Politik Dinasti Partai Politik

1166 Dinasti politik dalam negara bayangan shadow states ini juga memiliki potensi melakukan pelanggaran etika Pemilu. Pelanggaran etika pemilu yang dilakukan oleh partai politik peserta pemilu, seperti upaya yang dilakukan oleh pemangku jabatan inkumben dalam menafsirkan aturan menurut kepentingan pendukung mereka yang menyebabkan terjadinya pelanggaran netralitas PNS. Kasus pelanggaran Pasal 162 ayat 3 UU No. 8 Tahun 2015 yang menjelaskan Kepala DaerahWalikota tidak boleh melakukan pelantikan terhitung 6 bulan menjelang habis masa jabatannya. Ketentuan ini disikapi oleh KDWalikota dengan melakukan pelantikan 1 atau beberapa hari sebelum ketentuan ini, seperti Kasus Padang Pariaman yang membebastugaskan nonjob pejabat eselon I dan II yang tidak sedikit sebelum pelantikan 21 April 2015. 2 hari setelah itu 24 April 2015 dilakukan mutasipergantian pejabat daerah yang dilakuan dengan nonjob beberapa pejabat daerah. Bupati PadangPariaman ini dilantik 25 Oktober 2010, artinya mutasi dilakukan 1 hari menjelang 6 habis masa jabatannya. Bentuk pelanggaran terhadap ketentuan netralitas PNS dalam kasus diatas, diantara modusnya; 1 Dukungan dalam bentuk pemanfaatan fasilitas negara; 2 Menghadiri rapat-rapat pemenangan salah satu pasangan calon; 3 Dukungan dalam pengumpulan KTP. Beberapa penyebab pelanggaran netralitas PNS, diantaranya; 1 Hubungan kekerabatan; 2 Upaya mendapatkan jabatan; 3 Makan buah simalakama antara memberikan dukungan atau tidak kepada salah satu calon; 4 Rasa tidak suka kepada salah satu calon pasangan lain. Faktor penyebab lahirnya pelanggaran netralitas PNS diantaranya adalah realitas politik yang berjalan dinamis melalui logika sistem nilai budaya masyarakat yang berbeda dari logika formal sistem pemerintahan melahirkan sengketa yang diselesaikan oleh norma dan aturan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, serta melahirkan aturan hukum baru yang bisa menjelaskan beroperasinya negara sistem politik dalam masyarakat melalui aturan penyelenggaraan pemilu. Pelanggaran netralitas PNS ini juga berhubungan dengan ongkos politik pemilukada yang harus ditanggung calon, diantaranya : 1 Biaya pembelian perahu ; Biaya pengumpulan KTP untuk calon independen; Biaya survei 1167 elektbilitas dan kosultan politik; 4 Biaya kampanye terbuka dan tertutup; 5 Biaya saksi di TPS; 6. Biaya pemb uatan baliho dan spanduk; 7 Biaya kemeja, kaos dan jaket; 8 Biaya atribut kampanye lainnya , seperti kalender, gantungan kunci, mug dan lainnya; 9 Biaya iklan di media cetak dan media elektronik belum radio dan koran; 10 Biaya tim suksesrelawan; 11 Biaya paketbantuan; 12 Biaya sengketa Pemilukada dan lainnya. Besar kecilnya biaya perahu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya; tingkat elelktabilitas pasangan calon; 2 kemampuan melakukan lobi-lobi politik; 3 keanggotaan di partai politik, dan sebainya; 4 kebijakan pimpinan partai politik Dua bentuk pelanggaran Pemilu sekarang yang banyak terjadi adalah penggunaan dana pemerintah oleh kandidat untuk kepentingan beli suara vote buying, serta politik uang yang terjadi menjelang pemungutan suara Pelanggaran dalam bentuk ini terkait dengan desain pemilu yang dilaksanakan dalam sistem proporsional terbuka. Dua daerah isu pokok dalam menyusun daerah pemilihan adalah derjat keterwakilan dan derjat proporsionalitas. Jika sebuah daerah pemilihan memiliki pemilih besar dan kursi banyak, maka derjat keterwakilan semakin tinggi, dengan kata lain semakin kecil nilai M semakin