatur secara detail terkait dengan mekanisme penyelesaan sengeta kepengurusan partai politik. 1 Pengaturan di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Konflik internal partai politik paling dominan yang dimaksud di dalam hal ini adalah konflik yang terjadi akibat sengketa perebutan kepemimpinan partai politik. Setelah sengketa memperebutkan kepemimpinan partai, juga akan dilihat konflik- konflik yang lain yang pernah muncul, atau bisa muncul di dalam tubuh partai politik. Namun, jika mencermati ketentuan yang ada di dalam UU No. 2 Tahun 1999, tidak ada mengatur terkait dengan sengketa kepengurusan partai politik. Undang-Undang No. 2 Tahun 1999, sebagai salah satu dari tiga undang-undang paket politik pertama yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan DPR pascareformasi, ternyata belum mampu menangkap instrumen penting yang perlu dimasukkan ke dalam pengaturan undang-undang partai politik. Padahal, penanganan proses sengketa internal bagi partai politik adalah salah satu yang paling penting, mengingatkan semakin dibukanya kesempatan bagi partai politik untuk lahir dan ikut berkompetisi dalam pemilihan umum. 225 Jika dilihat pendekatan sejarah, maka terdapat satu peristiwa sengketa kepengurusan partai politik pada tahun 1996 yang tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara hukum, sehingga berujung kepada langkah kekerasan dan perkelahian. Sengketa ini juga kemudian yang membuat Partai Demokrasi Indonesia, berubah nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP. 2 Pengaturan di Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik 225 Lihat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Undang-Undang ini merupakan satu dari tiga paket undang-undang politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pertama Pascajatuhanya rezim orde baru. 990 Setelah Pemilu 1999, dan paket undang-undang politik Nomor 2, Nomor 3, dan Nomor 4 Tahun 1999, banyak pergeserana dan pembelajaran dari kondisi tersebut. Banyaknya partai politik yang kemudian lahir dan ikut menjadi peserta pemilu, semakin membutuhkan banyak perangkat hukum untuk memastikan organisasi partai politik bisa terkendali dan membangun demokrasi di internal mereka. Oleh sebab itu, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yang menggantikan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1999 mulai mengatur terkait sengketa internal partai politik. Pengaturan pertama ada di Pasal ayat Apabila terjadi keberatan dari sekurang-kurangnya setengah peserta forum musyawarah atau terdapat kepengurusan ganda partai politik yang didukung oleh sekurang-kurangnya setengah forum musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 3, keberatan itu diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat . Kemudian pada ayat Apabila penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dapat tercapai, para pihak dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan . 226 Kemudian, selain sengketa kepengurusan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 juga mengatur tentang keanggotaan yang diberhentikan dari kepengurusan partai politik, yang terdampak akibat sengketa kepengurusan. Mereka dilarang untuk membentuk kepengurusan partai yang baru, atas nama nama partai politik yang sama. Hal ini menjadi menarik, untuk menghindari terbentuknya kepengurusan ganda oleh satu partai politik. Pengaturan terkait hal ini ada di Pasal 15 UU No. 31 Tahun , bahwa Pengurus danatau anggota partai politik yang berhenti atau diberhentikan dari kepengurusan danatau keanggotaan partainya tidak dapat membentuk kepengurusan atas partai politik yang sama danatau membentuk partai politik yang sama Selain itu, UU No. 31 Tahun 2002 juga sangat detail mengatur tentang jalur hukum melalui pengadilan yang mesti diikuti untuk menyelesaikan konflik kepengurusan partai politik. Ketentuan di Pasal ayat Perkara partai politk berkenaan dengan ketentuan undang-undang ini diajukan melalui pengadilan negeri. Kemudian Ketentuan Pasal 16 ayat 2 berbicara terkait dengan sifat putusan dari pengadilan negeri yang hanya dapat dilakukan kasasi ke MA. Selain itu, juga terdapat limitasi waktu yang diatur untuk menyelesaikan konflik kepurusan partai politik yang bersengketa. Pasal ayat menyebutkan Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 enam puluh hari dan oleh Mahkamah Agung paling l ama tiga puluh hari . Dari uraian diatas, terlihat bahwa UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik cukup detail mengatur terkait sengketa kepengurusan partai politik. Pengaturan di dalam Pasal 14 misalnya, mengatur dua kondisi yang membuat suatu kepengurusan partai politik dianggap mengalami sengketa. Pertama adanya keberatan dari forum peserta musayawaah pergantian pengurus, atau terdapatnya pegurus ganda, yang didukung setengah forum musyawarah. Hal pertama yang diajukan adalah musyawarah dan mufakat. Mekanisme ini tentu saja ada di dalam ADART partai. 226 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. Undang-Undang ini merupakan undang-undang penggani dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Artinya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 adalah undang-undang partai politik kedua setelah masa reformasi.