Pembahasan Analisa Efektifitas Mahkamah Partai Dalam Negara Demokrasi

1014 hasil musyawarah secara berjenjang. Ada istilah izin ibu’, restu Cikeas’, atau bahkan rekom bapak’. Fenomena ini membuat partai politik terjebak dalam ritual penghambaan pada figur sang patron sehingga partai politik kemudian berubah menjadi relasi patron and client. Ketergantungan partai pada satu figur cenderung merusak sistem pengambilan keputusan secara demokratis. Celakanya, banyak partai politik yang sengaja memberikan kewenangan penuh kepada sang figur untuk mengambil keputusan akhir melalui pemberian kewenangan saat musyawarah partai. Tak heran, sejauh partai politik menempatkan figur sebagai penentu, sejauh itu pulalah partai politik akan terjebak dalam pembajakan atas nama selera sang figur. Saya ingin mengatakan bahwa sebagian besar partai politik kini masih amat menggantungkan nasib partainya pada ketokohan seseorang sehingga tak heran sistem seringkali tidak bekerja secara optimal. Dalam konteks ini, berbagai pengambilan keputusan di tingkat lokal akan selalu miskin inisiatif dan selalu mengekor pada keputusan pusat.

b. Restu Pusat dalam kepengurusan

Sebagai lembaga berjejaring, partai politik memiliki mekanisme penentuan pengurus di tingkat lokal dengan beragam jenjangnya. Namun sebagai partai yang menggantungkan nasibnya pada sokongan utama dari pusat, kepengurusan partai di daerah sangat labil untuk dikooptasi oleh pusat. Akibatnya, partai politik di daerah tak lebih dari perpanjangan tangan dengan sedikit kewenangan pengambilan keputusan. Penentuan kepengurusan lebih sering ditentukan berdasarkan restu pusat. Kandidat- kandidat ketua partai di daerah pada akhirnya memerlukan dukungan pengurus pusat untuk dapat menduduki jabatan ketua sebuah partai politik di tingkat daerah. Tak heran jika pengurus di daerah, utamanya posisi-posisi ketua, ditentukan seberapa kuat lobinya pada lingkaran utama pengurus pusat partainya sehingga kontestasi pemilihan pengurus daerah lebih bersifat seremonial dengan dukungan utama dari pusat. Dalam situasi demikian, peluang partai politik untuk membangun jaringan yang mapan sangat terbatas. Pengurus yang tidak searus dengan keinginan pusat rawan diberhentikan. Dalam banyak kasus, pengurus partai yang berbeda dengan suara pusat akan buru-buru diberhentikan. Peluang demokratisasi partai politik di tingkat lokal sebetulnya mengalami kebuntuan karena pembusukan yang distabilisasi oleh pengurus partai di tingkat pusat sendiri. Tak heran jika kemudian subjektivitas yang lahir dari logika bisik- bisik’ lebih dominan menjadi dasar pertimbangan ketimbang mengikuti mekanisme partai politik yang sebenarnya sudah banyak diatur dalam berbagai perangkat anggaran dasaranggaran rumah tangga mereka. Zam, salah satu satu mantan pengurus teras di sebuah partai politik di Bangka Belitung mengatakan : “Saya mungkin satu-satunya anggota dewan yang saat ini tidak memegang jabatan apapun di level manapun di partai politik. Saya diberhentikan dari jabatan saya sebagai pengurus partai tingkat provinsi karena dianggap terlalu loyal mendukung seseorang yang