tinggi derjat keterwakilan. Daerah pemilih yang jumlah pemilih kecil dan banyak kursi maka disebut derjat proporsionalitasnya tinggi, atau semakin besar nilai M maka derjat proporsionalitas juga semakin tinggi .Hukum utama electoral diantaranya adalah district magnitude M atau harga kursi dalam setiap daerah pemilihan, seperti M=1 untuk daerah pemilihan yang menyediakan 1 kursi. Sedangkan untuk daerah pemilihan yang menyediakan banyak kursi disebut M1, semakin banyak kursi yang ditawarkan sistem proporsional, maka angka M semakin besar Dilema yang dihadapi sistem Pemilu di Indonesia dalam penetapan sistem proporsional terbuka sejak 2004 adalah apakah basis distrik pemilihan di Propinsi atau KabupatenKota. Jika distrik Pemilu di KabupatenKota, maka tujuan integrasi nasional tidak tercapai oleh ketidakseimbangan pewrwakilan di Jawa dengan luar Jawa. Dua daerah isu pokok dalam menyusun daerah pemilihan adalah derjat keterwakilan dan derjat proporsionalitas. Jika sebuah daerah pemilihan memiliki pemilih besar dan kursi banyak, maka derjat keterwakilan semakin tinggi, dengan kata lain semakin kecil nilai M magnitude semakin tinggi 1168 derjat keterwakilan. Daerah pemilih yang jumlah pemilih kecil dan banyak kursi maka disebut derjat proporsionalitasnya tinggi, atau semakin besar nilai M maka derjat proporsionalitas juga semakin tinggi Contoh kasus dalam Pileg Indonesia, harga kursi dapil di Jawa dan Bali lebih tinggi daripada atau luar Jawa atau harga M di pulau Jawa lebih kecil dibandingkan dengan luar pulau Jawa atau parpol di Jawa lebih ketat bersaing. Semakin mahal harga kursi dalam sebuah dapil, maka semakin besar ongkos politik pemilukada yang harus dikeluarkan calon. Disamping itu, proses keterwakilan hasil Pemilu dan kebijakan publik lebih bias Jawa atau bias urban, seperti yang dijelaskan oleh Monroe-Rose effect dimana parpolkandidat yang menang di daerah rural cenderung lebih mudah menang di daerah urban. Sebaliknya, sulit bagi parpolkandidat daerah urban untuk menang di daerah rural. Sebuah dapil idealnya hanya menyediakan 3-5 kursi, agar harga kursi tidak terlalu murah atau mahal. Selain itu daerah pemilihan Dapil juga menyediakan jumlah kursi yang ganjil Persaingan yang ketat dalam sebuah daerah pemilihan dapil mendorong terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilukada, seperti melakukan politik uang money politics. Dalam hal ini, teori Richard R. Katz menjelaskan bahwa sistem Pemilu proporsional terbuka tidak disenangi oleh kandidat, karena mereka tidak hanya bersaing dengan kandidat dari partai lain, tetapi juga sesama kandidat dalam partai sendiri, seperti kasus Pileg Indonesia tahun 2009 dan 2014. Colomer menjelaskan meskipun sistem pemilu proporsional menghasilkan perwakilan berimbang, tetapi cenderung menghadirkan sifat fasksionalisme dan kandidasi partisan. Benyamin Rally menjelaskan sistem Pemilu proporsional bukanlah satu-satunya sistem Pemilu terbaik bagi masyarakat pluralisme etnis seperti teori konsosional Arend Lijphart, tetapi dari hasil studi di 5 negara terdapat sistem AV the alternative vote dan STV the single transverrable vote yang juga sesuai. Karena itu, perlu pertimbangan penggunaan kedua sistem ini untuk Pemilu di Indonesia. Meskipun terdapat beberapa keunggulan penetapan sistem proprsional dalam sistem Pemilu di Indonesia, seperti; 1 Aspek tingkat proporsionalitas keterwakilan, tidak ada suara yang hilang serta lebih representatif, 1169 memungkinkan terpilihnya kelompok minoritas, memungkinkan partai