Kesimpulan dan Saran Analisa Efektifitas Mahkamah Partai Dalam Negara Demokrasi

996 memberikan pengaturan prihal sengketa kepengurusan partai politik. Sisanya, Undang-Undang 31 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, memberikan pengaturan terkait dengan sengketa kepengurusan partai politik; 2. Dari politik hukum para pembentuk undang-undang, menunjukkan sikap yang responsif, dan mampu berkomitmen bahwa pengaturan terkait dengan sengketa kepengurusan partai politik adalah hal yang sangat urgen dan dibutuhkan pengaturannya di dalam UU Partai Politik. Meskipun kemudian ini mengatur dapur partai, para pembentuk undang-undang mampu memberikan pengaturan terkait hal ini, meskipun terdapat catatan dan kekurangan dari pengaturan tersebut; 3. Dibutuhkan perbaikan dari mekanisme penyelesaian sengketa kepengurusna partai politik dari ketentuan ius constitutum, yakni UU No. 2 Tahun 2008, menuju kearah yang lebih baik, demokratis, dan memberikan kepastian hukum Adapun saran yang disampaikan di dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Dibutuhkan perbaikan terhadap ketentuan undang-undang partai politik, khususnya terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa kepengurusan partai politik, yang berangkat dari mekanisme yang lebih demokratis dan memberikan kepastian hukum. Sehingga, ketentuan tersebut bisa lestari dan dapat bertahan lama, agar regulasi terkait dengan partai politik tidak sering diubah-ubah; 2. Rekomendasi terkait dengan mekanisme penyelesaian yang dapat diusulkan adalah mencakup dua hal: a. Jika menggunakan majelis partai sebagai instrument penyelesaian yang dibentuk oleh internal partai, maka susunan dari Mahkamah Partai mesti diperbaiki. Hal utama yang mesti diperbaiki adalah dengan memasukkan dan orang-orang diluar partai untuk menjadi Mahkamah Partai, yang terdiri dari akademisi, tokoh masyarakat, atau negarawanan yang integritas terjamin dan dipercaya oleh kalangan internal partai politik. Penunjukkannya pun dilakukan setelah sengketa internal atau kepengurusan terjadi. Jadi, siapa orang yang akan ditunjuk disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Jumlah pihak dari eksternal pun mesti lebih banyak dari orang internal partai politik, untuk mengurangi konflik kepentingan, dan menjamin integritas Mahkamah Partai. b. Jika masih memberikan ruang kepada mekanisme penyelesaian sengketa di pengadilan, maka frasa putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat mesti dihapus dan dihilangkan di dalam penagturan UU Partai Politik. Sehingga, prose masih bisa berlanjut dengan melakukan sengketa dipengadilan, dan terdapat kepastian proses dalam penyelesaian sengketa proses. Selain itu, hal yang mesti diperbaiki adalah soal kepastian dan limitasi waktu yang diberikan untuk orang atau sekelompok orang dapat mengajukan sengketa kepengurusan partai politik. Sehingga, pengaturan ini dapat menutup kemungkinan orang atau sekelompok orang yang secara tiba-tiba mengajukan sengketa kepengurusan partai politik. Referensi 997 Adnan Buyung Nasution, dibantu dituliskan oleh Ramadhan KH dan Nina Pane. 2004. Pahit Getir Merintis Demokrasi. Jakarta: Aksara Karunia Bernard L. Tanya. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, Yogyakarta: Genta Publishing. Harun Husein. 2014. Pemilu Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi. Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaat. 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press. Miriam Budiardjo. 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik edisi revisi cetakan kedua. Jakarta: PT Ikrarmandiriabadi Satya Arinanto.2004. Politik Hukum 2. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, Satya Arinanto. 2001. Politik Hukum 1. Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Satya Arinanto. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Profil Penulis FADLI RAMADHANIL, menyelesaikan studi sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, pada Mei tahun 2013. Semasa mahasiswa Fadli aktif di Perhimpunan Mahasiswa Tata Negara Fakultas Hukum Unand, dan sejak 2011 bergabung dengan Pusat Studi Konstitusi PUSaKO Fakultas Hukum Unand sebagai asisten peneliti. Selesai menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Fadli bergabung dengan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi Perludem sejak Juni 2013 sampai sekarang. Di Perludem aktif menggeluti isu-isu penegakan hukum pemilu. Fadli aktif menulis di beberapa media seperti Kompas, Republika, rumahpemilu.org, dan The Geotimes, serta Jurnal PemiluDemokrasi. Tulisannya banyak menilik persoalan pemilu, demokrasi, penegakan hukum, dan dinamika ketatanegaraan. email: fadlifhuagmail.com . 998 ABSTRAK PENGUATAN MAHKAMAH PARTAI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK YANG DEMOKRATIS Era reformasi mendorong partai politik berkembang. Secara konstitusional, keberadaannya semakin kuat dan bahkan partai politik menjadi sarana tunggal yang dapat mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Pasal 6A ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 dan menjadi peserta pemilihan umum untuk menentukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 22E ayat 3 UUD NRI Tahun 1945. Sehingga pada Pemilu tahun 1999 diikuti 48 partai politik, pemilu tahun 2004 diikuti 24 partai politik, pemilu tahun 2009 diikuti 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh, dan pada Pemilu tahun 2014 diikuti oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal Aceh. Namun, kondisi internal partai politik ternyata rapuh. Indikasinya, perselisihan internal yang tidak mudah diselesaikan dan diantara yang berselisih membentuk partai politik baru. Kerapuhan dalam penyelesaian perselisihan internal partai politik juga diakibatkan substansi UU tentang partai politik yang tidak cukup dan tegas mengaturnya. Opsi-opsi penyelesaian perselisihan partai politik yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 membuka peluang penyelesaian yang berlarut-larut. Apalagi, terjadi juga pengaturan yang saling kontradiktif antar pasal-pasal dalam satu UU. Hadirnya Mahkamah Partai sesungguhnya dari segi ide menarik untuk diapresiasi. Ide penyelesaian perselisihan dalam lembaga khusus menangani pada tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final dan mengikat. Namun, pengaturan tentang Mahkamah Partai dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 sangat lemah dan tidak cukup untuk mewujudkan sebuah lembaga yang kuat. Oleh karenanya, penguatan Mahkamah Partai melalui revisi UU guna mempertegas dan menambah kewenangannya menjadi alternatif solusi. Nama Lengkap : Fauzin Instansi : FH Universitas Trunojoyo Madura HP : 085730150501 Email : fauzin34nkgmail.com 999 PENGUATAN MAHKAMAH PARTAI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK YANG DEMOKRATIS Kata Kunci : Penguatan, Mahkamah Partai, Penyelesaian Perselisihan PENDAHULUAN Keberadaan partai politik dalam bingkai demokrasi di Indonesia semakin kuat setelah amandemen ketiga 235 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD NRI Tahun 1945. Legitimasi penguatan partai politik tersurat dalam Pasal 6A ayat 2 dan Pasal 22E ayat 3 UUD NRI Tahun 1945. Secara tegas rumusan dua pasal tersebut mengatur bahwa partai politik menjadi sarana konstitusional yang tunggal untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sekaligus menjadi peserta pemilihan umum untuk menentukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. 236 Penguatan secara konstitusional bagi keberadaan partai politik seharusnya berdampak pada berkembangnya partai politik dan perlindungannya. Jika diukur dari pendekatan jumlah partai politik yang terlahir pasca reformasi, maka dapat dikatakan bahwa partai politik sangat berkembang. Dari yang sebelumnya era orde baru hanya terdapat tiga partai politik saja Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya, sementara setelah era orde baru runtuh jumlah partai politik lebih banyak. Hal tersebut nampak dari jumlah peserta pemilihan umum pada tahun 1999, 2004, 2009, dan pemilihan umum tahun 2014. Pemilu tahun 1999 diikuti 48 partai politik, pemilu tahun 2004 diikuti 24 partai politik, pemilu tahun 2009 diikuti 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh, dan pada Pemilu tahun 2014 diikuti oleh 12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal Aceh. Berkembangnya jumlah partai politik di satu sisi menjadi bukti terjaminnya hak kebebasan berserikat dan berkumpul dengan wadah partai politik, namun disisi yang lain, ternyata berkembangnya jumlah tersebut juga sebagai akibat dari rapuhnya bangunan internal masing-masing partai politik. Kerapuhan internal partai politik salah satunya berdampak pada perselisihan internal partai politik yang tidak mampu diselesaikan dengan baik dan menjadi perselisihan internal yang berkepanjangan. Perselisihan yang tidak mampu diselesaikan secara baik, tidak jarang menjadi pemicu lahirnya partai politik baru. Jika diperhatikan, perselisihan internal partai politik menjadi salah satu faktor yang menyebabkan jumlah partai politik di era reformasi semakin banyak. Indikasi kerapuhan juga terlihat ketika perselisihan internal partai politik yang terjadi cenderung berkepanjangan atau berlarut-larut. Penyebab perselisihan juga sangat beragam pemicunya. Dapat dipicu karena adanya putusan partai politik, 235 Hasil amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang ketiga ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 November tahun 2001. 236 Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 Pasal 6A ayat 2: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum , dan Pasal 22E ayat 3: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik . 1000 pemecatan anggota, hasil forum tertinggi konggres atau nama lainnya terkait kepengurusan dan masih banyak hal-hal lainnya yang dapat menjadi pemicunya. Diantara sekian banyak perselisihan internal partai politik, bahwa yang sering terjadi, terpublikasi dan berkepanjangan adalah perselisihan terkait dengan kepengurusan. Perselisihan kepengurusan pula yang terkadang menyebabkan lahirnya partai politik baru. Sebuah partai politik baru akan hadir ketika salah satu pihak yang sedang bertikai merasa tidak puas dengan keputusan penyelesaian perselisihan yang telah diputuskan. Pihak yang tidak puas biasanya menyatakan keluar dari partai politiknya yang lama dan sekaligus deklarasi partai politik yang baru. Perselisihan terkait dengan kepengurusan juga tidak jarang menjadi sumber perselisihan yang berkepanjangan. Hal ini terjadi karena masing-masing pihak yang bertikai sama-sama bertahan dengan pendapatnya masing-masing. Terkadang semua pihak merasa pada posisi yang sama-sama benar. Sehingga sama-sama percaya diri sebagai pemegang kepengurusan yang sah atau sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga AD dan ART partai politiknya. Konflik dan perselisihan partai politik yang terjadi akan memunculkan fenomena terjadinya krisis kepercayaan terhadap partai politik. sebagaimana disimak dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh litbang Kompas yang dirilis tanggal 11 Maret 2011 terhadap 1.127 responden yang berusia minimal 17 tahun yang dilakukan secara acak pada 57 kota di Indonesia, terdapat 82,1 berpendapat bahwa partai politik tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. 237 Menurut Paul Conn mengatakan, “Situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah zero-sum conflict dan konflik menang-menang non- zero-sum- conflict . Konflik menang kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ciri struktur konflik ini adalah tak mungkin mengadakan kerja sama, hasil kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja. Konflik menang-menang ialah sesuatu situasi konflik dalam mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. 