mengajukan calon inklusif dan dari latar belakang komunal berbeda-beda ;2 Sistem kepartaian, memungkinkan partai monoritas memperoleh kursi di parlemen ;3 Lembaga perwakilan, terwakilinya golongan kecil dalam parlemen ; 4 Hubungan wakil terpilih dengan konstituen, kelemahan sistem proporsional adalah jarak wakil dengan konstituen rengganb . Namun dalam sistem proprisonal memiliki kelemahan dalam teknis penyelenggaraan, kelemahan sistem ini karena lebih rumit dibandingkan dengan sistem distrik Dalam hal ini, STV adalah bagian dari sistem proporsional, dimana pemilih merangking kandidat secara preferensial. Sistem ini hampir sama dengan sistem AV pada sistem distrik, bedanya jika pada sistem AV kandidiat dinyatakan pemenang jika memperoleh suara mayoritas, maka pada sistem STV kandidat dinyatakan pemenang jika telah memenuhi kuota yang telah ditentukan Penentuan kuota adalah melalui penjumlahan suara sah, kemudian dibagi dengan jumlah kursi di dapil tersebut. Cara kerja STV adalah etiap partai peserta Pemilu mengajukan calon sebanyak yang mereka perkirakan akan menang pada setiap Dapil. Pemilih mengurutkannya sesuai dengan keinginan mereka. Kemudian total suara dihitung, dan jumlahnya dibagi dengan jumlah kursi di Dapil tersebut agar dapat dihasilkan nilai kuota. Untuk terpilih, calon harus memperoleh kuota minimal. Jika tidak ada yang mencapai kuota minimal pada pilihan pertama, maka calon yang memperoleh suara paling sedikit akan dihapuskan dari daftar dan suaranya dibagikan kembali sesuai dengan pilihan kedua. Proses ini berlanjut terusa sampai semua kursi dapat terisi. Pengaruh sistem Pemilu terhadap susunan partai politik dapat dijelaskan dari keberadaan susunan partai yang mempengaharui kharakteristik partai politik, secara ideal perpecahan diantara partai-partai politik adalah bersifat vertikal, bukannya horizontal.

4. Penutup

Pembagian partai tidaklah harus mengikuti differensiasi strata klas atau agama, tetapi haruslah lebih memotong secara mendalam strata-strata tersebut serta membiarkan sisi manapun dari pembagian cross section yang sama dari negara tersebut. Kemudian setiap partai akan mencari atau mengusahakan 1170 dengan cara apapun untuk mewakili sebuah pandangan umum dari kepentingan nasional, dan tidak ada sebuah partai politik apapun yang setia terhadap kepentingan tertentu. Partai politik yang mempunyai dasar yang luas serta merekrut secara terbuka mungkin sekali terkoyak-koyak oleh perselisihan internal, karena semakin terbuka partai itu semakin dia mencerminkan perpecahan-perpecahan dalam masyarakat pada umumnya. Sebaliknya dengan menembus sampai ke tingkat-tingkat regional dan lokal dan dengan menerima minoritas-minoritas etnis dan kaum elite yang berlainan paham, partai yang memerintah akan memberikan kepuasan kepada kelompok-kelompok yang berbeda-beda dan menciptakan kesempatan-kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan pada tingkat-tingkat yang lebih rendah dalam sistem itu Mungkin saja jika perpecahan-perpecahan sosial yang bersifat dasar menyebabkan terciptanya partai-partai yang berlandaskan ideologi atau golongan, satu cara untuk mengatasi hal ini dan dengan demikian untuk memudahkan pengaturan perselisihan adalah memberikan sarana tertentu untuk memungkinkan terbaginya kekuasaan, Upaya untuk mendemokratisasikan partai politik ini hanya bisa dilakukan dengan perbaikan sistem Pemilihan Umum yang mempengaruhi hubungan partai politik, pemilih, parlemen dan kabinet secara keseluruhan dalam sebuah sistem kepartaian.i