238 Aspek pengaturan tentang partai politik juga tidak jarang menjadi pemicu perselisihan. Oleh karena itu, beberapa undang-undang tentang partai politk harus dikaji kembali. Karena dalam rangka pembaharuan, pengaturan partai politik pasca reformasi sudah diterbitkan beberapa kali. Tercatat, regulasi yang mengatur tentang partai politik dalam bentuk Undang-Undang UU hingga kini sejumlah empat UU. UU yang terbit khusus mengatur partai politik yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999, Undang-Undang Nomor 31 tahun 2002, Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Namun, ternyata kesemua UU tersebut patut dipertanyakan dalam kaitannya dengan pengaturan penyelesaian perselisihan partai politik. Diawali dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Diantara pertimbangan yang tercantum dalam konsiderannya yaitu Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1975 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 sudah tidak dapat menampung aspirasi politik yang berkembang sehingga kehidupan demokrasi di Indonesia tidak dapat berlangsung 237 Anwar Arifin, Perspektif Ilmu Politik, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2015, Hlm. 99 238 Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, PT Grasindo, 2010, Hlm. 196 1001 dengan baik. Dibawah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 hanya terdapat tiga partai politik yang menjadi peserta Pemilihan Umum Pemilu, yakni Partai Persatuan Pembangunan PPP, Golongan Karya GOLKAR, dan Partai Demokrasi Indonesia PDI. Golkar menjadi partai dominan atau pemenang pemilu selama era orde baru. Kemudian perubahan besar terjadi ketika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 diberlakukan dan sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985. Hak kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat dengan media partai politik tumbuh dan berkembang dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Partai-partai baru bermunculan dengan berbagai latar belakang. Peserta Pemilu Tahun 1999 sebagai hajat demokrasi pertama setelah era baru reformasi tidak lagi hanya diikuti oleh tiga partai saja PPP, GOLKAR, dan PDI, akan tetapi terdapat 48 Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 hanya berusia kurang lebih tiga tahun saja. Oleh karena pada tahun 2002 telah terbit Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Terbitnya Undang-Undang tersebut sekaligus mencabut kekuatan mengikatnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 sebagai produk regulasi kedua yang dimaksudkan sebagai dasar hukum penataan partai politik. Regulasi yang dipersiapkan guna menatap Pemilu Tahun 2004. Peserta Pemilu pada tahun 2004 sebanyak 24 partai politik. Selanjutnya, terbit kembali Undang-Undang yang mengatur tentang partai politik pada tahun 2008 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan pada tahun 2011 terbit Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Bahwa regulasi-regulasi tersebut, memang telah menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat melalui media partai politik. Kesempatan membentuk partai politik terbuka bagi semua warganegara. Sebuah kesempatan yang tidak pernah ditemukan dalam era orde baru. Dampaknya, peserta pemilu pasca reformasi selalu diikuti dengan jumlah partai politik yang sangat banyak. Dinamika politik yang berkembang selalu diikuti dengan permasalahan- permasalahan yang berkembang pula. Ternyata, regulasi tentang partai politik tidak cukup jika hanya sebatas menjadi payung bagi pembentukan atau pendirian partai politik. UU tentang Partai Politik juga harus menjadi payung hukum atas berbagai dinamika yang berkembang pada tubuh partai politik itu sendiri, termasuk menjadi payung hukum bagi perselisihan partai politik. Beragam perselisihan partai politik telah bermunculan dengan latar belakang yang beragam pula. Sebagai contoh yaitu perselisihan kepengurusan partai politik yang terjadi di beberapa partai politik Partai Golkar dan PPP. Berdasarkan perselisihan yang terjadi di beberapa Partai Politik, termasuk diantaranya perselisihan di Partai Golkar, maka menjadi menarik untuk mengkaji pengaturan tentang penyelesaian perselisihan partai politik di Indonesia dan sekaligus merumuskan solusi alternatif penyelesaian perselisihan partai politik. PEMBAHASAN A. Perselisihan Partai Politik dan Pengaturannya Pengertian partai politik sebagaimana menurut Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties, mengemukakan definisi berikut: Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai 1002 kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda . Menurut Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi. 239 Konflik partai politik tidak dapat dihindari karena partai politik sebagai elemen yang sangat menentukan terhadap proses penyelenggaraan negara yang melahirkan pemimpin dan kebijakan-kebijakan publik. Sebagaimana fungsinya partai politik adalah representasi perwakilan, konversi dan agresi; integrasi partisipasi, sosialisasi, mobilisasi; persuasi, represi, rekruitmen pengangkatan tenaga-tenaga baru, pemilihan pemimpin, pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijaksanaan, serta kontrol terhadap pemerintah. 240 Sebagai elemen dalam aktivitas partai politik, konflik ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung, karena itu perlu identifikasi persoalan dan langkah-langkah strategis untuk mengatasi berbagai konflik tersebut. Salah satunya adalah mengetahui sumber konflik yang antara lain adalah sebagai berikut: a. Peraturan perundang-undangan yang ada sekarang belum ideal dan memancing banyak penafsiran yang menimbulkan persoalan dalam partai politik. b. Aturan partai politik seperti ADART dan keputusan partai. c. Persoalan manajemen internal dan individu sebagai sumber konflik. d. Mekanisme rekruitmen kader partai. Konflik internal partai politik akan terjadi pada waktu perhelatan partai seperti kongres, muktamar, pemilu, dan pilkada. Situasi konflik Menurut Paul Conn mengatakan, “Situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah zero-sum conflict dan konflik menang-menang non-zero-sum- conflict . Konflik menang kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ciri struktur konflik ini adalah tak mungkin mengadakan kerja sama, hasil kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja. Konflik menang-menang ialah sesuatu situasi konflik dalam mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. 241 Dengan demikian berlangsungnya konflik yang terjadi pada internal partai politik akan dapat diselesaikan secara menang-kalah zero-sum conflict dan menang-menang non-zero-sum-conflict tergantung pada pengaturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga internal partai politik. Salah satu ukuran negara demokrasi adalah keberadan partai politik. Dalam penyelesaian perkara perselisihan internal Partai Politik, penyelesaiannya berbeda dengan lembaga negara yang lain. Hal tersebut dikarenakan partai politik memiliki tipe karakter yaitu dapat diketahui berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik diklasifikasikan menjadi tiga tipe. Ketiga tipe ini meliputi partai politik pragmatis. Partai politik doktriner, dan partai politik kepentingan. Yang dimaksud dengan partai politik pragmatis ialah suatu partai yang mempunyai prgram dan kegiatan yang tak 239 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka. 2008, hlm, 403 240 Ichlasul Amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta. PT Tiara Yogya. 1988, hlm. 27 241 Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, PT Grasindo, 2010, hlm. 196 1003 terikat kaku pada suatu doktrin dan ideologi tertentu. Artinya, perubahan waktu, situasi, dan kepemimpinan akan juga mengubah program, kegiatan, dan penampilan partai politik tersebut. Penampilan partai politik pragmatis cenderung dari program- program yang disusun oleh pemimpin utamanya dan gaya kepemimpinan sang pemimpin. Partai ini biasanya terorganisasikan secara agak longgar. Hal ini tidak berarti partai politik pragmatis tidak memiliki ideologi sebagai identitasnya. Dalam program dan daya kepemimpinan, terdapat beberapa pola umum yang merupakan penjabaran ideologi tersebut. Namun ideologi yang dimaksud lebih merupakan sejumlah gagasan umum daripada sejumlah doktrin dan program konkret yang siap dilaksanakan. Partai pragmatis biasanya muncul dalam sistem dua partai berkompetisi yang relatif stabil. Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat merupakan contoh partai pragmatis. Yang dimaksud dengan partai doktriner ialah suatu partai politik yang memiliki sejumlah program dan kegiatan konkret sebagai penjabaran ideologi. Ideologi yang dimaksud ialah seperangkat nilai politik yang dirumuskan secara konkret dan sistematis dalam bentuk program-program kegiatan yang pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai. Pergantian kepemimpinan mengubah gaya kepemimpinan pada tingkat tertentu, tetapi tidak mengubah prinsip dan program dasar partai karena ideologi partai sudah dirumuskan secara konkret dan partai ini terorganisasikan secara ketat. Partai komunis di mana saja merupakan contoh partai doktriner. Selanjutnya, partai kepentingan merupakan suatu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, etnis, agama, atau lingkungan hidup yang secara langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan. Partai ini sering ditemui dalam sistem banyak partai, tetapi kadangkala terdapat pula dalam sistem dua partai berkompetisi namun tak mampu mengakomodasikan sejumlah kepentingan dalam masyarakat. Misalnya, partai hijau di Jerman, Partai Buruh di Australia, dan Partai Petani di Swiss. 242 Jika ditelaah, dari masing-masing UU tentang partai politik yang diterbitkan pasca reformasi itu, ternyata belum ditemukan rumusan pengaturan penyelesaian perselisihan partai politik secara jelas dan tegas. Bahkan dalam UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, tidak ada sama sekali rumusan pasal yang terkait dengan hal tersebut. Sementara kalau pada UU Nomor 31 tahun 2002, terdapat dua pasal yakni pada Pasal 14 dan Pasal 16 yang rumusannya terkait dengan penyelesaian perselisihan partai politik. Begitu pula dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 bahwa pengaturan penyelesaian perselisihan partai politik hanya dimuat dalam Pasal 32 dan Pasal 33 yang masing- masing terdiri dari tiga ayat. Rumusan Pasal 32 adalah sebagai berikut: 1 Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. 2 Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. 3 Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART. 242 Ramlan Subakti, Op.Cit., hlm, 155 1004 Rumusan Pasal 33 adalah sebagai berikut: 1 Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang ini diajukan melalui pengadilan negeri. 2 Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. 3 Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 enam puluh hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 tiga puluh hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Kalau berdasarkan Pasal 32 tersebut, maka cara penyelesaian perselisihan partai politik adalah pertama-tama dengan cara musyawarah mufakat. Bilamana cara musyawarah mufakat tidak tercapai, maka dapat ditempuh dengan cara ke Pengadilan dan diluar pengadilan. Bahwa Pengadilan yang dimaksud jika merujuk pada Pasal 33 adalah Pengadilan Negeri PN. Dimana Putusan PN dalam hal penyelesaian perselisihan partai politik ini adalah putusan pertama dan terakhir dan hanya dapat diajukan kasasi ke MA. Sementara yang dimaksud dengan cara diluar pengadilan yaitu cara-cara rekonsiliasi, mediasi, arbitrase Partai Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART. Mengenai yang dimaksud dengan perselisihan partai politik adalah sebagaimana yang termuat dalam bagian Penjelasan Pasal 32 ayat 1 yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perselisihan partai politik meliputi antara lain: 1. Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; 2. Pelanggaran terhadap hak anggota partai politik; 3. Pemecatan tanpa alasan yang jelas; 4. Penyalahgunaan kewenangan; 5. Pertanggungjawaban keuangan; dan 6. Keberatan terhadap keputusan partai politik. Jika ditelaah pengaturan dalam kedua pasal tersebut, bahwa penyelesaiannya didorong dengan mekanisme diluar pengadilan, yakni dengan cara musyawarah mufakat dan dengan cara rekonsiliasi, mediasi dan arbitrase partai politik sesuai dengan AD dan ART. Dengan kata lain, bahwa partai politik didorong untuk menyelesaikan permasalahannya secara mandiri. Pengaturan dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 juga sesungguhnya tidak berbeda dengan yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2008. Bahwasanya UU semakin tegas ingin mendorong penyelesaian perselisihan partai politik melalui mekanisme internal partai. Hal itu terbaca dari rumusan-rumusan pasalnya sebagai berikut: a. Pasal 32 1 Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. 2 Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik. 3 Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. 4 Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus diselesaikan paling lambat 60 enam puluh hari. 1005 5 Putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. b. Pasal 33 1 Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. 2 Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. 3 Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 enam puluh hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 tiga puluh hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Pemaknaan tentang perselisihan partai politik dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 sama dengan yang termuat pada UU Nomor 2 Tahun 2008. Hal itu dapat dibaca pada bagian Penjelasan Pasal 32 Ayat bahwa yang dimaksud dengan perselisihan Partai Politik meliputi antara lain: 1 perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; 2 pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; 3 pemecatan tanpa alasan yang jelas; 4 penyalahgunaan kewenangan; 5 pertanggungjawaban keuangan; danatau 6 keberatan terhadap keputusan Partai Politik. Beberapa perubahan menarik yang ditemukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 yaitu munculnya pengaturan pelembagaan mekanisme penyelesaian perselisihan partai politik di internal partai politik. Sebagaimana dirumuskan pada Pasal 32 ayat 2, bahwa penyelesaian perselisihan di internal partai politik dilakukan oleh suatu mahkamah partai politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh partai politik. Hanya sayangnya UU tidak memberikan pengertian secara tegas mengenai mahkamah partai politik. Sehingga dalam implementasinya tidak sama antara partai- partai politik. Sekilas hal itu dapat terbaca dari PPP dan Partai Golkar. Pada PPP, bahwa berdasarkan Pasal 22 Ayat 1 Anggaran Dasar yang ditetapkan di Bandung pada Muktamar ke-7 tujuh Partai Persatuan Pembangunan PPP merumuskan bahwa yang dimaksud dengan Mahkamah Partai DPP adalah institusi yang terdiri atas para tokoh PPP yang memiliki kompetensi di bidang hukum dan politik, bekerja secara kolektif, bertugas dan berwenang menyelesaikan perselisihan kepengurusan internal PPP. Dapat dimaknai terkait dengan kelembagaan mahkamah partai politik UU memberikan kebebasan kepada partai politik. Sehingga beragam model dan desain susunan mahkamah partai politik di setiap partai politik sangat mungkin terjadi. Konflik partai politik tidak dapat dihindari karena partai politik sebagai elemen yang sangat menentukan terhadap proses penyelenggaraan negara yang melahirkan pemimpin dan kebijakan-kebijakan publik. Karena sebagaimana fungsinya partai politik adalah representasi perwakilan, konversi dan agresi;integrasi partisipasi, sosialisasi, mobilisasi; persuasi,represi, rekruitmen pengangkatan tenaga-tenaga 1006 baru, pemilihan pemimpin, pertimbangan-pertimbangan dan perumusan kebijaksanaan, serta kontrol terhadap pemerintah. 243 Konflik internal partai politik akan terjadi pada waktu perhelatan partai seperti kongres, muktamar, pemilu, dan pilkada. Situasi konflik Menurut Paul Conn mengatakan, “Situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi konflik menang-kalah zero-sum conflict dan konflik menang-menang non-zero-sum- conflict . Konflik menang kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ciri struktur konflik ini adalah tak mungkin mengadakan kerja sama, hasil kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja. Konflik menang-menang ialah sesuatu situasi konflik dalam mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. 244 Dengan demikian berlangsungnya konflik yang terjadi pada internal partai politik akan dapat diselesaikan secara menang-kalah zero-sum conflict dan menang-menang non-zero-sum-conflict tergantung pada pengaturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga internal partai politik. B. Mahkamah Partai dan Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Sebagai penyelenggara demokrasi, berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik yang selanjutnya dirubah menjadi UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik menyebutkan 5 lima fungsi partai politik yaitu penciptan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, untuk kesejahteraan masyarakat, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik, partisipasi politik warga negara, dan rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan. Dari fungsi partai politik tersebut, negara menuntut partai politik menjadi institusi politik yang berkontribusi terhadap peningkatan kualitas demokrasi. Tolak ukur untuk menilai hal tersebut adalah partai politik wajib menunjukkan kedewasaan politik dengan menyelesaikan konflik internalnya. Namun dalam kondisi saat ini, partai politik banyak yang didera konflik internal salah satu contohnya adalah Partai Golongan karya Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan PPP tengah terjadi perselisihan internal partai politik. Mahkamah Partai Politik yang berkedudukan di internal partai politik tidak berjalan efektif dikarenakan perselisihan masih terus berlangsung meskipun telah dikeluarkan putusan mahkamah partai politik. Pihak yang bersengketa juga dapat melakukan upaya hukum kepada Pengadilan Negeri dan kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal tersebut menunjukkan bahwa putusan mahkamah partai politik tidak bersifat final dan mengikat sebagaimana Pasal 32 Ayat 5 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang selanjutnya dirubah menjadi UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik. Menata ulang dalam rangka menguatkan dan memaksimalkan institusi kelembagan Mahkamah Partai Politik dalam penyelesaian perselisihan partai politik menjadi penting dan mendesak. Mahkamah Partai Politik memiliki kewenangan- kewenangan antara lain: 1. Perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, 2. 243 Ichlasul Amal, Op. Cit., hlm. 27 244 Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, PT Grasindo, 2010, Hlm. 196 1007 Pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, 3. pemecatan tanpa alasan yang jelas, 4. penyalahgunaan kewenangan, 5. pertanggung jawaban keuangan, dan 6. keberatan terhadap keputusan partai politik. Sedangkan berdasarkan Pasal 20 Ayat 4 Anggaran Dasar Partai Persatuan Pembangunan PPP Mahkamah Partai DPP bertugas dan berwenang, 1 memutus perkara perselisihan kepengurusan internal PPP; 2 memutus perkara pemecatan dan pemberhentian AnggotaPPP; 3 memutus perkara dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Anggota Dewan Pimpinan; dan 4 memutus perkara dugaan penyalahgunaan keuangan. Dengan demikian, Mahkamah Partai Politik dalam desain-nya menurut ide dan gagasan penulis berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut adalah memutus perkara perselisihan kepengurusan internal Partai Politik. Sedangkan kewenangannya yang lain berdasarkan pada UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang selanjutnya dirubah menjadi UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik yaitu, 1 Pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, 2 pemecatan tanpa alasan yang jelas, 3 penyalahgunaan kewenangan, 4 pertanggung jawaban keuangan, dan 5 keberatan terhadap keputusan partai politik, menurut pendapat penulis dapat diselesaikan oleh internal partai politik sendiri. Penyelesaian perselisihan partai politik yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tidak dapat diimplementasikan secara efektif. Rumusan Pasal 32 dan Pasal 33 menjadi salah satu sumbernya. Pertama, tentang pelembagaan penyelesaian perselisihan partai politik dalam bentuk sebuah mahkamah partai politik yang tidak diatur secara tegas dalam UU, akan tetapi diserahkan sepenuhnya kepada partai politik. Terbukti beberapa perselisihan partai politik yang muncul pasca pemberlakuan UU Nomor 2 tahun 2011, bahwa ternyata perselisihannya berlarut- larut yang tidak kunjung selesai. Kedua, rumusan antara Pasal 32 ayat 5 dengan Pasal 33 terjadi kontradiksi. Bahwa Pasal 32 ayat 5 mengatur sifat putusan dari sebuah Mahkamah Partai Politik adalah final dan mengikat secara internal, sementara Pasal 33 ayat 1 menyatakan bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. Tanpa diberi penegasan apakah yang dimaksud oleh Pasal 33 ayat 1 ini juga termasuk perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan partai politik atau tidak. Pasal 33 ayat 1 dapat saja ditafsirkan menabrak ketentuan pada Pasal 32 ayat 5. Sehingga putusan Mahkamah Partai Politik menjadi bias sifat final dan mengikatnya. Melihat perselisihan partai politik akhir-akhir ini, sepertinya sudah saatnya untuk mendorong pelembagaan penyelesaian perselisihan partai politik yang benar- benar mampu menjadi lembaga penyelesaian. Gagasan tentang mahkamah partai sebagaimana yang termuat dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 sesungguhnya menarik untuk di apresiasi. Namun seharusnya, lembaga semacam mahkamah partai bukan sebagai lembaga yang berada di internal partai dan diatur sendiri oleh masing- masing partai. Akan tetapi bahwa lembaga semacam mahkamah partai seharusnya berada diluar partai politik dan menjadi tempat untuk menyelesaikan berbagai perselisihan terkait dengan partai politik. Mengingat lembaga semacam Pengadilan Negeri tidak efektif menjadi media penyelesaian perselisihan partai politik. Sehingga Mahkamah partai politik menjadi instrumen Negara dan bukan instrument partai politik. Secara kelembagaan harus bersifat mandiri dan merdeka bebas dari intervensi manapun. Mahkamah partai politik merupakan lembaga 1008 peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya harus bersifat final dan mengikat. Sehingga mahkamah partai politik tidak berkedudukan di internal partai politik tetapi sebagai peradilan khusus atau lembaga khusus dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah partai politik bukan merupakan instrumen politik melainkan sebagai wadah organisasi dalam penyelesaian perselisihan internal partai politik. Mahkamah Partai Politik merupakan organ komponen atau lembaga khusus yang dibentuk dalam rangka menyelesaikan perselisihan internal Partai Politik. Dengan kata lain, Mahkamah Partai Politik bukan merupakan bagian hierarki horizontal atau vertikal dari suatu kekuasaan pemerintahan termasuk kekuasaan eksekutif atau Presiden. Dengan demikian Mahkamah Partai Politik dapat berjalan secara merdeka dan mandiri serta tidak terdapat intervensi dari eksekutif atau Presiden. Begitu juga Legislatif dan yudikatif tidak dapat mengintervensi. Berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai politik terdapat berbagai macam problematika hukum yang terjadi yang pertama, Undang-Undang No.2 Tahun 2011 tentang Partai politik tidak mengatur kewenangan dan macam sengketa Partai Politik, kedua tidak diaturnya hukum acara dalam penyelesaian sengketa atau perselisihan dalam Mahkamah Partai Politik, ketiga dalam Pasal 32 ayat 2 tidak menyebutkan wujud dan bentuk yang konkrit Mahkamah Partai Politik salah satunya dalam redaksinya Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk ole h partai politik . Dari hasil penelitian tersebut Mahkamah Partai Politik tidak akan berjalan efektif dalam menjadi rujukan dan solusi sebagai usaha penegakan dan menciptakan keutuhan Partai Politik dalam kehidupan yang demokratis. Kemudian Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 menyatakan, dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. 245 Dan pasal 33 Ayat 2 menyatakan putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. 246 Menurut penulis proses upaya hukum ke pengadilan negeri tidaklah tepat, hal tersebut dikarenakan perselisihan internal partai politik adalah perkara administrasi dan bukanlah kewenanganya. Perkara tersebut juga tidaklah tepat jika ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN, karena keputusan partai politik bukanlah keputusan tata usaha negara. Dengan demikian menurut pendapat penulis Memperkuat Mahkamah Partai politik menjadi rujukan dan solusi dalam desain alternatif sebagai usaha penegakan dan menciptakan keutuhan Partai Politik yang berkehidupan demokratis. KESIMPULAN Berdasarkan kajian sebagaimana diuraikan diatas, bahwa pengaturan pasca reformasi mengenai perselisihan partai politik masih banyaka kelemahan secara normatif. Bahwa diantara regulasi dalam wujud UU tentang Partai Politik pasca reformasi, sesungguhnya secara ide munculnya Mahkamah Partai Politik dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 sangat menarik. Hanya saja sayangnya, bahwa Mahkamah 245 Lihat Pasal 33 Ayat 1 UU No.2 tahun 2008 tentang partai politik yang selanjutnya diubah menjadi UU No.2 tahun 2011 tentang Partai Politik 246 Lihat Pasal 33 Ayat 2 UU No.2 tahun 2008 tentang partai politik yang selanjutnya diubah menjadi UU No.2 tahun 2011 tentang Partai Politik 1009 Partai hanya menjadi mekanisme penyelesaian perselisihan di internal partai politik saja. Yang memprihatinkan bahwa putusan dari Mahkamah Partai Politik tidak memiliki kekuatan hukum yang benar-benar mengikat. Meskipun Pasal 32 ayat 5 muncul rumusan bahwa putusan mahkamah partai politik terkait dengan perselisihan kepengurusan bersifat final dan mengikat. Pasal 32 ayat 5 tidak mempunyai makna karena pada pasal 33 ayat 1 mengatur kemungkinan penyelesaian perselisihan lewat jalur Pengadilan Negeri yang tanpa memberi batasan mengenai jenis perselisihannya. Ide tentang Mahkamah Partai Politik menarik untuk didorong menjadi lembaga yang berada diluar partai politik. Dengan kata lain bahwa Mahkamah Partai Politik bukan sebagai mekanisme internal partai politik. Sehingga Mahkamah partai politik menjadi instrumen Negara dan bukan instrument partai politik. Secara kelembagaan harus bersifat mandiri dan merdeka bebas dari intervensi manapun. Mahkamah partai politik merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya harus bersifat final dan mengikat. 1010 DAFTAR PUSTAKA Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta. PT Tiara Yogya. 1988. Arifin, Anwar. Perspektif Ilmu Politik. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2015. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka. 2008. Iver, Mac. Negara Modern. Jakarta. Bina Aksara. 1988. Labolo, Muhadam, dkk. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2015. Gede Atamdja, I Dewa. Demokrasi, HAM, Konstitusi: Perspektif Negara Bangsa Untuk Menghadirkan Keadilan. Malang. Setara Press. 2011. Hayyik, Abdul, Mozin, Agung, dkk. Konsolidasi Demokrasi: Kompilasi Hasil Workshop, Pertemuan Kerja Rutin dan Pertemuan Nasional Forum Politisi. Jakarta. Forum Politisi da Friedrich Naumann Stiftung, 2006. Iver, Mac. Negara Modern. Jakarta. Bina Aksara. 1988. Lubis, M.Solly. Hukum Tata Negara. Bandung. CV.Mandar Maju. 2008. Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta. Kencana Prenada Media Grup. 2010. S. Katz, Richard, dkk. Handbook Partai Politik. Bandung. Nusa Media. 2014. Soemantri, Sri. Hukum Tata Negara Indonesia: Pemikiran dan Pandangan. Bandung. PT Remaja Rosda Karya. 2014. Subakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. PT Grasindo. 2010. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selasar Politik Connecting deas, Kronologi Konflik Golkar: Dua Munas Yang Saling Menggugat , dikutip dari https:www.selasar.compolitikkronologi-konflik- golkar dua-munas-yang-saling-menggugat , diunduh tanggal 2 Maret 2016 BIOGRAFI PENULIS Nama penulis adalah Fauzin, S.H., L.LM. Sejak Tahun 2006 hingga sekarang mengabdi di Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura sebagai Dosen. Diantara matakuliah yang diampu adalah Hukum Tata Negara, Hukum Perundang-undangan, Hukum Pemilu dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Sementara untuk riwayat pendidikan penulis bahwa untuk S1 penulis selesaikan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang dan untuk S2 penulis selesaikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 1011 DESENTRALISASI PARTAI POLITIK : DARI PROBLEM KE OPSI PENGUATAN OTONOMI Ibrahim FISIP Universitas Bangka Belitung Kontak 081368957615iim_babelyahoo.com Intisari Partai politik dewasa ini sedang tumbuh sebagai lembaga berjejaring yang tidak konsisten dalam pengaturan keanggotaan dan kepengurusannya. Meski memiliki jaringan organisasi secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa, partai politik nyatanya tak lebih dari sebuah lembaga sentralistik yang menempatkan kewenangan pengurus pusat sebagai penentu. Partai politik di daerah cenderung sekedar pelengkap administrasi dan menjadi perpanjangan tangan dari pengurus pusat. Berbagai permasalahan muncul, mulai dari jebakan figur, ketergantungan dukungan dari atas, sampai pada minimnya daya tawar pengurus di daerah. Sebagian besar partai politik menganut desentralisasi setengah hati. Lobi, modal, dan krisis ideologi menyebabkan partai politik cenderung tidak demokratis dan kurang apresiatif terhadap kadernya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan bersama-sama untuk mengurangi jebakan sentralistik justru di tubuh lembaga yang seharusnya mengajarkan praktik demokrasi yang ideal. Selain penguatan regulasi, kader, dan figur, diperlukan rasionalisasi pemilih sehingga dapat menempatkan pandangan masyarakat secara objektif dan kritis ketika harus memilih partai politik. Kata Kunci: partai politik, desentralisasi, pusat, daerah.

A. Pendahuluan

Pergeseran format berpartai politik di Indonesia mengalami loncatan yang sangat signifikan ketika reformasi bergulir pada tahun 1998. Aroma sentralisasi yang demikian kental dengan dinamika pembajakan partai politik atas nama stabilitas pada masa Orde Baru mengalami titik balik yang dramatis. Partai politik berlomba-lomba tampil dengan warna yang sama sekali berbeda dengan masa kehidupan berpartai sebelumnya. Reformasi yang bergulir cepat telah mengganti wajah partai politik menjadi amat merdeka, dinamis, dan berbasis pada akomodasi kepentingan lokalitas. Bergeserlah kemudian format relasi politik dari satu tingkatan ke tingkatan lainnya dengan asumsi dasar bahwa desentralisasi politik adalah bagian tidak terpisahkan dari desentralisasi pemerintahan. Desentralisasi pemerintahan sendiri asumsi dasarnya adalah kontrol lokal atas kekuasaan lokal lihat Mar’iyah, : . Selama kurun waktu lebih kurang 18 tahun reformasi menggelinding, bola bergeser kesana-kemari dengan perubahan pola permainan dari waktu ke waktu. Sistem Pemilu yang disesuaikan dengan dinamika politik yang berkembang telah menggeser pola kontestasi. Pertarungan antarpartai politik berjalan dinamis ditandai dengan tarik-ulurnya format Pemilu yang kadangkala memberi ruang besar bagi partai politik dalam menentukan legitimasi politik dan kadangkala seperti tak punya kekuasaan yang berarti. Meski demikian, harus diakui bahwa partai politik tampil menjadi kekuatan yang besar di tengah berbagai kalkulasi politik elektoral yang sedang bermain. 1012 Partai politik tetaplah sebuah institusi yang mapan dengan segala kekuatannya sebagai penjaga peradaban demokrasi. Diamond 2003:116 mengatakan bahwa walaupun keberadaannya cenderung terkikis oleh pertumbuhan media massa dan organisasi-organisasi sipil, partai politik tetaplah merupakan lembaga yang sangat penting bagi sistem perwakilan dan pemerintahan demokratis lihat juga Imawan, 2011:42. Sekalipun dengan derajat penetrasi yang tumpang-tindih, partai politik tidak pernah kehilangan jati dirinya sebagai penentu, utamanya ketika pemilihan pimpinan negara atau daerah. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa partai politik semakin cenderung mengalami distrust dari masyarakat lantaran dianggap kurang sensitif pada urusan publik lihat Noor, : dan cenderung menjadi komunitas birokrasi baru’ yang relatif terisolasi dari aspirasi dan kepentingan masyarakat Haris, 2005:325, namun partai politik tetaplah menjadi kekuatan utama demokrasi. Munculnya gagasan deparpolisasi beberapa waktu belakangan menyebabkan partai politik seperti kebakaran jenggot, padahal fakta menunjukkan mereka melalui kekuatannya di parlemen menjadi penentu utama keputusan-keputusan strategis. Pengalaman menunjukkan bahwa permaian regulasi sangat ditentukan bagaimana perasaan’ partai politik dikelola melalui perpanjangan tangan kadernya di parlemen. Revisi UU Pilkada pada Juni 2016 menunjukkan kecenderungan kuat bahwa partai politik semakin bertransformasi menuju sebuah institusi yang super power. Penyempitan peluang calon independen, yang jikapun secara konstitusional sah, namun menunjukkan bahwa partai politik kurang berkenan dengan cara-cara yang berusaha mendekonstruksi cara berpikir kekuasaan di luar kewenangan partai politik. Tak heran, partai politik pun tumbuh dan berkembang sebagai agen yang sangat kuat dengan jejaring partainya yang cenderung terorganisir baik dari tingkat atas. Masalah jaringan adalah hal paling banyak menjadi sorotan dari kiprah partai politik dewasa ini. Jika semangat di awal reformasi adalah semangat desentralisasi, maka wajah baru partai politik kini ditandai dengan menguatnya sentralisasi, utamanya dalam penentuan kandidasi. Partai politik terjebak dalam figur tokoh nasional dan kurang memberi ruang bagi warganya di daerah untuk menentukan nasibnya berbasis inisiatif lokal. Jadilah kemudian partai politik terkungkung dalam pasungan sentralisasi dengan kemasan jaringan pengurus di tingkat lokal. Pada saat yang bersamaan, partai politik pun terjebak dalam upaya negosiasi yang lebih berangkat dari basis lobi yang negosiasional ketimbang ideologis. Partai politik cenderung tenggelam dalam perburuhan rente ketimbang berbicara soal platform partai politik. Maka jadilah negosiasi, modal, dan krisis ideologi, dilengkapi oleh semangat ketunggalan pusat dalam pengambilan keputusan. Tulisan ini berangkat dari asumsi mendasar bahwa perlu upaya strategis untuk mendorong desentralisasi partai politik ketika membayangkan partai politik tumbuh sebagai institusi demokratis yang sensitif terhadap kebutuhan publik, lokal dan nasional. Tulisan ini juga menempatkan jalinan lobi dan modal yang kerapkali mendekonstruksi cara berpikir bahwa partai politik hakikatnya adalah saluran representasi ideologi. Tulisan ini mencoba mendebat cara partai politik scara generatif dalam penentuan keputusan tertentu, lalu menghadirkan beberapa pandangan alternatif untuk mengatasi pembajakan demokrasi yang justru lahir dari rahim partai politik; sebuah institusi yang seharusnya menjadi penjaga terbesar marwah demokrasi.